Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Jadi Korban Delay Pesawat, Minta Saja Kompensasi

2:44:00 PM
Anda jadi korban delay pesawat? Jangan takut minta saja kompensasi. Ini seusai Keputusan Menteri Perhubungan No 5 tahun 2008. "Untuk penumpang yang delay lebih dari 30 menit kompensasi makan atau berupa uang," kata Dirjen Perhubungan Udara Budi M Suyitno di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Senin (29/9/2008).
Bagaimana bila delay lebih dari waktu tersebut? "Lebih dari 3 jam, harus memberikan fasilitas akomodasi makan malam dan tiket terbang untuk keesokan harinya," tambah Budi.
Ini semua memang tergantung kebijakan maskapai masing-masing, tapi Budi menegaskan. "Maskapai yang tidak memberikan kompensasi melanggar keputusan menteri dengan mendapatkan teguran dan kita tunggu laporannya sejauh mana pelanggarannya. Akan kita evaluasi," tandasnya.(ndr/ken)

By: Rachmadin Ismail
Source: www.detik.com, 29/09/2008
Read On 0 comments

Berhenti Makan Daging Cegah Krisis Pangan dan Lingkungan

2:41:00 PM
Krisis pangan, lingkungan, air, kesehatan, bahkan ekonomi sesungguhnya bisa jauh dicegah dengan mengurangi konsumsi daging. Namun, informasi-informasi tentang hal itu nyaris tak pernah diperoleh masyarakat. Kultur makan daging sudah sedemikian akut.
Hal itu disampaikan Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Prasasto Satwiko dalam pidato Dies Natalis XLIII UAJY, Sabtu (27/9). "Yang terjadi sekarang adalah krisis pengelolaan alam yang dilakukan manusia. Sumber daya alam kita bukan berkurang, tapi menuju habis," ucapnya.
Sangat banyak alasan yang tak terbantahkan. Hewan ternak, kata Prasasto yang vegetarian ini, mengonsumsi air dan tumbuhan—yang sejatinya bisa untuk dimakan/diolah manusia—dalam porsi banyak. Sementara yang dihasilkan hewan bagi manusia hanya sepotong daging.
Kalau dibenturkan dengan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa setiap tujuh detik terdapat satu anak mati kelaparan, kenyataan ini jelas membuat terperangah.
"Berhenti atau jauh mengurangi makan daging bisa menyelamatkan lingkungan. Anda pasti tidak tahu kalau ikan yang ada di meja sebenarnya hanya sepersekian persen dari yang ditangkap di laut. Sisanya, ikan-ikan yang tidak terpakai dibuang dalam keadaan mati dan sekarat di laut," ucapnya. Tak hanya itu, dua pertiga lahan pertanian di bumi hanya dijadikan peternakan atau padang rumput. Lebih mencengangkan lagi, efek rumah kaca yang membuat suhu bumi terus naik, tak hanya disebabkan gas CO2 melainkan juga oleh gas metan.

PBB menyebut aneka polusi kendaraan (CO2) menyumbang 13 persen efek gas rumah kaca dan metan 18 persen. "Dan peternakanlah sumber utama gas metan. Padahal, gas metan 23 kali lebih berbahaya ketimbang CO2," katanya.
Untuk krisis kesehatan, orang sudah tahu daging penyebab aneka penyakit mengerikan. Untuk krisis ekonomi, bisa dijelaskan sederhana. "Kita menyalakan kompor lebih lama untuk memasak daging? Selain itu harga daging juga lebih mahal ketimbang sayuran," paparnya.
Prasasto menyayangkan bahwa informasi seputar akibat mengonsumsi daging tak banyak terekspos, termasuk oleh media dan kalangan intelektual. "Tentu ada sanggahan yang bersuara bahwa daging adalah sumber protein dan tenaga, tetapi sesungguhnya tidak. Manusia bisa hidup tanpa daging, namun tak bisa hidup tanpa tumbuhan. Silakan dibuktikan," ujarnya. (PRA)

By: Lukas Adi Prasetyo
Source: www.kompas.com, 27 September 2008
Read On 2 comments

