Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Mencerdaskan Konsumen Indonesia Bagi Kesejahteraan Diri dan Kejayaan Bangsa

Labels:
Ide pendirian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) muncul dari gerakan ibu-ibu rumah tangga yang cinta akan produk Dalam Negeri (DN). Waktu itu pasar-pasar di Indonesia dibanjiri produk-produk impor sehingga bangsa Indonesia sangat tergantung pada produk-produk hasil industri negara lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Perasaan kaum ibu mengenai ketidakberesan ini menggerakan diri mereka untuk berdemonstrasi di depan Pusat Perbelanjaan Sarinah. Tapi seorang wartawan yang hadir meliput demonstrasi itu sempat bertanya bagaimana masyarakat dapat menggunakan produk-produk dalam negeri yang bermutu rendah? Apakah aman dan bisa dijamin mutunya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mendorong para ibu untuk mendirikan sebuah wadah yang dapat memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat supaya cerdas dan kritis dalam memilih produk yang aman dan bermutu. Maka berdirilah YLKI di Jakarta pada tanggal 11 Mei 1973. Upaya YLKI pertama adalah mendesak produsen Susu Kental Manis untuk mencantumkan label “Tidak Cocok untuk Bayi” dalam kemasan Susu Kental Manis, yang lebih banyak mengandung gula daripada susu.
Demikian penuturan Ibu Indah Sukmaningsih—Ketua Umum YLKI yang menjadi pembicara utama di Diskusi Bulanan Kebangsaan National Integration Movement (NIM) pada Sabtu, 30 Juni 2007 di One Earth, Ciawi. Diskusi kali ini bertema "Mencerdaskan Konsumen Indonesia Bagi Kesejahteraan Diri dan Kejayaan Bangsa.” Muhammad Dian Martin memoderatori acara ini.
Indah sempat terharu ketika mengikuti prosesi menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum acara dimulai. Menurut beliau, ini baru ke-2 kalinya beliau menghadiri sebuah acara yang dimulai dengan menyanyikan bersama lagu Indonesia Raya. Sebelumnya ia mengalami hal yang sama ketika menghadiri sebuah ceramah di Maumere, NTT yang diselenggarakan Yayasan Kasimo pada tahun 1999.
Tujuan pendirian YLKI adalah meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga dapat melindungi dirinya dan lingkungannya. YLKI berbeda dengan lembaga perlindungan konsumen lain di negara-negara barat karena YLKI berfokus sebagai voice of voiceless yang berdasarkan prinsip value for people, bukan value for money seperti prinsip-prinsip lembaga konsumen di negara-negara barat. Jadi telah terjadi proses penyesuaian nilai-nilai utama dalam prinsip perlindungan konsumen dari value for money (Barat) menjadi value for people karena menyesuaikan dengan keadaan di Indonesia.
Ada beberapa kendala utama yang dihadapi YLKI dalam menjalankan tugasnya. Pertama adalah kebiasaan Konsumen di Indonesia yang: (1) extreme nrimo; (2) pelupa; dan (3) pemaaf. Kebiasaan-kebiasaan ini mencerminkan kurangnya kesadaran komunal di Indonesia. Masyarakat Indonesia jarang sekali memikirkan orang lain bila tidak sangat terpaksa dan hal ini mencerminkan sebuah kesadaran individu yang agak berlebihan.
Kendala kedua adalah regulasi Pemerintah yang tidak berpihak pada konsumen. Banyak terjadi di Indonesia bahwa usaha (bisnis) sudah dijalankan tapi perundangan yang mengatur sektor usaha tersebut sengaja diperlambat sehingga hak dan kewajiban konsumen, produsen dan pengatur (pemerintah) menjadi tidak jelas alias abu-abu. Dan, yang biasanya paling dirugikan adala pihak yang paling lemah, yaitu konsumen. Misalnya di Yogyakarta. Dalam perjanjian antara Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan konsumen terdapat pasal yang melarang konsumen protes bila air PDAM yang mengalir kecil debitnya. Atau, tidak ada sanksi bagi bank penerbit kartu kredit bila debt collector yang ditugasi menagih konsumen melakukan tindak kekerasan yang berlebihan.
Kendala berikutnya adalah kelalaian birokrat. Banyak sekali iklan-iklan dari produk-produk konsumsi sangat tidak mendidik tapi dibiarkan tayang oleh pemerintah maupun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Misalnya, iklan pemutih kulit yang menggambarkan seorang wanita berkulit putih lebih mudah mendapatkan pasangan daripada yang berkulit gelap. Ini jelas tidak mendidik dan cenderung meremehkan masyarakat Indonesia yang sebagian besar tidak berkulit putih.
Kendala keempat adalah ketidakpedulian pelaku usaha. YLKI, misalnya, banyak menerima keluhan dari masyarakat tentang SMS Doa/Renungan. Konsumen mengeluh bahwa proses registrasinya mudah dan cepat tapi ketika ingin berhenti berlangganan maka prosesnya menjadi sukar dan sangat lambat. Konsumen pun merasa dirugikan. Tapi ketika keluhan disampaikan kepada operator telekomunikasi, mereka menolak menangani keluhan dan mengalihkan tanggung jawab kepada content provider (perusahaan lain) yang menyelenggarakan SMS Doa/Renungan ini. Lebih parah lagi, seringkali operator melindungi content provider yang bertanggung jawab.
Seperti yang tertuang dalam tujuannya, YLKI memang lebih berfokus pada kesadaran dan pendidikan masyarakat untuk menjadi konsumen yang pintar (to be a smart consumer) ketimbang mengadvokasi konsumen yang merasa dirugikan. Indah sendiri mengungkapkan kebingungannya kenapa sukar sekali mendidik orang Indonesia dalam berbelanja. “Mungkin selama ini rakyat hanya diajarkan untuk belajar ‘how to believe’,” katanya.
Karena keterbatasan sumber dana dan manusia, YLKI lebih memfokuskan pekerjaannya pada sektor listrik dan air. Ada sebuah metode yang dikembangkan YLKI dan dijadikan contoh bagi badan-badan perlindungan konsumen di negara-negara lain. Metode itu disebut Collective Consumer’s Complain Handling. Dalam metode ini, pelanggan yang merasa dirugikan dan tidak diperhatikan dikumpulkan untuk dipertemukan dengan manajemen perusahaan. Misalnya, dalam kasus PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan pelanggan. Pelanggan dikumpulkan dan difasilitasikan oleh YLKI untuk bertemu dengan pimpinan teratas PLN. Di sana, tiap pelanggan diberi waktu untuk berbicara dan PLN langsung bisa menanggapi dan mengatasi permasalahan.
Hak-Hak konsumen di Indonesia diatur dalam Pasal 4 UU No. 8/1999. Di Australia sendiri ada yang disebut Survelliance Act dan di Malaysia disebut Price Hike Act. Jadi tidak benar bahwa di negara lain, termasuk negera-negara barat, segala sesuatu jenis perdagangan selalu bebas dari intervensi negara sebagai regulator. Dulu, di jaman Pak Harto, kata Indah, harga 10 bahan kebutuhan pokok masih diatur pemerintah untuk melindungi masyarakat dari permainan para spekulan perdagangan, tapi di jaman sekarang, kontrol pemerintah malah diharamkan sehingga harga bahan-bahan kebutuhan pokok bisa melambung tanpa terkontrol dan masyarakat pun yang menjadi korban.
Peranan pemerintah dalam mengkontrol komoditas perdagangan pun sudah terpasung sejak Indonesia ikut dalam World Trade Organization (WTO). Tapi aturan WTO hanya berlaku mengikat peranan pemerintahan suatu negara bukan peranan masyarakat (konsumen). Contohnya adalah negara Jepang. Biarpun Jepang mempunyai perjanjian perdagangan bilateral dengan negara lain, maupun multilateral seperti dengan WTO, APEC dan sebagainya, tapi barang-barang impor tidak terlalu merajai pasar domestik Jepang karena masyarakat Jepang terkenal loyal dengan produk-produk buatan negerinya sendiri. Ini terjadi karena masyarakat Jepang mempunyai kesadaran komunal bagi negaranya sendiri. Maka dari itu, maka konsumen di Indonesia harus bersatu dan bertindak.
Indah juga mengakui bahwa isu perlindungan konsumen memang rentan digunakan oleh pihak-pihak asing untuk menggolkan aturan persaingan usaha. Salah satu butir dalam Letter of Intent (LoI) IMF mensyaratkan pemerintah Indonesia untuk merampungkan perundangan perlindungan konsumen dan perundangan persaingan usaha. YLKI sendiri menyadari bahwa pihak-pihak asing ingin masuk ke pasar Indonesia yang selama ini tertutup untuk investasi asing dan kuasai oleh pihak pemerintah atau swasta yang cenderung monopolistik dengan mengangkat isu perlindungan konsumen.
Dan, akhirnya apa yang dikhawatirkan YLKI memang benar-benar terjadi. Undang-Undang Persaingan Usaha dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) segera rampung karena banyak pihak (termasuk pihak asing) yang mendukung dengan membiayai prosesnya. Sedangkan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) dan UU Perlindungan Konsumen malah tertunda karena tidak ada pihak yang berkepentingan dan membantu prosesnya. Jadi sangat jelas bahwa target utamanya adalah UU Persaingan Usaha bukan UU Perlindungan Konsumen. Maka, kita melihat sendiri sekarang bahwa banyak sektor usaha dikuasai asing, termasuk sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti Air, Migas, Frekwensi Udara (telekomunikasi), pendidikan, dan lain-lain.

Source: http://joehanes.blogsome.com, July 16, 2007
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts