Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Paradoks Bio-fuel

3:51:00 PM
Beberapa tahun belakangan marak dibicarakan tentang bahan bakar nabati (bio-fuel). Di tengah melonjaknya harga minyak dunia dan maraknya isu perubahan iklim bio-fuel menjadi primadona baru. Bahan bakar nabati menjadi pilihan karena ia kompatibel dengan mesin-mesin yang memakai minyak sebelumnya. Ditambah dengan kepentingan bisnis negara-negara maju mulai melakukan produksi massal bahan bakar nabati.
Tapi, peningkatan permintaan terhadap bahan baku bio-fuel menempatkan negara-negara berkembang, sekali lagi, pada posisi dilematis. Di satu sisi, hal ini merupakan peluang ekspor yang sangat besar. Sebaliknya, di sisi lain ada ancaman di balik ini.
Ancaman pertama adalah deforestasi. Kelapa sawit merupakan pilihan utama bahan baku bio-fuel. Meningginya permintaan terhadap minyak sawit membuat ekspansi dan konversi lahan meningkat demikian cepatnya.
Perusahaan nasional dan multi-nasional ramai-ramai mengajukan proposal pembukaan lahan hutan untuk dijadikan perkebunan sawit. Menurut laporan yang diterbitkan Greenpeace Indonesia dari 28 juta hektar hutan yang dihancurkan sejak tahun 1990 sebagian besarnya ditujukan untuk pembuatan perkebunan kelapa sawit.

Pada skala pertanian rakyat geliat harga sawit juga menimbulkan efek ganda. Naiknya harga sawit merupakan peluang emas bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf kehidupan. Presiden Brazil Luiz da Silva bahkan mengungkapkan ini membuka pintu bagi bagi negara pengekspor tanaman energi untuk merangkak keluar dari kemiskinan.

Namun, geliat ini juga berakibat pada tak terkendalinya laju perubahan lahan pertanian pangan ke sawit. Dan hal ini menuju pada ancaman kedua: ancaman ketahanan pangan.

Pada laporannya bulan Juni lalu lembaga anti-kemiskinan Oxfam International memperingatkan ancaman pangan dari gencarnya pengembangan bio-fuel. Pilihan masyarakat untuk berlomba-lomba menanam sawit akan berakibat pada kemungkinan terbatasnya stok pangan karena kurangnya suplai.

Hal ini diperparah tidak jelasnya kebijakan pengembangan wilayah. Termasuk wilayah pertanian dan kebijakan pangan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Di beberapa negara, bahkan, bahan baku pangan, semisal tebu, dijadikan sebagai bahan baku ethanol.

Uni Eropa menargetkan sepersepuluh alat transportasi dengan bahan bakar minyak akan diganti dengan bahan bakar nabati pada 2020. Target penurunan emisi yang diamanatkan Konvensi Perubahan Iklim PBB, memaksa negara-negara maju mendesain ulang sektor transportasi, energi dan industri mereka.

Indonesia dan Malaysia memasang target ambisius untuk memenuhi seperlima kebutuhan bahan bakar alami Eropa dari sektor kelapa sawit. Alhasil, ekspansi kelapa sawit belum akan mereda.

Isu bahan bakar nabati seperti pedang bermata dua: peluang sekaligus ancaman. Migrasi dari fossil-fuel ke bio-fuel seakan-akan pindah dari mulut harimau ke mulut buaya. Mengharapkan mengurangi gas tak ramah lingkungan di satu pihak, tapi meningkatkan gas rumah kaca melalui deforestasi di pihak lain.

Kemiskinan memang menjadi masalah utama negara negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Langkah-langkah pengentasan kemiskinan memang harus terus didorong, termasuk pengembangan pertanian yang berorientasi kepada komoditas internasional. Namun, kepentingan masa depan bangsa juga harus dipertimbangkan. Karena itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan.

Pertama, perencanaan pengembangan wilayah dalam jangka panjang dan komprehensif. Pemetaan daerah-daerah untuk berbagai peruntukan harus dengan jelas direncanakan. Sentra-sentra pertanian tanaman pangan harus dipertahankan. Konversi tak terkendali pada satu komoditas akan membuat petani lebih rentan pada fluktuasi harga.

Kedua, penguatan kebijakan ketahan pangan. Sebagai negara pengkonsumsi beras, Indonesia harus punya rencana jangka panjang swasembada beras. Ketidakberpihakan pemerintah pada petani dan tidak adanya kemudahan, semisal subsidi pupuk, pada petani pangan akan berujung pada berhentinya mereka menanam komoditas pangan.

Ujungnya, selamanya kita akan menjadi pengekspor beras, makanan pokok kita sendiri, dan bahan pangan lainnya. Karena itu harus ada keberanian pemerintah dalam melakukan ekspansi dan intensifikasi lahan-lahan pertanian pangan.

Ketiga, pemanfaatan lahan tidur dan kritis serta diversifikasi poduk bahan baku bio-fuel. Untuk memenuhi target memasok bahan baku bahan bakar nabati ke negara Eropa, pemanfaatan lahan tidur perlu digalakkan. Ekspansi kelapa sawit harus diarahkan ke arah ini, bukan dengan membabat hutan produktif.

Di samping itu, diversifikasi produk juga harus diteruskan. Setelah gencar melakukan proyek pengembangan jarak di beberapa daerah, beritanya terdengar lagi hingga kini.

Dan yang terakhir, pengembangan energi alternatif nir-fosil dan nir-biologi. Walaupun sudah populer, usaha pengembangan energi alternatif ini belum diseriusi. Potensi panas bumi dan tenaga matahari merupakan dua sumber energi yang sangat melimpah. Beberapa negara maju sudah mulai mengarah ke sini ketimbang bio-fuel. Australia, misalnya, sangat gencar mengembangkan teknologi tenaga matahari dan panas bumi.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit tidak harus ditentang. Peluang untuk mendatangkan devisa dari booming bahan bakar nabati patut disyukuri. Namun, tanpa perencanaan yang matang kita akan selalu jadi pecundang dan selamanya menari di genderang orang lain.


By: Yansen (Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu)
Source: www.detik.com (SuaraPembaca), 22/08/2008
Read On 0 comments

Mewujudkan Kedaulatan Energi Indonesia

3:45:00 PM
Tampaknya permasalahan tata kelola energi nasional dewasa ini kian memprihatinkan dan membingungkan. Kisruh tentang penjualan LNG Tangguh ke Cina dengan harga sangat murah atau di bawah standar yang kian memanas akhir-akhir ini, dan juga beberapa kontrak migas yang merugikan lainnya, seolah mengindikasikan bobroknya pengelolaan energi oleh pemerintah.
Kebijakan pengelolaan energi yang dijalankan pemerintah terkesan kurang bertanggung jawab dan tanpa arah. Antara satu sektor kebijakan dengan sektor lainnya seolah tidak terkait satu sama lainnya.
Lihat saja, misalnya naiknya harga gas beberapa waktu lalu, kemudian disusul pula langkanya gas dan minyak tanah di kalangan masyarakat, menunjukkan ketidakterkaitan tiap sektor kebijakan energi tersebut. Contoh, ketika di satu sisi pemerintah ingin mencoba menghapus penggunaan bahan bakar minyak tanah di masyarakat dan mengalihkannya ke penggunaan bahan bakar gas, Pertamina justru secara serampangan menaikkan harga gas elpiji.
Gas sesungguhnya sudah menjadi kebutuhan atau bahan bakar pokok bagi masyarakat. Sementara kini masyarakat tidak lagi dapat menggunakan bahan bakar minyak. Dikarenakan, minyak tanah telah ditarik dari peredaran.
Kebijakan menaikkan harga gas oleh Pertamina sesungguhnya merupakan langkah yang sangat kontraproduktif dan blunder dengan program konversi gas pemerintah. Pasalnya, pemerintah telah menetapkan program konversi minyak tanah ke gas untuk menghemat dan mengamankan cadangan bahan bakar minyak.
Namun, program konversi minyak tanah ke gas pemerintah tidak berjalan sesuai rencana. Karena, Pertamina selaku operator migas nasional sepertinya kurang dapat menyesuaikan diri dengan program pemerintah.
Antara pemerintah dan Pertamina seolah jalan sendiri-sendiri. Tambahan lagi, Pertamina selaku BUMN yang memang dikuasakan untuk mengurusi migas seolah tidak mampu menjamin ketersediaan gas bagi kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau pula.
Terkait dengan langkanya bahan bakar minyak dan gas akhir-akhir ini ditenggarai oleh faktor kebijakan pengelolaan energi yang tidak pro-poor (pro rakyat). Kebijakan energi yang dijalankan pemerintah menyiratkan watak neolib yang sangat pro ekonomi kapitalis.
Ini dapat kita lihat dari paket-paket kebijakan energi yang selalu berorientasi pasar (komersil). Indikasinya adalah penghapusan subsidi energi secara bertahap dan perlahan.
Intervensi negara terhadap kebutuhan pokok dan mendasar masyarakat perlahan tapi pasti, dikurangi. Peran, fungsi, serta posisi negara telah digantikan oleh mekanisme pasar bebas. Tanggung jawab negara terasa sepi bagi rakyat kecil tanpa daya. Seakan, rakyat miskin selalu berada di luar main stream ketika bicara masalah kebijakan energi.
Sesungguhnya gerbang liberalisasi sektor migas di Indonesia makin terbuka lebar sejak keterlibatan lembaga donor asing dalam penentuan kebijakan energi nasional. Lembaga-lembaga tersebut yakni; ADB, World Bank, dan USAID telah memberikan kucuran dana yang sangat besar (ratusan juta dolar AS) dalam penyusunan draf UU tentang energi di Indonesia.
Sinyalemen masuknya kekuatan asing dalam kebijakan pengelolaan energi nasional tercermin dengan keberadaan UU No. 22 Tahun 2001 tentang migas,
khususnya pasal 28 ayat 2 yang mengharuskan penentuan harga energi diserahkan melalui mekanisme persaingan pasar.
Disinyalir, lembaga-lembaga itulah yang merancang draf dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang migas untuk mengurangi peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, dan mendorong keterlibatan pihak swasta di sektor migas. Liberalisasi sektor migas Indonesia sesungguhnya tak lepas dari peran ketiga lembaga asing tersebut.
Ketiga lembaga asing tersebut juga yang merekomendasikan rancangan UU Migas nasional harus berlandaskan pada semangat kompetisi, berorientasi pasar, menghilangkan intervensi pemerintah, serta konsisten mengikuti aturan-aturan
internasional.
Kebijakan-kebijakan yang diarahkan lembaga-lembaga asing tersebut justru membuat energi menjadi mahal dan menambah beban rakyat. Termasuk dengan pencabutan subsidi BBM mengakibatkan naiknya kebutuhan pokok yang harus ditanggung rakyat miskin.
Harus kita ingat bahwa situasi geopolitik internasional yang menyangkut masalah energi dan disparitas harga energi di pasar nasional dan internasional ditenggarai telah mempengaruhi krisis energi dalam negeri.
Aksi para spekulator (trader tanpa aset) minyak dalam dan luar negeri juga disinyalir sebagai penyumbang terbesar krisis energi nasional. Semua situasi tersebut menyebabkan rapuhnya kedaulatan bangsa dan negara terhadap ketahanan atau kemandirian energi nasional.
Arah yang tidak jelas dalam perjalanan politik energi negeri ini telah menyisakan krisis energi di masa kini dan mendatang. Diobralnya persediaan energi dalam negeri kepada negara-negara maju, secara perlahan telah menjadikan Indonesia krisis kepemilikan cadangan energi. Karena, sumber-sumber energi kita telah dimiliki oleh pihak asing.
Kebijakan energi nasional yang serabutan menyebabkan krisis energi hampir di banyak wilayah di Nusantara. Begitu ngawurnya kebijakan energi oleh pemerintah sampai-sampai Indonesia harus mengimpor minyak dari luar negeri karena di dalam negeri sendiri kekurangan minyak! Itu pun pemerintah tidak langsung membelinya ke produsen minyak melainkan pemerintah membelinya melalui pasar spot (calo minyak) seperti membelinya ke Singapura.
Kelangkaan sumber energi nasional baik minyak maupun gas akibat kebijakan ekspor sumber-sumber utama energi Indonesia ke luar negeri secara membabibuta. Ditambah lagi produksi minyak dalam negeri yang makin menurun drastis. Pada tahun depan saja asumsi lifting minyak (minyak siap jual) pemerintah hanya dipatok tidak lebih dari kisaran 950.000 bph (barel per hari).
Meski cost recovery cenderung naik dari tahun ke tahun tetapi produksi dan lifting minyak dalam negeri justru berbalik arah mengalami penurunan. Masalahnya, sejumlah kontraktor cenderung menggelembungkan cost recovey. Atau banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya operasional migas tapi dikleimkan ke pemerintah.
Beberapa kerugian dari cost recovery yang dikleim ke pemerintah di antaranya ialah, biaya pelatihan ekspatriat, biaya konsultan pajak, biaya merger, biaya-biaya yang terkait dengan pemasaran, pengembangan masyarakat, maupun kegiatan kehumasan.
Sistem kontrak kerja sama antara pemerintah dengan para pengusaha lokal maupun asing selama ini disinyalir terjadi penyelewengan baik oleh pengusaha maupun pejabat pemerintah sendiri. Penyelewengan itu terkait masalah cost recovery atau pengembalian seluruh biaya operasi para kontraktor migas yang sebagiannya merupakan perusahaan asing.
Banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya produksi migas seharusnya menjadi tanggungan masing-masing pengusaha kontraktor migas. Malah dibebankan dan menjadi tanggungan pemerintah.
Sesungguhnya, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1-3 secara umum telah mengamanatkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dalam hal ini pemerintah wajib memakmurkan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Pada pasal ini sesungguhnya pemerintah telah melanggar UUD '45. Yaitu, sumber energi kita sebagian tidak lagi dikuasai oleh pemerintah, melainkan berada dalam penguasaan asing. Kendati banyak juga pengusaha lokal yang bergerak di bidang-bidang tertentu di sektor energi, namun secara kuantitas dan kualitas tidak terlalu berpengaruh signifikan bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan asing.
Seluruh kekayaan alam kita digerus dan dibawa oleh pihak asing. Pemerintah tidak menjamin ketersediaan energi bagi kebutuhan di dalam negeri sendiri. Sehingga ketahanan energi nasional menjadi sangat lemah, dan tidak memiliki daya tawar di dunia internasional.
Berangkat dari permasalah tersebut di atas maka sudah selayaknya pemerintah mengubah paradigma berpikir tentang pengelolaan energi nasional yang lebih mendahulukan kepentingan bangsanya sendiri. Demi terwujudnya kedaulatan energi Indonesia, pemerintah harus berani menegosiasikan ulang kontrak-kontrak migas terhadap kepentingan pemodal asing yang didukung oleh negara-negara kapitalis, yang merugikan bangsa ini.
Politik energi nasional, saat ini harus dikendalikan oleh pemerintah Indonesia secara penuh dan berdaulat. Seluruh sumber dan hasil energi harus sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh bangsa khususnya bagi rakyat kecil.

By: Abdul Ghopur (Koordinator Divisi Kajian dan Program Lembaga Kajian Implementasi dan Tata-tata Kelola Energi Nasional Energy Efficentrum)
Source: www.detik.com (SuaraPembaca), 24/09/2008
Read On 0 comments

Menkes: Musnahkan Produk China Bermelamin!

6:07:00 PM
6 Dari 19 produk impor asal China dipastikan mengandung melamin. Menkes Siti Fadilah Supari memerintahkan produk-produk itu segera dimusnahkan. Para ibu pun diminta tetap tenang.
"Terhadap produk yang mengandung melamin tersebut akan segera dilakukan pemusnahan," kata Menkes dalam jumpa pers di Departemen Kesehatan, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (27/9/2008).
Menkes mengimbau agar masyakakat membantu memberikan informasi bila menemukan produk impor asal China yang mengandung susu bermelamin.
Caranya, masyarakat bisa mengirimkan informasi itu ke unit layanan pengaduan konsumen (UKPK) BPOM RI dengan nomor telepon 426.3333 dan SMS ke 0815.1199.7772. Bisa juga dengan mengirim imel ke email: ULPK@pom.go.id.
"Kepada ibu-ibu agar tenang serta tidak terhasut oleh pihak-pihak yang memperkeruh keadaan," ujar Menkes.
6 Produk yang positif mengandung melamin adalah Guozhen (susu bubuk fullcream), Oreo Stick Wafer rasa vanila, Oreo Stick Wafer rasa coklat, Oreo Coklat Sandwich Cookie, M & M kemasan coklat dan M & M kemasan kuning.
Selain itu, ada 6 produk yang positif mengandung melamin yang beredar di pasaran secara ilegal yakni kembang gula White Rabbit kemasan biru, kembang gula White Rabbit kemasan merah, Soybean Drink With Milk kemasan hijau, Soybean Drink With Milk kemasan kuning, Soyspring Instan Milk Sereal, dan Soyspring Instan Peanut Milk.(aan/asy)

By: Aprizal Rahmatullah
Source: www.detik.com, 27 September 2008
Read On 0 comments

Susu Gouzhen Positif Bermelamin, Dijual Lewat MLM

6:05:00 PM
Gouzhen, satu-satunya produk susu impor asal China yang beredar di pasaran. Produk susu full cream ini dijual melalui multi level marketing (MLM), bukan lewat ritel.
"Susu Gouzhen ini tidak pernah izin impor. Tetapi terdaftar di BPOM," kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Bahan Makanan (BPOM), Husniah Rubiana Thamrin Akib dalam jumpa pers di Departemen Kesehatan, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (27/9/2008). Jumpa pers juga diikuti Menkes Siti Fadilah Supari..
Husniah mengaku BPOM sulit menemukan Gouzhen di pasaran. "Ternyata kami temukan di jaringan MLM. Jadi tidak dijual di ritel-ritel," ujarnya.
Gouzhen diproduksi dari pabrik Yantai New Era Health Industry Co ltd China. Kadar melaminnya 38.03 mg/kg. Gouzhen masuk dalam 6 produk yang ditemukan positif mengandung melamin.(aan/asy)

By: Aprizal Rahmatullah
Source: www.detik.com, 27 September 2008
Read On 0 comments

M & M's, Produk China Legal Bermelamin Paling Tinggi

6:02:00 PM
Sebanyak 16 produk susu olahan asal China yang ditemukan oleh BPOM diuji kadar melaminnya. Belasanproduk tersebut positif mengandung melamin dengan kadar antara 8.51 mg/kg (ppm) sampai dengan 945.86 mg/kg (ppm).
Kesemua produk tersebut terbagi menjadi dua, yakni produk ilegal yang beredar tanpa izin dan produk yang terdaftar di BP POM.
Demikian ungkap Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam keterangan pers yang diterima wartawan di Kantornya, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (27/9/2008)
Untuk produk ilegal, kadar melamin yang paling besar terdapat pada Kembang Gula White Rabbit kemasan merah dengan kadar melamin 945.86 mg/kg (ppm). Makanan tersebut dibuat oleh Shanghai Guan Sheng Juan.
Sedangkan kadar melamin terendah terdapat di Soybean Drink With Milk kemasan kuning sebesar 8.51 mg/kg (ppm). Minuman ini dibuat oleh Wuzhou Bingquan Industrial Shareholding co., ltd.
Bagaimana kadar melamin pada produk dari China yang legal dan terdaftar di BPOM?
Kadar melamin tertinggi diduduki oleh M & M's Milk Chocolate. Produk dengan kadar melamin 856.30 mg/kg (ppm) ini dibuat oleh PT Effem Foods (Beijing) co.,ltd Yanggi Industry & Development Zone.
Sedangkan yang teredah adalah Snickers (kacang Shangrai segar dalam karamel dan Nougat lembut dalam lapisan coklat tebal) dengan kadar melamin 24.44 mg/kg (ppm). Kacang ini diproduksi oleh Mars Food co.(irw/gah)

By: Aprizal Rahmatullah
Source: www.detik.com, 27 September 2008
Read On 0 comments

BPOM Memble, YLKI Sesumbar Bisa Uji Susu Bermasalah Sendiri

3:14:00 PM
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisi BPOM karena tidak pernah mengumumkan hasil uji produk bermasalah, seperti susu, ke masyarakat. Jika didukung masyarakat, YLKI mengaku bisa menguji suatu produk seperti layaknya BPOM."Saya menantang, kalau masyarakat mau iuran, YLKI juga bisa. Kalau hanya di BPOM ya nggak bisa. Di luar negeri LSM juga bisa," kata Pengurus Harian YLKI Indah Sukmaningsih.
Hal itu dikatakannya usai menjadi pembicara dalam acara diskusi 'Lebaran dan Maraknya Makanan Bermasalah' di Warung Daun, Jl Pakubuwono, Jakarta Selatan, Sabtu (27/9/2008).
Indah mempertanyakan peran BPOM yang dinilainya tidak adil kepada konsumen. Tidak ada solusi jika barang makanan atau minuman yang beredar sudah sampai di tangan konsumen.
Dalam acara diskusi itu Indah juga menunjuk pemerintah dan DPR sebagai pihak yang bertanggung jawab. Pemberi izin juga harus bisa mengontrol produk yang diloloskannya ke masyarakat."Pemberi izin melekat padanya kontrol. Apakah kontrolnya sudah benar?" kritiknya.(gah/gah)
By: Alfian Banjaransari
Source: http://www.detik.com/, 27 September 2008
Read On 0 comments

Jangan Merokok Dekat Anak Usia Dini

6:19:00 PM
Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) Jawa Timur, Dra. Siti Fatimah Soenaryo M.Pd mengimbau, agar para perokok tidak merokok di dekat anak yang masih berusia dini.
"Mohon dengan segala kerendahan hati, orang tua yang merokok agar tidak merokok di dekat anak usia dini karena, anak itu masih sangat rentan," katanya di Surabaya, Jumat (26/9).
Siti perlu mengemukakan hal itu demi membentengi anak-anak sebagai generasi penerus menjadi generasi yang sehat. Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu menambahkan bahwa menghentikan kebiasaan memang tidak mudah. Namun, hal itu perlu dimulai dengan gerakan yang skalanya mungkin kecil.
"Kalau saling menunggu, maka akan menjadi persoalan tersendiri. Ini di satu sis memang pahit, tapi di sisi kalau gerakan ini berhasil akan menjadi manis. Mungkin kita butuh waktu 25 tahun agar perokok ini peduli pada anak dan orang lain," katanya.
Ia mengemukakan, kalau dia menemukan ada orangtua merokok yang memangku anak, maka akan langsung diingatkan dengan cara yang baik dan menggunakan cara yang sangat sopan.
"Alhamdulillah tanggapannya selalu positif. Tidak ada yang menanggapi negatif. Bahkan saya banyak berkenalan dengan orang gara-gara asap rokok itu," katanya. Ia memiliki niat untuk membuat stiker yang akan ditempelkan di lokasi-lokasi strategis dengan tulisan, "Terima kasih Anda tidak merokok di dekat anak usia dini".
By: AC
Source: Kompas, 26 September 2008, dikutip dari Antara
Read On 0 comments

Es Balok Bukan untuk Diminum

5:59:00 PM
Si Kecil sakit perut gara-gara minum es sirop di sekolah? Ada apa, ya?
ES BALOK dibuat dari air mentah! Berita ini pastinya membuat kita khawatir akan kebiasaan jajan anak. Namun, sebuah perusahaan es balok di kawasan Pulo Gadung yang sempat dihubungi Tabloid Nakita menyanggah berita tersebut.
Mereka mengatakan, tidak semua perusahaan es balok menggunakan air mentah.
Mereka sendiri memakai air yang sudah melalui sterilisasi. Hanya saja, memang tidak ada yang bisa menjamin kebersihan es balok selama proses pengangkutan dan penyimpanan-nya. Apalagi sebagian es balok dibuat untuk tujuan pengawetan hasil laut dan mendinginkan minuman dalam kemasan. Itulah sebabnya banyak pedagang minuman menggunakan es yang tidak layak konsumsi.
Sebuah penelitian yang dilakukan Fakultas Teknologi Pangan IPB menunjukkan, es balok yang diambil di sekitar kampus IPB Darmaga, Bogor, 10% di antaranya mengandung bakteri E. coli. Bakteri lain yang juga teridentifikasi pada saat pengujian adalah Enterobacter sp, Enterobacter cloacea, Pseudomonas sp., Citrobacter dan Klebsiella. Namun, dari semua bakteri tersebut, keberadaan bakteri E.coli yang patut diwaspadai.
KIAT AMAN
Sebetulnya, bakteri akan mati bila dipanaskan pada suhu 1000C. Karenanya, air yang akan dipakai untuk membuat es sebaiknya direbus dulu hingga mendidih. Teknik lain untuk mematikan bakteri adalah dengan dibekukan hingga 00C. Namun, tak semua bakteri mati dalam suhu 00C. Tak heran kalau sebagian bakteri pada es balok masih mampu bertahan. Lalu saat es tersebut mencair dalam suhu ruang, bakteri yang ada akan kembali berkembang biak.
Kita hendaknya juga memerhatikan mata rantai es balok dari produsen hingga ke konsumen. Umumnya, es balok dibawa tanpa kemasan yang baik, hanya menggunakan karung goni atau malah tidak dikemas sama sekali. Sangat mungkin selama melalui mata rantai dari produsen ke konsumen, es itu tercemar bakteri E. coli.
Amati pula, banyak restoran atau pedagang minuman menyimpan es baloknya di depot kayu atau seng di pinggir jalan. Kebersihannya tentu tak terjamin.
Untuk amannya, sebaiknya pastikan dulu asal es yang akan dikonsumsi. Bila berasal dari air yang layak dikonsumsi dan penyimpanannya terjaga, berarti es tersebut aman. Jika tidak yakin, pilih saja minuman dalam kemasan yang telah didinginkan tanpa perlu dicampur dengan es batu.
MENGENAL E. COLI
Escherichia coli (E. coli) adalah bakteri yang hidup di dalam usus manusia. Keberadaannya di luar tubuh manusia menjadi indikator sanitasi makanan dan minuman, apakah pernah tercemar oleh kotoran manusia atau tidak. Keberadaan E. coli dalam air atau makanan juga dianggap memiliki korelasi tinggi dengan ditemukannya bibit penyakit (patogen) pada pangan.Ada beberapa jenis E. coli yang umum ditemui dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
  1. E. coli Enteropatogenik. Tidak membahayakan pada sebagian orang dewasa tetapi sering kali menyebabkan diare pada bayi. Mungkin ditularkan melalui air yang digunakan untuk mencuci botol. Karenanya, botol susu bayi sebaiknya direbus setelah dicuci untuk mencegah diare.
  2. E. coli Enteroinvasif. Cukup membahayakan karena dapat menyebabkan penyakit disentri. Biasanya ditandai dengan tinja yang mengandung darah.
  3. E. coli Enterotoksigenik. Banyak menyebabkan diare pada para pelancong (travelers diarrhea). Bakteri ini tidak terlalu membahayakan.
  4. E.coli Enterohemoragik. Bakteri yang sangat berbahaya. Dalam penelitian Dewayanti-Hariyadi-et.al, 2001, dinyatakan bakteri ini hidup dalam daging giling mentah. Peneliti lain juga menemukannya pada air limbah rumah potong ayam.
By: Utami Sri Rahayu
Konsultan ahli: Dr. Ir. Ratih Dewanti Haryadi, MSc (Ahli Mikrobiologi Pangan Fakultas Teknologi Pangan dan Gizi, IPB)
Source: Kompas, 23 September 2008
Read On 0 comments

Daftar Produk Susu China Yang Dilarang

5:51:00 PM
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meminta masyarakat tidak mengonsumsi produk dengan merek di bawah ini, sebelum ada penjelasan tentang hasil pengujian dari BPOM.Berikut daftar produk makanan mengandung susu asal China yang terdaftar di BPOM:
  1. Jinwei Yougoo, susu fermentasi, nomor registrasi ML 206509001378
  2. Jinwei Yougoo, susu fermentasi, nomor registrasi ML 206509002378
  3. Jinwei Yougoo, susu fermentasi, nomor registrasi ML 206509003378
  4. Guozhen, susu bubuk full cream, nomor registrasi ML 805309001478
  5. Meiji Indoeskrim Gold Monas, es krim, nomor registrasi ML 305509001116
  6. Meiji Indoeskrim Gold Monas, es krim, nomor registrasi ML 305509002116
  7. Oreo, stick wafer, nomor registrasi ML 227109001450
  8. Oreo, stick wafer, nomor registrasi ML 827109001450
  9. Oreo, chocolate sandwich cookie, nomor registrasi ML 227109001552
  10. M&M’s, kembang gula, nomor registrasi ML 237409005385
  11. M&M’s, kembang gula, nomor registrasi ML 237409002385
  12. Snickers, biskuit, nomor registrasi ML 227109009385
  13. Dove Choc, kembang gula, nomor registrasi ML 237409001385
  14. Dove Choc, kembang gula, nomor registrasi ML 237409003385
  15. Dove Choc, kembang gula, nomor registrasi ML 237409004385
  16. Merry X-Mas, kembang gula, nomor registrasi ML 238409003311
  17. Penguin, kembang gula, nomor registrasi ML 238409005311
  18. Nestle Nesvita Materna, makanan ibu hamil dan ibu menyusui, nomor registrasi ML 862109001322
  19. Nestle Milkmaid, selai susu, nomor registrasi ML 234709002206
Namun produk dengan merek yang sama yang diproduksi di dalam negeri dengan kode nomor registrasi MD tetap boleh beredar dan dikonsumsi.
Selain mengeluarkan keterangan tentang merek produk China yang terdaftar, BPOM juga mengumumkan produk China mengandung melamin yang diumumkan oleh Agri-Food and Veterinary Authority (AVA) Singapura. Ketigabelas produk tersebut adalah:
  1. Natural Choice, Yoghurt Flavoured Ice Bar With Real Fruit
  2. Yili Bean Club, Matcha Red Bean Ice Bar
  3. Yili Bean Club, Red Bean Ice Bar
  4. Yili Prestige Chocliz, Dark Chocolate Bar
  5. Yili Super Bean, Red Bean Chestnut Ice Bar
  6. Nestle Dairy Farm, susu UHT
  7. Yili High Calcium, susu rendah lemak
  8. Yili High Calcium, susu
  9. Yili 250 ml, Pure Milk
  10. Yili 1 liter, Pure Milk
  11. Dutch Lady, Strawberry Flavoured Milk (Ex.Cina, Hongkong, Singapura)
  12. White Rabbit, kembang gula
  13. Yili Choice, Dairy Frozen Yoghurt Bar With Real Peach and Pineapple Fruit Pieces.
By: ABD
Source: Kompas, 24 September 2008
Read On 0 comments

Inilah Bahaya Mengoplos Melamin ke Susu

5:47:00 PM
KARENA ingin menjadikan seolah kandungan proteinnya tinggi, produk susu di China dicampuri melamin. Tidak tanggung-tanggung, sekurangnya empat bayi meninggal dunia dan sampai hari ini sudah lebih dari 13.000 bayi harus dirawat.Sebenarnya kasus yang mirip pernah terjadi secara luas tahun lalu akibat pengoplosan melamin ke dalam makanan hewan dari China. Akibatnya, ratusan anjing dan kucing mati serta ribuan lainnya menderita gagal ginjal.
Apakah melamin itu? Samakah dengan melamin yang dipakai untuk peralatan makan kita? Apakah bahayanya? Pelajaran apa yang dapat ditarik dari kasus ini? Tulisan singkat berikut akan mencoba memberikan jawaban atas hal-hal itu.
Beda dengan perkakas
Melamin yang dipermasalahkan adalah senyawa organik bersifat basa dengan rumus C3H6N6, kandungan nitrogennya sampai 66 persen, biasa didapat sebagai kristal putih. Melamin biasanya digunakan untuk membuat plastik, lem, dan pupuk.
Plastik dari melamin, karena sifat tahan panasnya, digunakan luas untuk perkakas dapur. Jadi, melamin yang kini diributkan berbeda dengan melamin plastik perkakas. Melamin yang diributkan ini adalah bahan dasar plastik melamin.Berdasarkan informasi di situs WHO, pencampuran melamin pada susu berawal dari tindakan pengoplosan susu dengan air. Akibat pengenceran ini, kandungan protein susu turun. Karena pabrik berbahan baku susu biasanya mengecek kandungan protein melalui penentuan kandungan nitrogen, penambahan melamin dimaksudkan untuk mengelabui pengecekan agar susu encer tadi dikategorikan normal kandungan proteinnya.
Data keamanan melaminPenambahan melamin ke makanan tidak diperbolehkan oleh otoritas pengawas makanan negara mana pun. Walaupun seperti diberitakan Kompas, studi tentang efek konsumsi melamin pada manusia belum ada, hasil ekstrapolasi dari studi pada hewan dapat digunakan untuk memperkirakan efek pada manusia.Hal itu telah tampak bila melamin bergabung dengan asam sianurat (yang biasa juga terdapat sebagai pengotor melamin) akan terbentuk kristal yang dapat menjadi batu ginjal. Batu ginjal ini telah tampak pada hewan-hewan korban kasus pengoplosan melamin tahun lalu. Batu ginjal inilah yang dapat menyumbat saluran kecil di ginjal yang kemudian dapat menghentikan produksi urine, gagal ginjal, bahkan kematian.
Telah diketahui juga bahwa melamin bersifat karsinogen pada hewan. Gejala yang diamati akibat kontaminasi melamin terdapat pada darah di urine, produksi urine yang sedikit, atau sama sekali tidak dihasilkan, tanda-tanda infeksi ginjal, dan tekanan darah tinggi.
Melamin memang tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh. Data keselamatan menyatakan, senyawa ini memiliki toksisitas akut rendah LD50 di tikus, yaitu 3.161 mg per kg berat badan. Pada studi dengan menggunakan hewan memang dikonfirmasi, asupan melamin murni yang tinggi mengakibatkan inflamasi kandung kemih dan pembentukan batu kandung kemih.
Food and Drugs Administration (Badan Makanan dan Obat) Amerika Serikat menyatakan, asupan harian yang dapat ditoleransi (tolerable daily intake/TDI) melamin adalah 0,63 mg per kg berat badan. Pada masyarakat Eropa, otoritas pengawas makanannya mengeset standar yang lebih rendah, yaitu 0,5 mg per kg berat badan.
Seberapa parah kontaminasi yang terjadi? Dari inspeksi yang dilakukan di China, dari 491 batch (kelompok) yang dites, 69 di antaranya positif mengandung melamin, berkisar dari 0,09 mg per kg susu sampai 619 mg per kg susu. Bahkan ada yang mencapai 2.563 mg per kg.
Dengan konsumsi susu formula per kg berat badan bayi sekitar 140 g sehari, kalau bayi mengonsumsi susu yang terkontaminasi akan menerima asupan melamin 0,013-86,7 mg per kg berat badannya. Bahkan, kalau mengonsumsi susu yang terkontaminasi 2.563 mg melamin per kg susu, dapat mencapai asupan 358,8 mg per kg berat badannya. Jauh melampaui batas toleransinya!
Pelajaran
Kasus ini memberi kita berbagai pelajaran. Pertama, analisis protein dalam makanan dengan metode penentuan nitrogen dalam kasus ini ternyata dapat dikelabui dengan bahan lain yang kandungan nitrogennya tinggi. Padahal, terdapat cara-cara lain untuk analisis protein selain dengan penentuan kandungan nitrogen, yang dalam kasus seperti ini perlu dilakukan.
Kedua, pengetahuan tentang bahaya penggunaan bahan aditif makanan harus diberikan ke semua lini, terlebih yang terlibat dalam produksi makanan. Keinginan mendapat keuntungan lebih besar, yang mungkin dipadukan dengan ketidaktahuan, ternyata berdampak amat besar.Dalam skala yang berbeda dan melibatkan bahan yang berbeda, di sekitar kita banyak kasus seperti ini, misalnya kasus boraks, formalin, dan sebagainya. Saya yakin ”keuntungan” yang didapat dari tindak seperti ini tidak akan dapat membayar kerugian yang diakibatkannya, apalagi sampai hilangnya nyawa bayi-bayi tak berdosa.
By: Ismunandar (Guru Besar Kimia di FMIPA ITB)
Source: www.kompas.com, 26 September 2008
Read On 0 comments

Pemerintah Rumuskan Pembelajaran Peduli Lingkungan

5:36:00 PM
Menneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menyatakan Menneg LH telah sepakat dengan Mendiknas untuk merumuskan pembelajaran yang menanamkan kepedulian kepada lingkungan sejak dini.Hal itu dikemukakan Meneg LH Rachmat Witoelar dalam studium generale bertajuk "Peran Strategis Indonesia dalam Mengatasi Perubahan Iklim" di Rektorat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Rabu petang.
Dalam kegiatan akhir pekan bulan Ramadhan 1429 H yang juga dihadiri aktivis lingkungan hidup Erna Witoelar dan Rektor Unair Prof Dr Fasich Apt itu, Menneg LH menyatakan kesepakatan dengan Mendiknas itu perlu dirumuskan dalam aksi riil." Aksi riil itu antara lain dengan mengkampanyekan sikap peduli lingkungan melalui bintang-bintang cilik anak-anak, karena itu saya berharap Unair juga turut mengambil peran strategis dalam aksi riil itu," katanya.
Ada tiga langkah strategis yang dapat dimainkan Unair yakni mengkaji sifat kekhasan alam Jawa Timur sebagai rona lingkungan strategis.
Langkah lainnya, memberikan kajian ilmiah terhadap potensi sumber daya alam dan faktor resiko dalam proses pemanfaatannya, serta menganalisa kompleksitas masalah kekinian (lumpur, dampak sosial, dan keanekaragaman hayati). "Peran strategis yang dimainkan itu harus merujuk pada hasil Bali Roadmap sebagai komitmen internasional atau Millenium Development Goals (MDGs)," katanya. Menurut dia, Bali Roadmap merupakan hasil nyata Indonesia sebagai tuan rumah dalam pertemuan internasional yang hasilnya banyak diakui internasional dibanding hasil-hasil pertemuan lainnya. "Untuk itu, aksi riil ke depan harus merujuk pada MDGs dengan memastikan keberlanjutan fungsi LH yakni membalik arah kecenderungan hilangnya sumber-sumber LH, mengurangi 50 persen proporsi manusia tanpa akses air minum yang aman dan berkelanjutan, serta mencapai tingkat perbaikan hidup yang jauh lebih baik bagi minimum 100 juta pemukim lingkungan kumuh," katanya.Dalam `Bali Action Plan` juga telah diproses negosiasi untuk pasca2012, di antaranya melakukan kegiatan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, seperti kekeringan dan banjir."
Negosiasi lainnya, upaya mereduksi emisi GRK, upaya mengembangkan dan memanfaatkan climate friendly technology, serta pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi. Tentunya, dengan menetapkan jadwal penyelesaiannya pada tahun 2009," katanya.
Menanggapi tawaran itu, Rektor Unair Prof Dr Fasich mengatakan Unair dengan beberapa program studi yang ada akan senantiasa membuat kajian-kajian dalam menyikapi perubahan iklim tropis."Misalnya, kami mengatasi wabah flu burung sebagai bagian lain dari dampak perubahan lingkungan, kemudian kami juga melakukan penelitian-penelitian penyakit yang timbul akibat perubahan iklim itu," katanya.
Selain itu, katanya, Unair juga melakukan kajian terhadap ikan dan sumberdaya alami yang tidak tampak keberadaannya, namun memiliki potensi yang tak ternilai terhadap pembangunan fisik dan psikis manusia, khususnya manusia Indonesia. "Teknologi pakan ternak yakni konsentrat, pengendalian efek gas buang, dan penemuan enzim alami sebagai pupuk organik telah ditemukan peneliti-peneliti Unair yang diharapkan menunjang usaha perbaikan lingkungan hidup di masa depan," katanya.
By: WAH
Source: Kompas, 24 September 2008, dikutip dari Antara
Read On 0 comments

Pilih Nama Partai Gurem

12:08:00 PM
Mulai 1 Juli 2008 lalu Partai Demokrat di Australia meninggalkan parlemen. Mereka tidak memiliki kursi lagi setelah di pemilu (pemilihan umum) 2007 hanya meraih 1,3 persen suara. Pidato perpisahan yang menggelitik sekaligus penuh keharuan sudah disampaikan oleh empat senator yang tersisa tahun ini hari Rabu 25 Juli lalu di Canberra. Partai yang mengusung ideologi Sosial Liberalisme ini resmi mengakhiri kiprahnya yang dimulai sejak tahun 1977.
Slogan partai ini unik: "Keep The Bastard Honest". Bastard makna sebenarnya adalah anak yang lahir dari perkawinan tidak resmi. Atau dalam terminologi masa lalu disebut sebagai anak haram. Bolehlah dalam terjemahan bebas dan kasar kita memaknakan "bastard" itu sebagai "para bajingan". Jadi, partai ini punya keinginan memelihara kejujuran para bajingan.
Siapa yang dimaksud "bajingan" itu? Tidak lain adalah para elit-elit partai yang duduk di parlemen. Jadi, Partai Demokrat Australia ada dengan misi menjaga kejujuran para elit politik yang mereka istilahkan dengan bastard itu.
Partai ini lahir dari keinginan tokoh Partai Liberal Don Chipp untuk menjaga keseimbangan di parlemen. Don Chipp kemudian mundur dari partainya dan bersama sejumlah kolega mendirikan Australian Democrat.
Tahun pertama partai ini mampu mengeruk 11,1 persen suara. Namun, kemudian terus menurun hingga hanya 8,5 persen di pemilu 1986. Tahun 1990, Partai Demokrat kembali melonjak perolehan suaranya menjadi 12,6 persen dan kemudian terus menurun kembali hingga di pemilu 2007 kemarin suaranya tinggal 1,3 persen. Jadi, selamat tinggal Partai Demokrat Australia.
Kisah Partai Demokrat Australia itu rupanya berbeda dengan partai bernama sama di
Indonesia. Sama-sama memakai nama Demokrat Partai Demokrat Indonesia justru di atas angin. Mereka tampil mengejutkan dalam pemilu 2004. Bahkan, mengantar Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi presiden.
Nasib Partai Demokrat ini mungkin mengilhami para tokoh lain sehingga untuk pemilu 2009 nanti kembali lahir puluhan partai baru. Sebagian lolos ikut pemilu. Sebagian lagi gagal. Mungkin, para pendiri partai ini beranggapan siapa pun bisa bernasib seperti Partai Demokrat. Tidak diperhitungkan tapi sanggup meraup dukungan. Tapi, di sisi lain, fenomena ini melanggengkan budaya mendirikan partai baru di Indonesia.
Dalam salah satu kesempatan wawancara dengan Prof Ichlasul Amal untuk satu acara di Radio SBS saya sempat menanyakan kecenderungan orang Indonesia yang gemar bikin partai. Pak Amal sendiri heran dengan hobi para elit itu. Padahal ongkosnya tidak sedikit.
Beliau mengira hobi itu akan berkurang di tahun 2008 ini karena orang belajar dari tahun 1999 dan 2004. Tapi, ternyata tidak. Miliaran bahkan mungkin triliunan duit berputar dalam proses pembentukan partai-partai itu. Partai, sepertinya memang menjadi barang dagangan.
Menurut Pak Amal salah satu alasan para tokoh mendirikan partai adalah karena semua ingin menjadi tokoh utama. Dan, itu bisa dicapai hanya dengan mendirikan partai sendiri.
Dalam sesi wawancara lain juga untuk Radio SBS Sydney saya menyampaikan pertanyaan yang senada kepada Sulastio dari Indonesian Parliamentary Centre. Menurutnya salah satu penyebab politisi gemar bikin partai baru adalah karena di Indonesia partai mendapat bantuan keuangan dari negara. Partai juga bisa mengeruk sumbangan dari kalangan bisnis. Baik melalui jalur partai maupun lewat organisasi underbow-nya.
Tahun 1999 salah satu teman kos saya di Yogya tiba-tiba saja (benar-benar tiba-tiba dalam makna yang sebenarnya) menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) sebuah partai. Saya sendiri agak lupa namanya. Saya tidak tahu bagaimana proses terpilihnya dia. Tapi, yang saya dengar semua proses itu dilakukan lewat jalur kenalan. Kenalan dalam arti seperti bisnis MLM (multilevel marketing).
Kita mengajak teman dekat untuk mau menjadi pengurus partai. Banyak yang ogah tapi banyak pula yang mau karena dijanjikan duit operasional dan tidak dibebani target. Kecuali membuat kepengurusan daerah. Tahun 1999 ini jamak dilakukan sehingga waktu verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ada partai yang beralamat di warung beras, kamar kos, bahkan di bengkel sepeda.
Target partai ketika itu memang asal berdiri. Asal punya cabang. Asal ada pengurus. Asal lolos verifikasi. Dan, ikut pemilu. Partai tidak didirikan oleh perjuangan menyebarkan ideologi sehingga mereka yang masuk menjadi pengurus menjadi agen militan. Seseorang masuk menjadi anggota karena setuju pada ideologi yang diusungnya.
Tapi, Indonesia toh tidak sendiri. Di Australia juga ada puluhan partai. Bedanya, kalau sudah merasa tidak laku para pendiri partai kecil di Australia sekalian memilih nama yang cenderung tidak serius. Jadi, kalau nantinya tidak kebagian suara paling tidak ada pembenaran karena partai-partai ini lebih mirip guyonan.
Secara garis besar di Australia hanya ada tujuh partai yang punya dukungan memadai. Mereka adalah Australian Labor Party, Liberal Party of Australia, Australian Democrats (yang baru bangkrut), Australian Greens, Country Liberal Party, Family First Party, dan National Party of Australia (The Nationals).
Di luar daftar itu masih ada puluhan partai lain yang secara resmi terdaftar di KPU Australia. Sebagian didirikan untuk aneh-aneh dan olok-olok. Partai ini pernah ada di Australia. Sebagian masih hidup dan sebagian sudah mati. Daftarnya antara lain Four Wheel Drive Party (Partai Penggemar Mobil 4 wheel drive), HEMP (Help End Marijuana Prohibition -Partai yang memperjuangkan penghapusan pelarangan Mariyuana), Lower Excise Fuel and Beer Party (Partai Pajak Murah untuk Bahan Bakar dan Bir), Outdoor Recreation Party (Partai Penggemar Kemah), Save Our Suburbs (Partai Selamatkan Kampung Kita), Deadly Serious Party (Partai Bener-Bener Mati), No Aircraft Noise (Partai Anti Kebisingan Pesawat), Party! Party! Party! (Partai Pesta-pesta), Sun Ripened Warm Tomato Party (Partai Tomat Matang di Pohon), Surprise Party (Partai Pesta Kejutan), Fishing Party (Partai Penggemar Mancing), Shooters Party (Partai Penggemar Menembak), dan What Women Want (Partai Apa Maunya Perempuan).
Sayang, di Indonesia banyak partai didirikan dengan nama yang terlalu serius dan "berat" meskipun sudah tahu akan sulit meraih dukungan. Sudah serius tidak laku. Sekali lagi sayang.

By: Nurhadi Sucahyo (bekerja sebagai kontributor Program di SBS Radio Sydney)
Source : www.detik.com (SuaraPembaca), 26 September 2008
Read On 0 comments

Bahaya Asma di Balik Parasetamol

4:24:00 PM
Penggemar obat penahan rasa sakit, parasetamol, sebaiknya kudu berhati-hati mulai sekarang. Pasalnya, menurut sebuah penelitian pasien yang kerap mengonsumsi parasetamol dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengidap asma sampai hampir tiga kali lipat, sementara obat penahan sakit lainnya tidak menunjukkan hal yang sama.
Para peneliti menganalisis kekerapan penggunaan obat penahan sakit pada lebih dari 500 orang dewasa yang mengidap asma dan 500 penduduk sehat di beberapa negara Eropa. Hasil kajian menunjukkan risiko mengidap asma meningkat dengan penggunaan parasetamol sekurang-kurangnya sekali seminggu.
Lebih lima juta penduduk Inggris mengidap asma, termasuk 1,4 juta anak-anak dan penyakit itu menyebabkan 70 ribu dimasukkan ke rumah sakit dan 1.400 kematian setiap tahun. Sebagian pengidap penyakit itu memilih parasetamol karena sensitif pada aspirin atau ubat antiradang bukan steroid seperti Nurofen.
Penelitian itu diterbitkan dalam European Respiratory Journal. Salah seorang penulisnya, Dr Seif Shaheen, dari Universitas Imperial London, mengatakan, “Bukti epidemiologi semakin banyak yang menunjukkan kaitan antara parasetamol dan asma."
Kata dia lagi, “Sejak 2000, beberapa penerbitan melaporkan kaitan ini. Kami juga menunjukkan kelaziman asma lebih tinggi di negara yang mencatatkan kadar jualan tinggi parasetamol.”
Peneliti percaya, seringnya penggunaan parasetamol akan menurunkan kadar ‘antioxidant glutathione’, yang ditemui dalam saluran pernafasan dan hidung, bahan yang melindungi paru-paru dari pencemaran udara dan asap tembakau serta dampak berbahaya unur lainnya.

By: Bobby Chandra
Source: www.tempointeraktif.com, 24 September 2008
Read On 1 comments

Ketika Kebijakan Energi Dibajak Bank Dunia

3:40:00 PM
Kekecewaan sebagian masyarakat Indonesia terkait dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada akhir Mei lalu belum sepenuhnya mereda, namun hal itu tak menyurutkan langkah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk tetap mengusulkan disesuaikannya harga BBM di Indonesia dengan harga di pasar internasional. Sebuah running text yang ditayangkan sebuah televisi swasta nasional (8 Juni) menyebutkan bahwa Bappenas mengusulkan agar pada 2009 pemerintah dapat menaikkan harga BBM secara bertahap setiap bulannya hingga sesuai dengan harga BBM di pasar dunia.
Bila dikaji lebih jauh, usulan Bappenas itu sejatinya tidak terkait langsung dengan upaya penghematan energi fosil, karena cadangan minyak di negeri ini sudah semakin tipis. Ini terkait erat dengan komitmen kebijakan yang harus dibuat pemerintah setelah menerima pinjaman dari Bank Dunia. Pada 2003, pemerintah menerima pinjaman Bank Dunia untuk membiayai proyek Java-Bali Power Sector Restructuring and Strengthening. Menurut dokumen Bank Dunia, proyek tersebut bertujuan mendukung pemerintah Indonesia dalam usahanya menghilangkan subsidi BBM secara bertahap (KAU, 2008).
Campur tangan Bank Dunia tersebut semakin tampak dari pernyataan Joachim von Amsberg, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, dua hari setelah kenaikan harga BBM. Menurut dia, kenaikan harga BBM sebesar 28,7 persen cukup kompatibel dengan anggaran pemerintah. Padahal upaya penyesuaian harga BBM dengan harga pasar dunia dipastikan akan semakin memukul kehidupan rakyat. Betapa tidak, di saat pendapatan sebagian masyarakat kita masih tergolong rendah, mereka dipaksa membeli harga BBM sesuai dengan harga pasar. Untuk mengikuti kemauan Bank Dunia itulah, selama berkuasa, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sudah tiga kali menaikkan harga BBM.
Akibatnya, angka kemiskinan di negeri ini pun bertambah. Sebuah penelitian yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia secara jelas menyatakan jumlah penduduk miskin pada 2008 ini akan bertambah 4,5 juta orang akibat kenaikan harga BBM. Total orang miskin diperkirakan akan mencapai 41,7 juta jiwa atau 21,92 persen dari total penduduk, jauh lebih tinggi daripada perkiraan pemerintah sebesar 14,8-15 persen.
Hal itu diperkuat dengan kenyataan empiris di lapangan; tak lama berselang setelah kenaikan harga BBM, harga sayuran di pasar-pasar tradisional di Jakarta pun mulai naik. Tomat, yang sebelumnya dijual Rp 4.000 per kilogram, menjadi Rp 5.000 per kilogram. Sedangkan cabai merah, yang semula Rp 15 ribu per kilogram, menjadi Rp 18 ribu per kilogram. Bukan hanya di Jakarta, di Semarang sebagian nelayan Kampung Tambaklorok, Kota Semarang, Jawa Tengah, mulai berhenti mencari ikan sejak Sabtu (24 Mei) setelah pemerintah menaikkan harga BBM. Mereka tidak mampu menutup biaya operasional melaut yang naik hingga 50 persen.
Untuk meredam keresahan masyarakat akibat semakin lemahnya daya beli mereka terhadap kebutuhan sehari-hari tersebut, pemerintah menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100 ribu per bulan. Uang sebesar itu pun dipastikan tidak akan memadai di tengah naiknya kebutuhan harga barang-barang akibat kenaikan harga BBM. Terlepas dari mencukupi atau tidaknya BLT yang disalurkan pemerintah, jika dicermati secara lebih jauh, program BLT sejatinya juga mengadopsi paradigma sistem ekonomi-politik neoliberal yang gencar dipromosikan oleh Bank Dunia di negeri ini.
Para penganjur sistem neoliberal sadar bahwa penerapan sistem ini akan memukul kelompok miskin. Namun, mereka yakin bahwa dampak buruk penerapan sistem ini akan bersifat sementara. Lama-kelamaan masyarakat miskin akan mampu beradaptasi dengan sistem ini. Untuk mengatasi dampak buruk yang menurut mereka bersifat sementara itu, negara harus memberikan bantuan bagi kelompok miskin agar dalam waktu singkat dapat beradaptasi dengan sistem neoliberal itu (Reclaiming Development: An Alternative Economic Policy Manual, 2004).
Sistem neoliberal sendiri diciptakan untuk melucuti peran negara dalam mengatur ekonomi. Menurut sistem ini, pengaturan ekonomi seharusnya diserahkan kepada korporasi melalui mekanisme pasar. Sektor energi adalah salah satu pintu masuk bagi upaya meliberalkan sistem ekonomi dan politik di negeri ini. Jika sektor ini sudah diserahkan secara bulat-bulat kepada mekanisme pasar, sektor lainnya, seperti pangan dan pendidikan, akan lebih mudah diserahkan kepada mekanisme pasar.
Untuk itulah, pemerintah harus lebih berhati-hati terhadap usulan Bank Dunia melalui Bappenas yang ingin agar harga energi disesuaikan dengan harga pasar. Dampak sosial di masyarakat harus diperhitungkan oleh pemerintah sebelum menerima secara bulat-bulat usul tersebut. Memang tidak dapat dimungkiri pula bahwa konsumsi BBM di negeri ini sangat tinggi, sehingga mengharuskan pemerintah merogoh koceknya guna membiayai impor BBM. Namun, kondisi itu tidak bisa membenarkan munculnya kebijakan menaikkan harga BBM hingga sesuai dengan harga pasar. Pemerintah masih mampu mengupayakan kebijakan untuk mengerem laju konsumsi BBM di dalam negeri, semisal pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi yang diimbangi dengan pembangunan infrastruktur transportasi publik.
Namun, tampaknya kebijakan seperti itu justru tidak pernah muncul. Pemerintah lebih suka menuruti keinginan Bank Dunia seperti yang telah disampaikan oleh Bappenas. Rupanya, pujian dari Bank Dunia lebih memikat hati para pengambil kebijakan di negeri ini daripada melihat rakyatnya mampu terlepas dari belenggu kemiskinan.
By: Firdaus Cahyadi (Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia)
Source: Koran Tempo, 6 Juni 2008
Read On 1 comments

YLKI: Pemerintah Gagal Kelola Transportasi Publik

3:24:00 PM
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pemerintah telah gagal mengelola transportasi publik sehingga mengambil kebijakan lain sebagai bentuk pelariannya. "Kebijakan pemerintah saat ini tampak aneh, kedodoran, dan menimbulkan dampak negatif," kata Koordinator Advokasi dan Transportasi YLKI, Tulus Abadi, Selasa (9/12) malam.
Pernyatan ini menanggapi rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan pemberlakuan three in one mulai pukul 06.30 hingga 20.00 WIB. Pembatasan ini akan dilaksanakan di sepanjang koridor busway, yaitu antara Blok M hingga Kota. Kebijakan ini akan diberlakukan mulai 20 Desember 2003. Hal ini terkait dengan segera di jalankannya proyek busway pada pertengahan Januari tahun depan. Diharapan dengan pemberlakuan three in one ini dapat mengurangi kemacetan karena banyaknya mobil pribadi.
Menurutnya, kebijakan pemerintah tersebut cukup mengganggu hak-hak konsumen pengguna jalan. Sebab, pemerintah membuat kebijakan tanpa persiapan yang matang, seperti penyiapan jaringan trayek transportasi yang nyaman. Jika kondisi pelayanan transportasi masih seperti saat ini, katanya, pemberlakuan kebijakan tersebut dinilai tidak cukup tepat. "Karena di satu sisi terjadi pembatasan tapi di sisi lain tidak disiapkan pengganti dari pembatasan-pembatasan itu," katanya.
By: Putri Alfarini
Source: Tempo, 9 Desember 2003
Read On 0 comments

Harga Hutan Alam

3:20:00 PM
Ketetapan yang dibuat dalam Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk Penggunaan Kawasan Hutan, Nomor 2 Tahun 2008, dianggap terlampau murah. Pemerintah memutuskan harga hutan dengan mengizinkan pembukaan kawasan hutan untuk kegiatan tambang, energi, infrastruktur telekomunikasi, dan jalan tol dengan tarif hanya Rp 1,2-2,4 juta per hektare. Tentu saja harga ini terlalu murah jika dibuat per meter, yaitu hanya Rp 102 dan Rp 240 per tahun, lebih murah dari harga pisang goreng yang sekarang berkisar Rp 300-500 per potong. Bandingkan pula murahnya harga 1 hektare lahan hutan, sama dengan harga 1 meter persegi tanah di kawasan menengah di Jakarta. Andaikan lahan itu di Jakarta--walaupun di bawahnya tidak ada lahan tambang--satu hektarenya akan berharga Rp 1,2 miliar hingga Rp 2,4 miliar.
Lalu, berapa harga yang pantas untuk nilai hutan sehingga diperoleh angka yang tepat dan bertanggung jawab? Dalam kondisi seperti sekarang, ketika semua orang sudah pandai berhitung, dengan kepentingan yang berbeda, harga ini akan sangat bervariasi karena perbedaan persepsi. Selama ini para pengambil kebijakan di bidang kehutanan, misalnya, hanya menghitung hasil hutan melalui rente ekonomi kayu (log). Hal ini karena ekonomi pasar tidak menghargai ranah publik yang lain, seperti nilai air sungai yang mengalir, fungsi hutan sebagai regulasi iklim, penyedia tanaman obat-obatan, dan sumber stok genetik, serta nilai-nilai yang tidak tampak lainnya. Karena itu, selama tidak ada nilai jual yang konkret yang menghasilkan pemasukan dan pendapatan negara, perhitungannya pun akan diabaikan. Di lain pihak, akibat hilangnya fungsi-fungsi tersebut, masyarakat mulai sadar, sebesar apa pun pendapatan yang diperoleh pemerintah, ketika terjadi bencana lingkungan, harga tersebut ternyata tidak mampu membawa penawar dan mengembalikan kehidupan mereka. Belum lagi biaya eksternalitas yang harus ditanggung oleh penduduk akibat limbah industri dan pertambangan yang mengakibatkan penurunan jasa ekosistem baik secara lokal maupun global.
Orientasi para pengambil keputusan di bidang kehutanan semacam ini--meminjam kata Emil Salim--masih berorientasi pada pembangunan konvensional yang antroposentris. Menyadari kesenjangan itu, para ahli lingkungan melakukan pendekatan penghitungan nilai ekonomi (valuasi ekonomi) terhadap hutan alam dan ekosistem alami yang ditinjau dari berbagai aspek. Secara teoretis, Indrawan dkk (2007) menghitung nilai ekonomi sumber daya dengan berbagai masukan. Pertama, nilai langsung, yaitu nilai-nilai ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan, misalnya perolehan ikan, daging, kayu bakar, bahan bangunan, tumbuhan obat, dan rumput serta tumbuhan yang dapat dimakan oleh ternak. Kedua, nilai tidak langsung. Misalnya kontrol banjir, kesuburan tanah, penyerap karbon atau regulasi iklim, air minum, rekreasi, dan wisata alam, termasuk jasa misalnya pengamatan burung, jasa biologi seperti pengontrol hama, dan keberadaan serangga penyerbuk. Ketiga, perhitungan juga dilakukan untuk nilai pilihan masa depan, yaitu sebagai sumber obat, sumber daya genetik, wawasan biologi, dan suplai air. Dan keempat, nilai kehidupan, misalnya perlindungan keanekaragaman hayati, memelihara budaya penduduk lokal, melanjutkan proses evolusi, serta ekologi.
Berdasarkan penilaian ini, setiap daerah dan kawasan tentu akan berbeda-beda. Karena itu, valuasi ekonomi lingkungan biasanya mengambil jalan tengah untuk tidak memberikan kompensasi yang dipukul rata, dengan dan mempertimbangkan dampak ekologi yang dapat dikaitkan oleh pembangunan pada potensi dan kajian nilai-nilai ekonomi di daerah sekitarnya. Karena itu, apabila peraturan ini dilakukan secara nasional, ketentuan lain hendaknya memberikan keleluasaan kepada aturan di bawahnya berupa peraturan daerah dan peraturan menteri secara lebih terperinci dengan melihat berbagai pertimbangan ekologis yang turut dihitung.Hendaknya kita belajar, ketika harga tersebut dihadapkan pada persoalan lingkungan yang tengah melanda kita, seperti tanah longsor, banjir, kehilangan fungsi hutan sebagai regulasi ekosistem, bahkan dari peristiwa lumpur Lapindo yang ketika terjadi kerusakan dan bencana, harga yang diterima pasti tidak sebanding.
Karena itu, wajarlah jika ada penolakan dari beberapa pemerintah daerah dalam penetapan harga tersebut. Sebab, pemda mulai sadar, masyarakat di daerahlah yang menjadi korban akibat kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Sejak awal ditandatanganinya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pertambangan di Hutan Lindung oleh Presiden Megawati yang kemudian menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004, masih segar di ingatan kita perdebatan yang berpihak pada kebijakan untuk mengorbankan alam sebagai subyek dan sumber pendapatan ekonomi instan. Para pencinta lingkungan masih dapat berharap ada lagi skema lain yang bisa diandalkan untuk benar-benar memperketat penambangan di hutan lindung tersebut dengan peraturan ketat. Bahkan Departemen Kehutanan berjanji ingin memperketat peraturannya antara lain dengan meminta penambang membayar ganti rugi nilai tegakan yang ditebang, menyediakan tanah lain kepada Departemen Kehutanan, menanggung biaya reboisasi, dan mereklamasi kawasan hutan lindung yang telah dipergunakan tanpa menunggu berakhirnya kegiatan penambangan.
Anjuran para ahli ekologi adalah, dalam mengambil prinsip perhitungan ini, pertimbangan harus diadakan berdasarkan analisis biaya-manfaat (cost-benefit) dengan menghitung segala jasa ekosistem yang ada di kawasan tersebut. Namun, dalam prakteknya, cara perhitungan ekonomi-ekologi ini sangat sulit dihitung karena biaya dan manfaat selalu berubah dan sulit diukur. Sebagai pencinta lingkungan, saya menghargai pemerintah daerah yang kini cenderung kritis dan menahan diri dan mengaplikasikan prinsip pencegahan. Pada prinsipnya--untuk situasi yang tidak stabil dengan alam yang sensitif seperti Indonesia--prinsip kehati-hatian lebih baik diterapkan. Bila perlu, lebih baik berbuat keliru dengan terlalu berhati--dan membatalkan sebuah proyek--daripada membuka kemungkinan terjadinya bencana di masa depan.
By: Fachruddin Mangunjaya, Pendiri Borneo Lestari Foundation, Kalimantan Tengah
Source: www.tempointeraktif.com, 18 Maret 2008
Read On 0 comments

Super Toy dan Tanggung Jawab Negara

3:11:00 PM
Sulit menolak mengatakan bahwa program revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan bukan sekadar retorika. Tiga tahun berlalu, segalanya berjalan business as usual. Belum tampak program tersebut benar-benar membuat pertanian, perikanan, dan kehutanan kembali (jadi) vital. Yang terjadi justru stagnasi dan penganaktirian, terutama dalam anggaran (baca tulisan saya, "Merombak Anggaran demi Kesejahteraan", Koran Tempo, 9 September). Kini juga terbukti revitalisasi pertanian ternyata tidak beralas pikir.
Bagaimana mungkin meningkatkan produksi padi dengan Super Toy? Varietas superhebat itu telah menawarkan mimpi: bisa dipanen tiga kali setahun dengan hasil 15 ton gabah per hektare tanpa perlu menanam bibit baru. Menurut penemunya, Tuyung Supriyadi, setelah panen pertama, Super Toy tinggal dikepras. Ini mirip tebu. Siapa tidak ngiler? Rata-rata produksi padi nasional saat ini cuma 4,6 ton gabah per hektare.
Klaim itu ternyata bodong. Sekitar 500 petani Purworejo menuntut ganti rugi Rp 22,6 miliar pada PT Sarana Harapan Indopangan, investor Super Toy, karena panen kedua gagal. Borok proyek ambisius ini pun terbongkar: Super Toy belum disertifikasi tapi sudah ditanam massal. Prinsip kehati-hatian diabaikan, akal sehat dipecundangi, bahkan hukum positif, UU Nomor 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, pun ditabrak.
Di dunia ilmu pengetahuan, proyek gagal itu lumrah. Ada proses panjang, proses trial and error, yang harus terus diuji oleh pihak yang berkompeten. Dalam rekayasa benih baru, benih harus menjalani uji terbatas dan uji multilokasi. Ini memakan waktu tujuh-delapan tahun. Jika lolos, baru disertifikasi, lalu dilepas ke masyarakat oleh Menteri Pertanian. Prosedur baku itu diterabas Super Toy. Padahal, memperdagangkan calon varietas seperti Super Toy bertentangan dengan UU Nomor 12/1992 dan bisa dipidana selama lima tahun.
Juru bicara Presiden Yudhoyono boleh membantah bahwa pemerintah tak terlibat proyek Super Toy. Alasannya, Super Toy dikembangkan Sarana Harapan Indopangan, anak perusahaan Sarana Harapan Indo Group (SHI). Heru Lelono, staf khusus Presiden, adalah Komisaris Utama SHI. Namun, sulit dibantah Presiden punya perhatian khusus pada proyek ini. Bahkan Presiden pula yang melakukan panen perdana Super Toy di Desa Grabag, Purworejo, kampung halaman Ny. Ani Yudhoyono. Bagi petani, kehadiran Presiden tidak hanya bermakna legitimasi, tapi juga restu untuk menggunakan Super Toy. Ini harus disadari.
Mestinya lembaga kepresidenan lebih cermat dan hati-hati. Jangan sembarangan meng-endorse sebuah eksperimen yang secara ilmiah belum teruji. Prosedur baku dibuat bukan untuk gagah-gagahan, tapi guna melindungi petani pengguna temuan baru itu. Di negeri ini, ada sejumlah lembaga penelitian resmi, seperti BPPT, LIPI, atau Badan Litbang Pertanian yang semuanya mendapat anggaran dari APBN. Apa sulitnya Presiden meminta mereka melakukan kajian?
Apakah Presiden telah menanyakan masalah benih ini kepada Menteri Pertanian? Di Departemen Pertanian, ada Dirjen Tanaman Pangan yang dijabat oleh Sutarto Alimuso, rekan SBY sesama orang Pacitan. Sulitkah memanggil mereka? Atau apakah lembaga tersebut tidak lagi dipercaya sebagai lembaga penghasil benih unggul? Masih banyak pertanyaan lain karena keheranan penulis yang luar biasa. Sebelumnya ada blue energy yang tak masuk nalar. Kini, meski penelitiannya tak paripurna, Super Toy begitu dipercaya. Semoga bukan karena ada muatan misteri di dalamnya.
Di negeri ini, keadaan memang sering terbalik. Petani kreatif justru dipasung. Ini, misalnya, menimpa Tukiran cs di Nganjuk, Jawa Timur. Ia diseret ke pengadilan oleh perusahaan penjual benih jagung hibrida, PT BISI, dengan tuduhan melakukan sertifikasi liar. Februari 2005, Tukirin diganjar Pengadilan Negeri Nganjuk dengan hukuman percobaan setahun. Ia dinyatakan melanggar UU Nomor 12/1992. Padahal ia tidak melakukan sertifikasi ilegal, apalagi menjual benih. Berbekal pengalaman, ia mengembangkan pola tanam barisan "betina-betina-jantan". Hasilnya, panen jagung bagus dan bisa ditanam kembali sebagai benih. Ia tidak perlu lagi membeli benih hibrida baru yang mahal setiap kali mau tanam. Kreativitas Tukirin seharusnya dilindungi negara, bukan malah diganjar hukuman.
Riset adalah dunia sepi. Jauh dari hiruk-pikuk politik. Walau demikian, lembaga-lembaga penelitian resmi tidak sepi prestasi. Meskipun tidak ada penghargaan, gaji kecil, dan dana riset cekak, dalam rentang 1940-2006, lebih 190 varietas unggul padi dilepas. Dari jumlah itu, 85 persen di antaranya hasil penelitian Badan Litbang Pertanian. Ada varietas padi sawah, padi tipe baru, padi hibrida, padi ketan, padi gogo, dan padi rawa pasang surut.
Varietas-varietas baru itu memiliki produktivitas yang makin baik dan umur kian genjah. Produktivitas bisa 8-10 ton per hektare, seperti varietas Atomita 4, Ciherang, Kalimas, Way Apo Boru, dan Maros, bahkan Hipa 3 dan Bestari produksi BATAN mencapai 11 ton per hektare. Cuma, ada perbedaan signifikan antara rata-rata produktivitas nasional (4,6 ton per hektare) dengan produktivitas potensial 1970-2003 (4,8-6,5 ton per hektare). Ini menandakan banyak bibit varietas unggul yang dirilis tidak maksimal diadopsi petani, tidak diproduksi, tidak ada promosi, tidak ada informasi, juga tidak ada dorongan. Akibatnya, sampai saat ini sebagian besar petani masih bergantung pada IR-64 hasil rekayasa 1986. Padahal, tingkat produksi IR-64 meluruh: dari 8 menjadi 6 ton gabah per hektare, bahkan lebih rendah.
Benih unggul bersertifikat harganya 6-8 kali lebih mahal ketimbang benih biasa, tapi mahal bukan satu-satunya alasan petani tidak memakai benih unggul bersertifikat. Survei Ruskandar dkk (2008) membuktikan bahwa justru tidak tersedianya benih di pasar dan tidak adanya kios pertanian menjadi faktor dominan petani tidak memakai benih unggul bersertifikat. Respons petani, terutama di Jawa, terhadap benih unggul padi bersertifikat sebenarnya cukup bagus. Masalahnya, petani miskin informasi tentang varietas unggul baru yang dilepas pemerintah (Samaullah, 2008). Masihkah pemerintah menyalahkan petani?
Deretan fakta tersebut secara telanjang menunjukkan bahwa pemerintah telah abai dalam menjalankan tugasnya. Pertama, pemerintah tidak memberikan perlindungan memadai kepada petani kreatif seperti Tukirin. Sebaliknya, pemerintah justru membiarkan Tukirin ditindas korporasi asing yang menguasai pasar benih secara monopsoni. Atau, pemerintah mempromosikan benih perusahaan partikelir yang tidak jelas rekam jejaknya. Kedua, pemerintah menyia-nyiakan hasil penelitian yang dibiayai dengan duit rakyat. Peneliti bertugas menghasilkan aneka inovasi baru. Tugas pemerintahlah untuk menciptakan iklim yang membuka peluang pemanfaatan inovasi bagi kesejahteraan rakyat. Tanpa itu, inovasi akan menumpuk dan muspro. Yang muncul justru Super Toy, dan entah apa lagi.
Dua tahun terakhir, atas usulan dan persetujuan Komisi IV DPR RI, Departemen Pertanian meluncurkan subsidi benih unggul untuk petani. Mereka menyambut baik program ini sehingga perlu dilanjutkan. Pemerintah harus lebih jeli dan selektif sehingga benih gratis yang dibagikan bukan benih palsu (bukan untuk benih). Ini penting agar tidak timbul kerugian pada petani seperti yang terjadi di Bantul, Karawang, dan daerah lainnya.
Super Toy memberi pelajaran agar pemerintah bersikap rasional di hadapan beragam tawaran solusi atas permasalahan negeri ini. Lembaga-lembaga riset yang mengembangkan ilmu pengetahuan dengan berbagai penelitian seharusnya mendapat tempat yang terhormat sebab man aradad dunya, fa 'alaihi bil 'ilmi. Wa man aradal akhirata, fa 'alaihi bil 'ilmi. Waman aradahuma fa 'alaihi bil 'ilmi. Barangsiapa yang ingin meraih kesuksesan dunia, maka harus dengan ilmu. Barangsiapa ingin meraih kesuksesan akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka harus dengan ilmu.
By: Mufid A. Busyairi (anggota DPR dari Fraksi PKB)
Source: www.tempointeraktif.com, 23 September 2008
Read On 0 comments

Larangan Merokok, Siapa Peduli!

6:41:00 PM
Rokok dan kebiasaan merokok sepertinya sudah sangat melekat dalam kehidupan masyarakat kita. Jika menganalogikan sebuah hegemoni (secara umum dipahami sebagai kekuatan yang dalam jangka waktu lama menguasai orang/kelompok orang, yang terjadi tanpa disadari—bahkan justru dinikmati—oleh pihak yang dikuasai), maka merokok sudah menghegemoni dengan kuatnya. Khususnya di pedesaan, kegiatan merokok seolah menjadi pemisah antara kebutuhan laki-laki dewasa dan perempuan.
Bagi penikmat rokok, apabila ada fatwa haram merokok, mungkin merupakan “bencana besar terlucu” yang pernah terdengar. Kebebasan dalam menikmati dan mendapatkan rokok, acap kali menjadi alasan pertumbuhan jumlah perokok di Indonesia yang mengalami kenaikan tiap tahunnya. Di negara maju himbauan larangan merokok di tempat umum, serta orang yang merokok harus berusia di atas 18 tahun, sangat efektif diterapkan. Selain itu iklan ataupun promosi rokok juga diawasi secara ketat.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana jika ketentuan itu dilakukan di Indonesia? Bisa dipastikan reaksi perlawanan akan sangat besar gelombangnya. Karena itu, untuk mengetahui kuatnya hegemoni kebiasaan merokok dalam masyarakat, perlu juga dilakukan studi sosial yang komprehensif (menyeluruh).

Simbol Identitas dan Perlawanan
Beberapa literatur menyebutkan, sejak tahun 1830 komoditas perkebunan berupa tembakau mulai dikenalkan di Jawa dan Sumatra oleh pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan cultur stelsel atau tanam paksa mengakibatkan kebanyakan petani di Jawa mengenal pembudidayaan tembakau sebagai alternatif pertanian selain padi, ketela, dan hasil pertanian lainnya. Jenis tembakau virginia dan bremen bagi petani Jawa sudah tidak asing lagi, bahkan sebagian orang menyebut jenis tembakau tersebut tembakau Jawa.
Dalam dunia pergerakan nasional memang belum ada referensi yang menyatakan hubungan antara pengaruh industri rokok dan tumbuhnya nasionalisme waktu itu. Namun dari beberapa dokumen sejarah menyebutkan, kelompok nasionalis tradisional di Jawa dan Sumatra sering memberikan jamuan berupa tembakau iris (rokok linting) sebagai pelengkap hidangan alam setiap pertemuan.

Merintis Kesadaran Kritis
Melihat dampak buruk rokok, penting dilakukan sebuah regulasi (aturan) mengenai pengendalian perdagangan rokok di tempat umum. Hal ini penting karena calon-calon perokok baru yang masih dikategorikan anak-anak bisa dijangkau, dengan harapan anak-anak “terproteksi” dan tidak menjadi calon perokok baru. Undang undang pertembakauan yang mengatur penjualan rokok memang sudah dikeluarkan. Adanya kewajiban bagi produsen rokok untuk menyertakan batasan usia yang diperbolehkan merokok, serta dampak negatif yang ditimbulkan rokok, sampai saat ini dirasa kurang efektif mengendalikan peningkatan jumlah perokok.
Dari sekian banyak peraturan yang mengatur soal rokok, tidak ada satu pun pasal yang dengan tegas melarang anak merokok atau melarang orang tua menyuruh anak membeli dan menjual rokok. Ketiadaan pasal dan larangan tegas menjadikan pemerintah, aparat penegak hukum, tenaga pendidik dan orangtua kesulitan menghentikan kebiasaan merokok anak-anak sekolah. Sebagai pembanding, negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Jepang, Malaysia, dan Thailand, dapat menurunkan jumlah perokok aktif dengan membuat UU larangan merokok pada anak. Hasil penelitian Forum Komunikasi Perlindungan dan Pengembangan Anak Indonesia (FK PPAI) tahun 2006, anak laki-laki berusia 7-12 tahun di Indonesia sudah mulai merokok. Karena itu, kita harus memiliki UU yang tegas melarang anak usia sekolah untuk merokok.
Bahaya rokok sangat serius, seperti kanker, bronkitis, stroke, hingga jantung. Bahkan ada indikasi, setiap tahun, sekitar 57 ribu orang di Indonesia meninggal karena kebiasaan merokok. Selain itu kebiasaan merokok merupakan pemicu untuk mengkonsumsi penggunaan NAPSA (narkotika, psikotropika dan obat berbahaya lainnya).
Merokok adalah pilihan seseorang, namun dengan membiarkan semakin panjangnya antrian para perokok baru, tentu tidak bisa dibiarkan. Peran pemerintah harus semakin jelas. Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah: (1) Adanya peraturan yang jelas tentang upaya penurunan jumlah perokok aktif—terutama bagi anak-anak—perlu segera direalisasikan; (2) Memperbanyak wilayah publik untuk kawasan bebas rokok; (3) Menyediakan sarana untuk perokok secara selektif. Upaya-upaya tersebut diharapkan mampu meredam pertumbuhan jumlah perokok, sehingga diharapkan kesadaran masyarakat untuk tidak merokok mulai menguat.
Kesadaran untuk tidak merokok saat ini memang terbatas ruangnya. Contohnya, SPBU (stasiun pengisian bahan bakar) yang sedang beroperasi, merupakan “kawasan bebas rokok” dan selalu dipatuhi masyarakat. Mengapa demikian? Karena bahaya merokok di SPBU nyata tergambar dalam pemikiran masyarakat luas, khususnya si perokok. Adalah tanggungjawab kita untuk membangun kesadaran bersama tentang bahaya merokok. Bukan saja bahaya merokok di SPBU, tapi juga bahaya merokok dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bahayanya bagi kesehatan kita, dan dengan kata lain bahaya merokok bagi masa depan hidup kita bersama.***

By: Irfan
Source: www.kakak.org, 12 September 2008
Read On 1 comments

Rakus

6:38:00 PM
Tiap kali ”kapitalisme” tampak guncang dan buruk, tiap kali Wall Street terbentur, orang jadi Oliver Stone. Dalam Wall Street, sutradara yang bakat utamanya membuat protes sosial dengan cara menyederhanakan soal, menampilkan dahsyatnya keserakahan manusia. Di sana Gekko, diperankan Michael Douglas, menegaskan dalilnya: rakus itu bagus. ”Rakus itu benar. Rakus itu membawa hasil. Rakus itu… menandai gerak maju manusia.”
Tapi rakus adalah fiil pribadi-pribadi, sementara ”kapitalisme” tak cukup bisa dikoreksi dengan membuat orang insaf. Rakus juga bisa lahir di luar Wall Street. Ia tak hanya melahirkan ”kapitalisme”.

Memang ada sesuatu yang amat rumit hari-hari ini.

Seperti mantra, seperti makian, kata ”kapitalisme” kini meyakinkan hanya karena dampaknya bagi pendengar, bukan karena definisinya yang persis. Juga kata ”sosialisme”. Juga kata ”pasar”, ”Negara”, dan lain-lain yang tak berseliweran di antara kita.
Kita sering tak menyimak, pengertian itu sekarang pada retak, nyaris rontok. Setidaknya sejak Juli yang lalu. Majalah The Economist melukiskan adegan dramatik yang terjadi di pusat kekuasaan Amerika Serikat, negara kapitalis papan atas itu: ”Pada 13 Juli, Hank Paulson, Menteri Keuangan Amerika, berdiri di tangga departemennya seakan-akan ia menteri sebuah negara dengan ekonomi pasar yang baru timbul….”
Hari itu Paulson, pembantu Presiden Bush, mengungkapkan rencana daruratnya buat menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun. Pemerintah memakai kata ”conservatorship”. Artinya, dewan direksi dicopot, pemegang saham praktis disingkirkan, tapi perusahaan itu akan terus bekerja dengan Pemerintah jadi penyangga utangnya. Pendek kata: Pemerintah AS mengambil alih perusahaan itu—kata lain dari ”nasionalisasi”, sebuah langkah yang mirip apa yang pernah dilakukan di Indonesia dan akhir-akhir ini di Venezuela.
Tapi ini terjadi di suatu masa, di suatu tempat, di mana ”pasar” dianggap punya daya memecahkan persoalannya sendiri. Ini terjadi di sebuah era yang masih meneruskan fatwa Milton Friedman bahwa ”penyelesaian oleh Pemerintah terhadap satu soal biasanya sama buruk dengan soal itu sendiri”. Ini terjadi di sebuah perekonomian—disebut ”kapitalisme”—yang prinsipnya adalah siapa yang mau ambil untung harus berani menerima kemungkinan jatuh. Jika para direksi dan pemegang saham siap menyepak ke sana-kemari meraih laba di pasar, kenapa kini mereka harus dilindungi ketika tangan itu patah?
Di situlah ”kapitalisme” meninggalkan prinsipnya sendiri. Tapi tak berarti ”kapitalisme” di Amerika berhenti sejenak. Memang tindakan nasionalisasi di sana—terakhir dilakukan terhadap perusahaan asuransi raksasa AIG (American International Group)—menunjukkan kian besarnya peran ”Negara” dalam perekonomian Bush.
Namun kita perlu lebih saksama. Sebab yang terjadi sebenarnya sebuah simbiosis yang tak selamanya diakui antara ”Negara” dan ”pasar”. ”Nasionalisasi” terhadap Fannie dan Freddie berarti sebuah langkah menyelamatkan sejumlah pemain pasar dengan dana yang dipungut dari pajak rakyat. Dengan kata lain: yang dilakukan Pemerintah Bush adalah sebuah ”pemerataan” kerugian, bukan ”pemerataan” hak.
Hubungan simbiosis antara kedua perusahaan itu dan ”Negara” juga bisa dilihat dari segi lain: menurut laporan CNN, selama 10 tahun, Fannie dan Freddie mengeluarkan US$ 174 juta untuk melobi para politikus, untuk membangun ”iklim politik” yang ramah kepada mereka—termasuk ketika tanda-tanda keambrukan sudah terasa.
Tapi jika ”Negara” dan ”kapital”, ”pemerintah” dan ”pasar” ternyata tak sepenuhnya lagi bisa dipisahkan dengan jelas, apa yang luar biasa? Bukankah sejak abad ke-19 Marx menunjukkan bahwa ”Negara” selamanya adalah sebuah kekuasaan yang memihak kelas yang berkuasa? Dikatakan secara lain, bukankah ”Negara” tak hanya terdiri atas ”apa”, melainkan ”siapa”?
Tapi persoalan tak selesai hanya dengan satu tesis Marx. Sejarah politik makin tak mudah menentukan bagaimana sebuah kelas sosial merumuskan identitasnya—terutama ketika kaum pekerja bisa tampil lebih ”kolot” ketimbang kelompok sosial yang lain, dan ”ketidakadilan” tak hanya menyangkut ketimpangan dalam memiliki alat produksi. Mau tak mau, para analis dan pakar teori harus berhenti seperti beo yang pintar, dan berhenti memakai mantra dan makian ketika ”kapitalisme” dan ”sosialisme” begitu gampang dikatakan.
Itu tak berarti api awal yang dulu membakar perang purba itu, perang yang melahirkan mantra dan makian itu, telah sirna. Selama ketidakadilan menandai rasa sakit sejarah, api itu masih akan membakar dan perang masih akan berlangsung. Selama sejarah belum berakhir dalam mengisi pengertian yang disebut Etienne Balibar sebagai égaliberté, paduan antara ”keadilan” dan ”kebebasan”, perang tak akan padam.
Perang itu, tak selamanya dengan darah dan besi, adalah perjuangan politik. Ketidakadilan tak bisa hanya bisa diselesaikan dengan administrasi, karena administrasi ”Negara” selamanya akan terbatas dan terdorong ke arah pola yang cepat jadi aus. Ketidakadilan juga tak akan bisa diselesaikan dengan perbaikan budi pekerti, dengan mengubah atau mengalahkan orang macam Gekko.
Apalagi pergulatan ke arah keadilan dan kebebasan tak hanya terbatas dengan mengutuk Wall Street. Kita tak cukup jadi Oliver Stone.

By: Goenawan Mohamad
Source: Tempo, 22 September 2008
Read On 0 comments

Tujuh Agenda Ekonomi Kerakyatan

6:18:00 PM
Ekonom Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada Dr Revrisond Baswir menegaskan pentingnya pelaksanaan tujuh agenda ekonomi kerakyatan, jika ekonomi kerakyatan diinginkan tidak hanya berhenti sebagai wacana. Ketujuh agenda itu adalah intisari dari politik ekonomi kerakyatan dan merupakan titik masuk untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang. Revrisond mengemukakan itu ketika tampil sebagai pembicara dalam Diskusi Panel Menggali Nilai Dasar untuk Membangun Sistem Ekonomi Nasional yang Tangguh di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Rabu (23/4).
Agenda pertama, kata Revrisond, memperjuangkan penghapusan sebagian utang luar negeri Indonesia sebagai upaya untuk mengurangi tekanan terhadap belanja negara dan neraca pembayaran. Penghapusan utang luar negeri terutama perlu dilakukan terhadap utang luar negeri yang tergolong odious debt, yaitu utang najis, yang proses pembuatannya sarat dengan manipulasi kreditur, dan pemanfaatannya cenderung diselewengkan oleh para pejabat yang berkuasa untuk memperkaya diri mereka sendiri.
Kedua, masih menurut Revrisond, pengetatan pengelolaan keuangan negara dengan tujuan memerangi KKN dalam segala dimensinya. Salah satu tindakan pentingnya adalah penghapusan dana non-bujeter yang tersebar merata pada hampir semua instansi pemerintah. Ini penting untuk meningkatkan kwalitas pelayanan publik.
Ketiga, adalah mendemokratisasikan pengelolaan BUMN. Ini karena selama ini BUMN hanya dikuasai pejabat pemerintah pusat, yang menjadi penyebab BUMN dijadikan obyek sapi perah. Akibatnya BUMN selama ini lantas menjadi badan usaha yang menggerogoti keuangan negara. Bukan privatisasi yang harus dilakukan terhadap BUMN, melainkan mendemokratisasikan pengelolaannya.
Keempat, peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara dari pemerintah pusat kepada daerah, terutama dalam hal pembagian hasil pajak (revenue tax sharing), yakni dengan pemberian hak kepada pemerintah daerah untuk ikut memungut pajak yang dimonopoli pusat.
Kelima, pemenuhan dan perlindungan hak dasar pekerja serta peningkatan partisipasi pekerja dalam perusahaan, atau diistilahkan dengan demokrasi di tempat kerja dalam bentuk program kepemilikan saham bagi para pekerja (employee stock option program) dalam rangka pemenuhan dan perlindungan hak dasar pekerja.
Keenam, pembatasan penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap, dan diakhirinya penguasaan lahan pertanian secara berlebihan yang dilakukan segelintir penguasan ekonomi dan politik.
Serta ketujuh, pembaharuan UU koperasi dan pembentukan koperasi-koperasi sejati di berbagai bidang usaha dan kegiatan. Koperasi sejati tidak sama dengan persekutuan majikan ala Orde Baru yang keanggotaannya tertutup dan dibatasi pada segelintir pemilik modal. Koperasi sejati adalah koperasi yang modalnya dimiliki bersama-sama oleh konsumen dan karyawan koperasi.

By: ODY
Source: Kompas, 23 April 2008
Read On 0 comments

Konsumen Indonesia Suka Klenik

6:00:00 PM
Pemasaran, ini hal paling penting dalam berdagang ataupun berbisnis. Pemasaran akan berjalan mulus, jika pengusaha tahu karakter konsumennya. Apalagi jika berjualannya di Indonesia. Sebab warga negara kepulauan ini, memiliki keunikan tersendiri. Chairman Fronteir Consulting Group, Handi Irawan D, mengatakan konsumen Indonesia memiliki keunikan dalam budaya, komunikasi non-verbal, tingkat pendidikan dan pendapatan, regulasi, sistem sosial, serta penegakan hukum. Ia mencontohkan masyrakat Indonesia menyukai hal-hal yang berbau klenik alias supranatural, hal ini menjadi salah satu karakter unik dari konsumen Indonesia.
Oleh karena itu, konsumen di Indonesia jangan diperlukan sama dengan konsumen negara lain."Coba saja tilik beberapa merek internasional yang beriklan dengan cara negara asalnya. Misalkan produk ini membuat kita kembali ke alam. Ini tidak akan dilirik konsumen Indonesia. Mereka akan beranggapan, saya dari kecil juga sudah di tengah alam. Mau se-raket (dekat) apa dengan alam?" ujarnya saat memberikan pelatihan di depan puluhan kliennya di Jakarta, Kamis (21/8) malam.
Menurut Handi, setidaknya ada 10 karakteristik paling menonjol dari konsumen Indonesia, yaitu memorinya jangka pendek, tidak memiliki perencanaan, suka berkumpul, gagap teknologi, mengutamakan konteks daripada isi, suka buatan luar negeri, beragama dan suka supranatural, pamer dan gengsi, kekuatan sub-culture, serta rendahnya kesadaran terhadap lingkungan.
Memori jangka pendek, lanjutnya, membuat konsumen lebih memilih obat ces-pleng daripada obat yang aman atau hadiah langsung dibanding point reward. Untuk itu, pengusaha harus mengambil strategi dengan menjual produk yang berjangka pendek dan mampu mengatasi masalah, seperti obat ces-pleng. "Jangan lupa, beri hadiah langsung untuk pembeli," ujarnya.
Sifatnya yang tidak memiliki perencanaan membuat pengusaha harus menawarkan fleksibilitas, seperti kredit yang bisa ditarik ulur waktunya. Tingkatkan juga kebiasaan untuk stok produk dan display yang menarik. Sebab, konsumen cenderung impulse buying. Lalu, beri penghargaan kepada konsumen yang tidak memiliki perencanaan. Penjualan tiket pesawat merupakan contohnya. Pembelian tiket pada saat yang semakin dekat dengan hari keberangkatan, konsumen akan mendapatkan harga semakin tinggi.
"Untuk mengatasi karakter suka berkumpul, salah satunya coba bentuk komunitas. Sementara untuk sifat gaptek, coba tawarkan teknologi yang mengerti konsumen, yaitu teknologi untuk fun, prestise (gengsi), mudah digunakan, dan aman. Jangan lupa pertimbangkan jadi follower. Biarkan perusahaan lain yang mulai memunculkan teknologi itu, biar dia yang mengajarkan. Setelah mereka kelelahan, barulah masuk," jelasnya.
Beriklan, kata Handi, merupakan salah satu cara guna memasarkan produk. Saat beriklan, Handi menyarankan agar pengusaha menggunakan artis dan skenario iklan yang lucu. Namun, jangan lupa memperhatikan kemasannya juga. Karakter yang keenam, sepertinya sudah bukan rahasia umum, jika masyarakat lebih menyukai buatan luar negeri ketimbang dalam negeri. "Jadi, jangan lupa sebutkan darimana produk Anda berasal dan pilihlah nama merek dan simbol yang berbau luar negeri. Selain itu, masyarakat Indonesia masih menyukai hal-hal yang berbau agama dan supranatural. Tak heran jika jasa penyegaran rohani seperti ESQ, mendapat rating paling tinggi," paparnya.
Sifat ini, lanjut Handi, tentunya berseberangan dengan karakter nomor delapan yang masih suka pamer dan gengsi. Karakter kesembilan, kekuatan sub-culture. Beberapa daerah memiliki karakter yang berbeda sehingga, lanjut Handi, Djarum 76 akan lebih disukai di Semarang ketimbang Surabaya. Sebab, produksinya, ada di Jawa Tengah."Terakhir, konsumen Indonesia memiliki kesadaran rendah terhadap lingkungan. Oleh karena itu, posisikan environmental friendly untuk tingkat corporate, bukan pada produk," jelasnya.

By: Wisnu Widiantoro
Source: Kompas, 22 Agustus 2008
Read On 0 comments

Impor Beras, Petani, dan Importir

5:45:00 PM
PERSOALAN ketersediaan beras mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Hal ini bisa dimaklumi karena banyak pihak yang berkepentingan. Selain itu, persoalan beras menyangkut "perut" sebagian besar masyarakat di Indonesia, beras sebagai bahan makanan pokok sudah pasti harus dijaga ketersediaannya.
Persoalan yang muncul akibat kelangkaan beras atau persediaan yang kurang dari perkiraan persediaan aman bisa merembet kepada persoalan ekonomi dan politik. Bahkan, bukan tak mungkin akan mengancam stabilitas negara. Namun demikian, kelangkaan beras bagi sebagian pelaku ekonomi merupakan kesempatan menangguk keuntungan, misalnya pedagang dan importir beras.
Persediaan beras dapat disebut aman apabila masih dapat didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia dalam kisaran waktu enam bulan. Batasan waktu ini apabila diterjemahkan ke dalam angka, ketersediaan beras kurang lebih 1,2 juta ton.
Catatan Departemen Perdagangan menunjukkan persediaan beras pada bulan November sekitar 900-an ribu ton. Dengan demikian sudah menjadi tugas pemerintah menambah persediaan beras agar posisi persediaannya tetap aman dan tidak merembet ke persoalan lain.
Kini yang menjadi persoalan adalah sikap pemerintah (dalam konteks ini Departemen Perdagangan) yang membuka kran impor beras dari Vietnam sebanyak 70 ribu ton.
Tanpa pengawasan yang ketat dan pemberian sanksi berat, bisa dipastikan jumlah beras yang masuk jauh lebih besar dari kuota impor, karena praktik impor beras ilegal oleh importir nakal.
Kran impor beras yang dibuka bulan November, disinyalir menyalahi prosedur atau prinsip dan bernuansa KKN. Departemen Perdagangan berargumen bahwa impor beras merupakan jalan untuk menjaga stabilitas keamanan persediaan beras. Hal ini dibantah oleh Departemen Pertanian yang menyatakan bahwa persediaan beras nasional relatif masih mencukupi karena adanya surplus beras 1,8 juta ton dari hasil panen raya. Pendapat ini juga didukung Ketua Dewan Harian Pangan Nasional.

Dampak Impor
Pelaku ekonomi yang paling merasakan dampak langsung impor beras adalah importir beras dan kaum petani. Hanya saja dampak yang dirasakan bertolak belakang. Importir memperoleh keuntungan dari selisih harga impor yang lebih rendah dibandingkan harga domestik.
Petani mengalami kerugian akibat penurunan harga beras karena naiknya penawaran. Dampak psikologis juga dialami kaum petani. Mereka tidak termotivasi menanam padi, membiarkan sawahnya terbengkalai. Padahal tidak mudah bagi mereka memperoleh pekerjaan lain. Petani perlu memenuhi kebutuhannya, tidak adanya penghasilan bisa mendorong melakukan tindakan kriminalitas.
Pelaku ekonomi lain, pemerintah dan masyarakat, tidak merasakan dampaknya secara langsung. Pemerintah akan memperoleh pemasukan hanya apabila mengenakan tarif impor/pajak terhadap beras yang diimpor. Namun tidak mendapatkan apa pun jika tidak memberlakukan tarif.
Konsumen, yaitu masyarakat, tidak akan merasakan keuntungan atau kerugian yang berarti karena jumlah konsumen yang begitu banyak. Betapapun besar keuntungan/kerugian akibat impor beras yang dialami konsumen secara keseluruhan namun nilainya bagi masing-masing konsumen secara individu relatif kecil bahkan tak terasa sama sekali.
Dengan demikian dua pelaku ekonomi yang berhadapan karena perbedaan kepentingan adalah importir beras dan kaum petani.
Jumlah importir beras yang relatif sedikit (sekitar 20-an pemain) memperkuat koordinasi di antara mereka untuk mengadakan pendekatan dan lobi kepada pejabat pemerintah guna menurunkan peraturan bagi kepentingannya. Keuntungan yang diciptakan akan sangat berarti bagi kelompok mereka karena hanya dinikmati segelintir anggotanya.
Di sisi lain, jumlah petani yang begitu banyak dan sebagian besar merupakan masyarakat kecil, menyebabkan posisi mereka lemah di hadapan penguasa (pemerintah). Tindakan-tindakan aktif dalam rangka mencegah atau pembatalan aturan pemerintah mengenai impor beras hanya akan merugikan mereka sendiri.
Idealnya, pemerintah harus melindungi sektor-sektor perekonomian yang menyerap banyak tenaga kerja. Khususnya tenaga kerja nonterampil berupah rendah yang sulit menemukan pekerjaan lain seandainya mereka kehilangan pekerjaan yang sudah ada. Contohnya kaum petani. Namun kenyataannya pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang merugikan bagi kaum petani.
Fenomena ini dalam ekonomi internasional dapat dijelaskan dengan teori kelompok penekan (pressure group theory). Teori ini pada intinya mengemukakan, dalam kenyataan yang menerima keuntungan atas kebijakan pemerintah dalam perdagangan internasional bukan sektor ekonomi yang menyerap banyak tenaga kerja, melainkan kelompok industri yang terorganisir serta memiliki tradisi politik yang cukup kuat.
Melalui organisasi yang mapan, mereka lebih mampu memperjuangkan kepentingannya dibanding sektor atau kelompok yang tidak ditunjang struktur organisasi yang kokoh.
Kelompok importir beras karena sudah menikmati keuntungan yang berlimpah akan berusaha sekeras mungkin mempertahankannya. Hal ini akan semakin menjadi-jadi apabila pemerintah enggan mengubah kebijakan perdagangan. Keengganan disebabkan bisa menimbulkan perubahan drastis dalam "distribusi pendapatan" terlepas dari siapa yang diuntungkan atau yang dirugikan.

Pengaman
Perjuangan untuk membela kepentingan kaum petani, sebagai pihak yang dirugikan, berada di tangan pemerintah sendiri dan organisasi/kelompok yang bisa menekan pemerintah (pressure group).
Di tangan pemerintah, seperti yang dikemukakan menteri perdagangan, impor beras digunakan sebagai cadangan, maka pemerintah berkewajiban menggudangkan seluruh beras impor. Dengan demikian beras impor benar-benar hanya menjadi persediaan pengaman.
Langkah pemerintah seperti ini akan menyelesaikan polemik kebijakan impor beras secara win-win solution karena mengakomodasi kepentingan importir dan tidak merugikan petani. Namun bukan tidak mungkin importir akan tetap berbuat "nakal" dengan melempar beras ke pasar yang bertujuan untuk memperoleh harga yang lebih kompetitif (lebih tinggi).
Jika demikian adanya, pemerintah harus melakukan operasi pasar kemudian penyitaan terhadap beras impor yang dijual secara umum. Pemerintah diperbolehkan mendistribusikan beras impor hanya apabila keadaan mendesak.
Kelompok-kelompok atau organisasi pembela kepentingan petani bisa menyuarakan kepentingannya melalui Dewan Perwakilan. Seperti perkembangan terakhir, 115 anggota DPR mengusulkan hak angket berkenaan dengan kebijakan impor beras. Tindakan DPR ini bisa efektif dalam membela kepentingan petani karena merekalah kelompok penekan pemerintah yang kuat.
Sikap anggota DPR juga harus mendapat dukungan anggota DPRD-DPRD. Mereka bisa mendorong pemerintah provinsi atau daerah agar menolak beras masuk ke daerahnya. Apabila ada pedagang yang kedapatan menjual beras impor maka harus disita. Sudah pasti kebijakan ini memerlukan keterlibatan aparat kepolisian maupun polisi pamong praja.
Perjuangan kelompok-kelompok yang membela kepentingan kaum petani harus terkoordinasi secara kokoh untuk menjamin kebijakan pemerintah tidak merugikan kaum petani yang notabene merupakan masyarakat golongan lemah.


By: Purwo Adi W (Dosen STIE NU Jepara) dan Luh Putu Shanti K (Dosen Fak. Psikologi Unissula)
Source: www.suaramerdeka.com, 21 Desember 2005
Read On 0 comments

Gemar Belanja Pertanda Jiwa Sedang Tertekan

5:42:00 PM
Berhati-hatilan bagi para shopaholic yang suka kalap saat berbelanja di mal, plaza, atau factory outlet kesayangan mereka. Jangan-jangan, jiwa Anda sedang tertekan.
Sekumpulan peneliti Barat menyimpulkan, hasrat belanja yang berlebihan bukan hanya sekadar berkaitan dengan sikap materialistik individu, tetapi juga disebabkan oleh masalah yang lebih berat, seperti tidak yakin kepada diri sendiri, pemurung, gelisah, dan mengalami tekanan jiwa.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, kesimpulan peneliti Universitas Richmond dan Universitas Illinois di Amerika Serikat menyebutkan sikap suka mubazir seperti itu kerap menjadi sumber masalah keuangan dan pertengkaran keluarga, yang kini semakin meruyak.
Peneliti tersebut, Nancy M Ridgway, Monika Kukar-Kinney, dan Kent B Monroe, menciptakan satu teoti khusus untuk mengukur karakter berbelanja yang berlebihan dan sukar dikendalikan itu. Hasil kajian tersebut bakal dipaparkan dalam edisi terbaru Journal of Consumer Research, Desember ini. "Teori itu bertujuan untuk mengenal pasti pelanggan yang mempunyai gerak hati yang kuat untuk berbelanja, sering berbelanja banyak dan pada sukar mengawal keinginan untuk terus membeli," kata mereka. Dampak karakter itu akan menyebabkan masalah keuangan dan pertengkaran keluarga yang melibatkan fulus.
Namun, para peneliti ini menyimpulkan juga bahwa individu yang berpendapatan tinggi dan suka berbelanja gila-gilaan, memiliki risiko kecil untuk bertengkar dengan anggota keluarga biarpun nafsu berbelanja mereka itu sukar dikendalikan.

By: Bobby Chandra
Source: www.tempointeraktif.com, 20 September 2008
Read On 0 comments

ASI Eksklusif, Upaya Melindungi Anak

11:34:00 AM
Disampaikan dalam rangka pekan ASI, 1–7 Agustus 2007

Mendapatkan Air Susu Ibu atau ASI adalah proses pemenuhan hak pertama yang harus diterima oleh anak ketika baru lahir dan sebelum mendapatkan hak yang lain. Namun pada kenyataannya hak dasar anak ini banyak yang belum terpenuhi. Penyebabnya bermacam-macam, misalnya karena ASI belum atau tidak keluar, kondisi ibu yang belum memungkinkan menyusui satu jam pasca melahirkan maka bayi diberi susu formula. Alasan tersebut sering digunakan untuk tidak memberikan ASI pada saat bayi baru lahir, sehingga mengakibatkan bayi tidak terpenuhi haknya. Hal ini banyak terjadi pada anak di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Ketika hak pertama tidak terpenuhi maka selanjutnya dapat berdampak pada tumbuh kembang anak yang tidak optimal.
Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa setiap anak memiliki hak untuk hidup dan tumbuh berkembang secara optimal. Bayi yang mendapatkan ASI setelah satu jam dilahirkan akan lebih terjamin ketahanan dan kelangsungan hidupnya. Untuk mendukung hal itu, setiap perempuan juga memiliki hak memperoleh pengetahuan dan dukungan yang mereka butuhkan dalam memberikan ASI terutama ASI eksklusif, yaitu pemberian ASI saja pada bayi hingga usia 6 bulan.
Kampanye tentang ASI eksklusif sudah dilakukan oleh banyak pihak dan lembaga. WHO dan Unicef mengeluarkan panduan 10 langkah pelestarian ASI eksklusif. Pemerintah Indonesia juga sudah menerbitkan KepMenKes RI No. 450/Menkes/SK/IV/2004 yang mengatur pemberian ASI eksklusif dari 4 bulan menjadi 6 bulan. Bahkan menarik juga, ada pemberian penghargaan kepada artis-artis yang memberikan ASI eksklusif pada bayinya dan ikut mengkampanyekan di media massa dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Pengaruh ini memiliki penambahan pada tingkat pemberian ASI eksklusif pada bayi. Bellagio Child Survival Group melakukan penelitian tingkat pemberian ASI eksklusif di 37 negara, yang 60 persen populasinya di negara berkembang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terjadi peningkatan sebesar 7% pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pada bayi, yaitu meningkat dari 34% menjadi 41%.
Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pada bayi masih dapat ditingkatkan terus. Perilaku menyusui secara eksklusif 6 bulan yang belum optimal, disebabkan karena pertama; sejak awal bayi tidak dikondisikan untuk menyusui kepada ibunya. Petugas di tempat pelayanan kesehatan yang membantu persalinan seringkali di awal kelahiran justru memberikan susu formula kepada bayi, dengan alasan ibu belum keluar ASI-nya atau kondisi ibu yang belum pulih kesehatannya pasca melahirkan. Padahal informasi seperti ini tidak benar. Selain itu, tempat pelayanan kesehatan yang menerapkan rawat pisah antara ibu dan bayi sehingga bayi hanya diberi kesempatan sedikit untuk menyusu kepada ibunya. Bahkan untuk melihat bayinya sendiri, si ibu harus menunggu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Kedua, alasan ibu bekerja membuat sulit untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayi. Hal ini ditambah dengan aturan cuti menyusui yang relatif lebih singkat yaitu hanya 3 bulan, bahkan banyak di tempat ibu bekerja satu bulan sudah harus diambil sebelum melahirkan. Dengan demikian masih diperlukan kampanye untuk mengingatkan dan meningkatkan tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif pada bayi.
Dari hasil penelitian yang disampaikan dalam Pedriatics tahun 2006, bayi yang lahir di daerah pelosok Ghana yang diberi ASI pada satu jam pertama setelah kelahiran ternyata lebih dapat bertahan hidup daripada bayi yang tidak diberi ASI. Bayi yang tidak diberikan ASI sampai 24 jam pertama, memiliki 2,5 kali kesempatan untuk tidak dapat bertahan hidup. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa akan ada 1,3 juta bayi yang diselamatkan apabila jumlah bayi yang memperoleh ASI eksklusif ditingkatkan menjadi 90% dan di sisi lain angka kematian bayi akan menurun 22% apabila bayi disusui pada satu jam pertama kelahiran.
WHO melansir ada 10 juta anak di dunia ini yang meninggal sebelum usia 5 tahun yang disebabkan oleh beberapa hal yang sebetulnya dapat dicegah. Kekurangan gizi yang semakin merajalela bahkan merupakan faktor penyebab kematian terhadap lebih dari setengah jumlah tersebut. Dengan demikian pemberian ASI pada satu jam pertama diharapkan akan mampu mengatasi hal ini.

Pemberian ASI eksklusif pada bayi pada satu jam pertama sangatlah penting. Sentuhan kulit antara ibu dan bayi saat pertama kali bayi lahir, merupakan faktor penting dalam awal proses menyusui setelah bayi dilahirkan. Selama proses ini, bayi akan tetap hangat dan memastikan bayi memperoleh kolostrum, yang secara medis terbukti memberikan daya tahan yang luar biasa pada tubuh anak.
Ada sebuah film dokumenter yang memperlihatkan tentang sebuah proses persalinan bayi. Bayi yang baru lahir dan belum dibersihkan sama sekali ketika diletakkan di atas perut ibu yang terbaring maka akan bergerak mencari puting susu ibunya. Persitiwa ini dikenal dengan istilah ‘Breast Crawl’ yaitu gerakan bayi merayap perlahan-lahan untuk mencari puting susu ibunya. Gerakan-gerakan ini menggambarkan chemistry yang ada antara ibu dan anaknya yang terbina sejak awal bayi dilahirkan. Hal ini menunjukkan bahwa bayi, sebagaimana mamalia lain akan memiliki insting untuk mencari puting susu sang ibu ketika lahir.
Akan tetapi sepertinya banyak petugas kesehatan dan institusi pelayanan kesehatan yang tidak melakukan atau memiliki kebijakan seperti itu ketika membantu persalinan. Hal yang biasanya umum terjadi adalah, setelah bayi dilahirkan kemudian dibersihkan. Padahal ketika bayi dibersihkan dulu sebenarnya sudah mempengaruhi insting bayi untuk merayap dan mencari puting susu ibu. Apalagi jika bayi setelah dibersihkan kemudian diberi susu formula dengan dot, maka bayi akan malas untuk mengenyot puting susu ibu. Hal ini karena susu formula lebih manis rasanya dan bayi tidak perlu mengenyot susu sudah mengalir sendiri ke mulutnya. Bahkan untuk bayi yang dipisahkan dari ibunya, bayi sudah kenyang sebelum minum ASI.
Ada beberapa hal yang penting untuk meningkatkan capaian ASI eksklusif 6 bulan di masyarakat. Pertama, adanya kebijakan dari pemerintah terhadap distribusi dan pemasaran susu formula yang memihak pada pemberian ASI eksklusif. Selama ini, kebijakan distribusi dan pemasaran susu formula hanya memakai kode etik yang tidak memiliki sanksi hukum yang kuat, sehingga berpeluang untuk tidak ditaati oleh distributor maupun pelaku usaha. Misalnya masih ada bentuk pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha distribusi dan pemasaran susu formula dengan memberikan hadiah kepada petugas kesehatan atau pemilik rumah dan klinik bersalin jika dapat menjual susu formula dalam target tertentu. Dengan kebijakan atau peraturan yang lebih tegas diharapkan akan dapat mencegah pelanggaran distribusi dan pemasaran susu formula yang tidak etis.
Kedua, petugas dan tempat layanan kesehatan yang mendukung dan berkomitmen untuk pemberian ASI eksklusif. Dukungan ini penting karena petugas dan tempat layanan kesehatan merupakan orang atau lembaga yang dipercaya oleh pemakai jasa persalinan.
Ketiga, dukungan keluarga dan masyarakat. Dukungan keluarga yang terpenting adalah dari suami atau yang dikenal dengan supporting father. Selain dari keluarga, juga dari masyarakat yang mendukung pemberian ASI eksklusif. Dukungan dari masyarakat yang strategis adalah dengan mengoptimalkan peran Posyandu. Seringkali di masyarakat, Posyandu hanya untuk mengetahui perkembangan bayi, pemberian makanan tambahan atau yang dikenal dengan PMT dan tempat imunisasi bayi.
Keempat, dukungan dari tempat bekerja bagi ibu yang melahirkan. Dukungan ini berupa pemberian cuti menyusui yang memungkinkan bayi mendapatkan ASI eksklusif 4 bulan ditambah dengan kelonggaran selama 2 bulan untuk memberikan ASI eksklusif, sehingga ibu dapat memberikan ASI eksklusif 6 bulan pada bayinya.
Seandainya setiap ibu memberikan ASI eksklusif 6 bulan pada anaknya, maka akan ada jutaan bayi yang terselamatkan dalam setiap tahunnya. Hal ini sesuai dengan tema pekan ASI tahun ini, Breastfeeding: The 1st Hour Early Initiation And Exclusive Breastfeeding For Six Months Can Save More Than ONE Million Babies.***

By: Dinding Sugiyantoro (Manager PU Yayasan KAKAK)
Tulisan ini dimuat Solo Pos, 6/8/2007
Source: www.kakak.org, 15 Agustus 2007
Read On 0 comments

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts