Menurut prakiraan Business Management International (BMI, 2008) konsumsi daya yang diperkirakan sekitar 173 TWh (terawatt hour) pada 2007 dan akan meningkat ke 338 TWh pada 2012 seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini berarti pula kekurangan pasokan daya sebesar 44 TWh yang terjadi pada 2007 akan menjadi 170 TWh pada 2012, Dengan asumsi peningkatan kapasitas listrik sebesar 4,6% per tahun.
Menanggapi kekurangan tersebut jurus pertama pemerintah adalah langkah efisiensi. Lampu hemat energi pun diimpor. Belum cukup dengan jurus ini pemadaman bergilir dan program insentif pun dijalankan. Belum cukup juga lewat surat keputusan bersama 5 menteri (SKB) Jilid I. Industri sebagai konsumen listrik terbesar pun diminta mengalihkan jam kerja ke Sabtu dan Minggu. Belum cukup juga SKB Jilid II tentang penghematan di perkantoran, hotel, tempat pembelanjaan dan restoran pun diluncurkan.
Tidak tahu jurus atau SKB apa lagi yang akan terbit. Tentunya pemerintah tidak perlu mengeluarkan jurus-jurus "pamungkas" di atas jika ada perencanaan yang matang dalam pembangunan sektor kelistrikan.
Energi Tebaharui
Menurut laporan Greenpeace (Nov. 2007), PLN sebagai pemain utama yang memasok listrik hampir 90% dari total produksi listrik Indonesia menggantungkan produksi listriknya pada minyak bumi (42%), gas (22%) batubara(20%), PLTA (14%), dan lainnya (2%). Dominannya pembangkit listrik PLN yang bertumpu pada minyak bumi yang harganya sedang selangit dan persediannya yang semakin menipis harusnya mendorong pemerintah untuk beralih ke sumber energi hijau (matahari, geothermal, PLTA, mikrohidro) yang potensinya masih begitu besar tapi belum dimanfaatkan.
Menurut cetak biru listrik Indonesia (www.pln.co.id), potensi geothermal sebesar 20 Giga watt (GW) hanya terpakai 4%, PLTA dengan total potensi 76 GW baru kepakai 6%, mikro-hidro 0,456 GW, terrealisasi 4,5%. Sedangkan energi matahari yang berlimpah belum terjamah sama sekali oleh PLN. Dengan potensi sebesar 4 kWh (kilowatt hour) per meter persegi, jika 1% saja (setara dengan luas propinsi Bangka-Belitung) dari total luas daratan Indonesia yang hampir mencapai 2 juta kilometer persegi (1 km2 = satu juta meter persegi), maka potensi daya yang dapat dihasilkan mencapai 80 TWh.
Lantas mengapa begitu besarnya potensi sumber energi hijau tidak termanfaatkan? Apakah kurang menarik atau menguntungkan? Ternyata tidak. Adalah payung hukum yang tidak jelas yang menjadi sebab utama.
Undang-Undang Kelistrikan
Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No 20/2002 yang membolehkan investor swasta pada sektor listrik. Hal ini berarti pula sebelum adanya UU baru UU No. 5/1985-lah yang tetap berlaku. Sektor listrik adalah monopoli PLN. Investor swasta dapat terjun dalam kelistrikan dengan catatan listrik yang diproduksi harus dijual ke PLN dan harga jual listrik ditentukan pemerintah sebagaimana menurut UU No 15/1985 Pasal 16 jo PP No 3/2005.
Tetap berkuasanya PLN tidaklah membuat pasokan listrik di tanah air semakin baik. Dengan pembangkit yang termakan usia dan minimnya pemeliharaan usaha PLN untuk memenuhi kekurangan pasokan listrik saat ini bagaikan nafsu besar tenaga kurang.
Sumber Daya Alam
Pembatalan UU No 20/2002 bagi investor swasta bagai pucuk dicinta ulam tiba. Pengalihan investasi ke sumber daya alam (SDA) tambang dan migas nyatanya merupakan sektor "basah" yang pada saat ini sedang menikmati puncak kejayaannya.
Pemerintah tentunya sadar bahwa minyak bumi, gas alam, batubara, dan SDA lainnya bukanlah seperti alang-alang liar yang setelah habis dipangkas akan tumbuh dengan sendirinya. Dengan harga komoditi SDA yang sedang berada di puncak harusnya inilah saat yang tepat untuk memaksimalkan pemasukan negara untuk digunakan dalam pembangunan berkelanjutan termasuk dalam hal nya sektor listrik.
Pembangunan infrastruktur kelistrikan handal tentunya dapat pula mendorong upaya dan minat industri di Jawa untuk relokasi ke luar Jawa. Saat ini lebih dari 80% listrik dikonsumsi oleh Jawa sedangkan potensi sumber daya terbaharui yang belum termanfaatkan begitu besar di luar Jawa. Seperti PLTA yang mencapai 60% dari total potensi 76 GW berada di Kalimantan dan Papua.
Masa Suram
Tanpa adanya kesadaran dari para pemimpin bangsa dan tentunya kemauan politik yang kuat dan bersih dari KKN Indonesia yang selama ini lebih membanggakan diri sebagai penyedia bahan baku daripada produsen barang jadi, yang lebih menikmati sebagai pemakai teknologi daripada pencipta teknologi, yang lebih menghargai produk dan tenaga asing daripada karya dan keringat anak bangsa, yang rela membabat hutan lindungnya demi kepentingan negara lain dan akhirnya berhasil meraih medali perunggu sebagai negara pengemisi karbon terbesar dunia.
Niscaya, saat lingkungan telah rusak dan seluruh isi perut bumi Indonesia telah habis dikuras, akan dimulailah perjalanan menelusuri lorong gelap yang tidak tahu berapa panjangnya sambil berangan-angan semoga "habis gelap terbitlah listrik".
By: Kian Siong, PhD (Department of Environmental Science Saitama University Japan)
siong@mail.saitama-u.ac.jp
Source: www.detik.com, 06/08/2008
Menanggapi kekurangan tersebut jurus pertama pemerintah adalah langkah efisiensi. Lampu hemat energi pun diimpor. Belum cukup dengan jurus ini pemadaman bergilir dan program insentif pun dijalankan. Belum cukup juga lewat surat keputusan bersama 5 menteri (SKB) Jilid I. Industri sebagai konsumen listrik terbesar pun diminta mengalihkan jam kerja ke Sabtu dan Minggu. Belum cukup juga SKB Jilid II tentang penghematan di perkantoran, hotel, tempat pembelanjaan dan restoran pun diluncurkan.
Tidak tahu jurus atau SKB apa lagi yang akan terbit. Tentunya pemerintah tidak perlu mengeluarkan jurus-jurus "pamungkas" di atas jika ada perencanaan yang matang dalam pembangunan sektor kelistrikan.
Energi Tebaharui
Menurut laporan Greenpeace (Nov. 2007), PLN sebagai pemain utama yang memasok listrik hampir 90% dari total produksi listrik Indonesia menggantungkan produksi listriknya pada minyak bumi (42%), gas (22%) batubara(20%), PLTA (14%), dan lainnya (2%). Dominannya pembangkit listrik PLN yang bertumpu pada minyak bumi yang harganya sedang selangit dan persediannya yang semakin menipis harusnya mendorong pemerintah untuk beralih ke sumber energi hijau (matahari, geothermal, PLTA, mikrohidro) yang potensinya masih begitu besar tapi belum dimanfaatkan.
Menurut cetak biru listrik Indonesia (www.pln.co.id), potensi geothermal sebesar 20 Giga watt (GW) hanya terpakai 4%, PLTA dengan total potensi 76 GW baru kepakai 6%, mikro-hidro 0,456 GW, terrealisasi 4,5%. Sedangkan energi matahari yang berlimpah belum terjamah sama sekali oleh PLN. Dengan potensi sebesar 4 kWh (kilowatt hour) per meter persegi, jika 1% saja (setara dengan luas propinsi Bangka-Belitung) dari total luas daratan Indonesia yang hampir mencapai 2 juta kilometer persegi (1 km2 = satu juta meter persegi), maka potensi daya yang dapat dihasilkan mencapai 80 TWh.
Lantas mengapa begitu besarnya potensi sumber energi hijau tidak termanfaatkan? Apakah kurang menarik atau menguntungkan? Ternyata tidak. Adalah payung hukum yang tidak jelas yang menjadi sebab utama.
Undang-Undang Kelistrikan
Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No 20/2002 yang membolehkan investor swasta pada sektor listrik. Hal ini berarti pula sebelum adanya UU baru UU No. 5/1985-lah yang tetap berlaku. Sektor listrik adalah monopoli PLN. Investor swasta dapat terjun dalam kelistrikan dengan catatan listrik yang diproduksi harus dijual ke PLN dan harga jual listrik ditentukan pemerintah sebagaimana menurut UU No 15/1985 Pasal 16 jo PP No 3/2005.
Tetap berkuasanya PLN tidaklah membuat pasokan listrik di tanah air semakin baik. Dengan pembangkit yang termakan usia dan minimnya pemeliharaan usaha PLN untuk memenuhi kekurangan pasokan listrik saat ini bagaikan nafsu besar tenaga kurang.
Sumber Daya Alam
Pembatalan UU No 20/2002 bagi investor swasta bagai pucuk dicinta ulam tiba. Pengalihan investasi ke sumber daya alam (SDA) tambang dan migas nyatanya merupakan sektor "basah" yang pada saat ini sedang menikmati puncak kejayaannya.
Pemerintah tentunya sadar bahwa minyak bumi, gas alam, batubara, dan SDA lainnya bukanlah seperti alang-alang liar yang setelah habis dipangkas akan tumbuh dengan sendirinya. Dengan harga komoditi SDA yang sedang berada di puncak harusnya inilah saat yang tepat untuk memaksimalkan pemasukan negara untuk digunakan dalam pembangunan berkelanjutan termasuk dalam hal nya sektor listrik.
Pembangunan infrastruktur kelistrikan handal tentunya dapat pula mendorong upaya dan minat industri di Jawa untuk relokasi ke luar Jawa. Saat ini lebih dari 80% listrik dikonsumsi oleh Jawa sedangkan potensi sumber daya terbaharui yang belum termanfaatkan begitu besar di luar Jawa. Seperti PLTA yang mencapai 60% dari total potensi 76 GW berada di Kalimantan dan Papua.
Masa Suram
Tanpa adanya kesadaran dari para pemimpin bangsa dan tentunya kemauan politik yang kuat dan bersih dari KKN Indonesia yang selama ini lebih membanggakan diri sebagai penyedia bahan baku daripada produsen barang jadi, yang lebih menikmati sebagai pemakai teknologi daripada pencipta teknologi, yang lebih menghargai produk dan tenaga asing daripada karya dan keringat anak bangsa, yang rela membabat hutan lindungnya demi kepentingan negara lain dan akhirnya berhasil meraih medali perunggu sebagai negara pengemisi karbon terbesar dunia.
Niscaya, saat lingkungan telah rusak dan seluruh isi perut bumi Indonesia telah habis dikuras, akan dimulailah perjalanan menelusuri lorong gelap yang tidak tahu berapa panjangnya sambil berangan-angan semoga "habis gelap terbitlah listrik".
By: Kian Siong, PhD (Department of Environmental Science Saitama University Japan)
siong@mail.saitama-u.ac.jp
Source: www.detik.com, 06/08/2008
Post a Comment