Ada yang Salah dengan Pengelolaan Energi

2:32:00 PM
Negeri ini sebetulnya tidak kekurangan energi sama sekali. Indonesia memiliki banyak sumber-sumber energi yang beragam jenisnya. Mulai dari minyak, gas, batu bara, panas bumi (geothermal), sampai nuklir. Belum lagi energi terbarukan lainnya seperti angin, air, matahari, biofuel, dan biogas.
Semuanya tersebar merata di hampir seluruh wilayah Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. Tak sejengkal pun tanah di bumi Nusantara ini yang tidak mengandung karunia Tuhan. Semuanya dapat menghasilkan sesuatu bagi kebutuhan dan perkembangan manusia Indonesia. Bahkan bagi kebutuhan umat di dunia!
Krisis energi yang selama ini digembar-gemborkan sesungguhnya bukan karena persediaan energi yang tidak cukup. Atau pun cadangan persediaan energi yang tinggal sedikit. Melainkan karena pengelolaan energi nasional yang kurang baik. Mengapa begitu? Jawabannya adalah karena sumber persediaan dan hasil energi di dalam negeri ini dijual ke luar negeri secara masif. Hasil energi Indonesia dijual dengan murahnya tanpa memedulikan kebutuhan dan kemanan pasokan energi di dalam negeri.
Padahal kita tahu bahwa di dalam negeri sedang terjadi kelangkaan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan krisis listrik. Selain itu harganya pun sangat mahal bagi rakyat miskin. Ketika rakyat kesulitan mendapat hasil energi baik minyak, gas, batu bara, maupun listrik, pemerintah dan pengusaha malah seenaknya mengekspor bahan-bahan tersebut ke luar negeri.
Alasannya karena harga komoditas tersebut sedang melejit di pasar global. Pemerintah lebih memilih menjualnya ke luar negeri ketimbang di dalam negeri yang harganya jauh di bawah pasar internasional. Padahal kita tahu kalau banyak rakyat miskin di negeri ini yang sangat membutuhkan minyak, gas, dan listrik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan penerangan.
Inilah yang membuat kita semua jadi prihatin dan sekaligus bingung! Mengapa bingung? Sebab, sepertinya kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut tanpa ada tindakan konkret dari pemerintah untuk memperbaiki nasib rakyat. Sebagai pemegang monopoli tata kenegaraan, khususnya di bidang energi, pemerintah sesungguhnya wajib untuk memperbaiki nasib rakyat yang lebih baik.
Pemerintah seharusnya menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat seperti minyak, gas, maupun listrik. Masih banyak masyarakat di daerah-daerah terpencil yang kesulitan dalam mengakses listrik. Bahkan di sejumlah wilayah tertentu sama sekali belum teraliri listrik karena baik alat pembangkit maupun transmisi untuk mengaliri listrik belum ada.
Sejauh ini masyarakat di wilayah-wilayah terpencil menggunakan cara-cara konvensional untuk menciptakan energi baik listrik maupun untuk memasak dan keperluan lainnya. Beruntung bagi masyarakat yang di daerahnya terdapat sumber air yang banyak seperti air terjun dan sungai. Karena mereka bisa menciptakan energi yang berasal dari air / mikrohidro. Namun, bagi masyarkat yang di daerahnya krisis sumber energi atau bahkan sama sekali tidak ada mereka harus mencari ke tempat lain yang terdapat sumber energi.
Kebijakan energi nasional yang serabutan menyebabkan krisis energi hampir di banyak wilayah di Nusantara. Begitu ngawurnya kebijakan energi oleh pemerintah sampai-sampai Indonesia harus mengimpor minyak dari luar negeri karena di dalam negeri sendiri kekurangan minyak! Bahkan kita telah menjadi net importir komoditi tersebut. Dan, yang lebih mencengangkan lagi bahwa pemerintah tidak langsung membelinya ke produsen minyak melainkan pemerintah membelinya melalui pasar spot (calo minyak) seperti membelinya ke Singapura.
Pertanyaannya adalah mengapa pengelolaan energi nasional begitu lemah dan bodoh? Mengapa pemerintah melakukan semua ini? Apakah ada intervensi asing yang mendorong pemerintah melakukan ini? Apakah ada kekuatan-kekuatan di dalam negeri seperti para pengusaha tambang dan batu bara yang menekan pemerintah yang menginginkan untung besar tanpa harus membayar pajak? Ataukah ada aksi para spekulan seperti yang selama ini diwacanakan oleh pemerintah, para pakar, dan juga para produsen besar minyak dunia? Ataukah pemerintah yang tidak tahu cara mengelola energi yang benar?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas menggugah kita bahwa sesungguhnya memang ada yang salah dalam pengelolaan energi nasional selama ini. Namun, pertanyaan yang paling akhir di atas merupakan faktor yang paling kuat dalam menyumbang krisis energi di dalam negeri. Apa sesungguhnya yang salah dalam pengelolaan energi kita?
Baik, kita bedah letak kesalahan tersebut satu per satu.
Pertama, kebijakan energi oleh pemerintah tidak lagi sesuai dengan amanat dan cita-cita proklamasi maupun UUD 45.
Kedua, pemerintah terlalu mengistimewakan investor maupun pengusaha asing melalui UU PMA hasil amandemen UUD yang ke empat.
Ketiga, terkait dengan sistem kontrak karya eksplorasi dan pengolahan sumber energi yang kurang menguntungkan bagi kepentingan nasional.
Keempat, adanya oknum pemerintah sendiri yang menjadi komprador kepentingan asing yang sering menghubungkan kepentingan pengusaha baik lokal maupun asing yang merugikan kepentingan nasional.
Kelima, aksi menimbun BBM maupun gas dan menyelundukannya secara ilegal ke luar negeri baik yang dilakukan oleh swasta maupun pemerintah.
Pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1-3 secara umum ditegaskan bahwa segala sesuatu yang berhubugan dengan hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dalam hal ini adalah pemerintah wajib memakmurkan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Pada pasal ini sesungguhnya pemerintah telah melanggar UUD. Yaitu, sumber energi kita sebagian tidak lagi dikuasai oleh pemerintah melainkan berada dalam penguasaan asing. Kendati banyak juga pengusaha lokal yang bergerak di bidang-bidang tertentu di energi namun secara kuantitas dan kualitas tidak terlalu berpengaruh signifikan bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan asing.
Seluruh kekayaan alam kita digerus dan dibawa oleh pihak asing. Pemerintah tidak menjamin ketersediaan energi bagi kebutuhan di dalam negeri sendiri. Sehingga ketahanan energi nasional menjadi sangat lemah. Sehingga kita tidak memiliki daya tawar di dunia internasional.
Melalui UU Penanaman Modal Asing yang baru pihak asing dapat lebih leluasa dan lebih lama mengeksploitasi sumber kekayaan alam Indonesia. Tanpa harus dipusingkan dengan retribusi atau kompensasi yang berarti bila terjadi kerusakan alam. Padahal, ketika awal-awal republik ini berdiri pihak asing hanya boleh mengelola sumber daya alam Indonesia tidak lebih dari 35 tahun.
Namun, dengan UU PMA yang baru ini pihak asing dapat mengeksploitasi sumber kekayaan alam Indonesia hingga 95-100 tahun lamanya. Itu pun belum jelas tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility)-nya terhadap masyarakat sekitar yang di daerahnya terdapat kegiatan eksplorasi sumber-sumber energi. Selama ini paling-paling perusahaan hanya mengeluarkan 2% dari CSR dari jumlah keuntungan yang sangat besar yang diperoleh perusahaan atas eksplorasi dan eksploitasi SDA kita.
Sistem Kontrak Kerja Sama antara pemerintah dengan para pengusahaa lokal maupun asing selama ini disinyalir terjadi penyelewengan. Baik oleh pengusaha maupun pejabat pemerintah sendiri. Penyelewengan itu terkait masalah cost recovery atau pengembalian seluruh biaya operasi para kontraktor migas yang sebagiannya merupakan perusahaan asing.
Banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya produksi migas seharusnya menjadi tanggungan masing-masing pengusaha kontraktor migas. Malah dibebankan dan menjadi tanggungan pemerintah.
Meski cost recovery cenderung naik dari tahun ke tahun tetapi produksi dan lifting minyak dalam negeri justru berbalik arah mengalami penurunan. Masalahnya sejumlah kontraktor cenderung menggelembungkan cost recovey. Atau banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya operasional migas tapi dikleimkan ke pemerintah.
Beberapa kerugian dari cost recovery yang diklaim ke pemerintah di antaranya ialah biaya pelatihan ekspatriat, biaya konsultan pajak, biaya merger, biaya-biaya yang terkait dengan pemasaran, pengembangan masyarakat, maupun kegiatan kehumasan. Carut marutnya masalah cost recovery ini ditenggarai oleh keterlibatan oknum pejabat pemerintah sendiri yang juga berkolaborasi dengan pemain-pemain asing dan lokal.
Dalam hal ini oknum tersebut juga merupakan bagian dari para Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang tentunya tak ingin rugi dan hanya mau untung besar. Oleh sebab itu sampai saat ini belum ada tindakan pembenahan di sektor tersebut.
Bobroknya pengelolaan energi nasional seakan diperparah lagi oleh aksi liar penyelundupan Migas ke luar negeri melalui saluran-saluran resmi maupun yang tidak resmi. Ada beberapa pulau terluar Indonesia yang menjadi jalur penyelundupan BBM melalui pipa-pipa yang terpasang di bawahnya yang disalurkan ke kapal-kapal tanker untuk kemudian di bawa lari ke luar negeri.
Tindakan ini bukan tanpa diketahui oleh pemerintah melainkan secara legal hasil energi tersebut dijual dengan harga yang murah. Sementara hasil keuntungan tidak masuk ke kas negara yang kemudian bisa dinikmati oleh semua rakyat Indonesia.
Berangkat dari paparan tersebut di atas maka tepatlah kalau dikatakan bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan energi nasional. Energi dikelola secara tidak benar dan asal-asalan. Persoalan energi bukan persoalaan biasa. Melainkan persoalan hidup matinya rakyat.

By: Abdul Ghopur (Koordinator Divisi Kajian dan Program Lembaga Kajian Implementasi & Tata-kelola Energi Nasional Energy Efficentrum)
Source: www.detik.com (SuaraPembaca), 22/08/2008
Read On 0 comments

Anak Pakai Ponsel, Makin Rentan Kanker

1:56:00 PM
Lebih bijaksanalah dalam membiarkan anak menggunakan ponsel. Sebuah studi yang dilakukan di Swedia membuktikan, penggunaan ponsel pada anak di bawah usia 16 tahun meningkatkan risiko tumbuhnya tumor otak hingga lima kali lipat.
Demikian hasil studi yang dipaparkan di sebuah konferensi internasional tentang kesehatan dan ponsel di London baru-baru ini. Lebih lanjut juga dijelaskan, risiko tumor otak yang tumbuh akibat penggunaan ponsel berlebihan itu dikaitkan dengan pertumbuhan otak anak di bawah umur 16 tahun yang masih berkembang.
Para periset menyebutkan, orang yang memulai aktivitas berponsel sebelum umur 20 tahun, 5 kali lebih berisiko untuk terkena kanker sel glial yang berhubungan dengan pusat sistem saraf.
Remaja pengguna ponsel aktif juga lima kali lebih mudah terkena 'acoustic neuroma', yaitu tumor yang menyebabkan gangguan pendengaran.
Menurut Profesor Lennart Hardel dari University Hospital di Orebro, Swedia, risiko kanker tersebut akan lebih besar bila yang terpapar radiasi adalah anak-anak balita. Hal itu karena kepala anak balita lebih kecil serta tengkorak kepala mereka juga lebih tipis dari orang dewasa. Demikian seperti dikutip detikINET dari SMH, Rabu (24/9/2008).
"Kita harus melakukan pencegahan," ujar Profesor Hardel. Lebih lanjut Hardel mengimbau agar anak-anak menggunakan handsfree bila ingin berbicara di ponsel untuk meminimalisir paparan radiasi.
Pun telah banyak studi serupa soal keterkaitan kanker dengan radiasi ponsel, namun sebagian ilmuwan juga masih meragukan hasil studi tersebut. Penggunaan ponsel dinilai tidak terlalu relevan dengan kanker. Namun belum ada bantahan tentang keterkaitan pemakaian ponsel dan kanker pada balita. (amz/wsh)

By: Annisa M. Zakir - detikinet
Source: www.detik.com, 24 September 2008
Read On 0 comments

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts