Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Arti Sebuah Pergerakan Konsumen

BOIKOT! Satu kata yang sering dinilai negatif, terutama oleh penguasa atau mereka-mereka yang biasa melakukan penekanan. Padahal sebenarnya boikot mempunyai arti positif dan penting bagi yang melakukannya, yang umumnya kaum lemah, guna memperbaiki posisi tawar mereka.
Di negara-negara maju boikot merupakan hal biasa yang dijumpai sehari-hari. Dilakukan tidak hanya untuk memperbaiki nasib dan posisi tawar, tetapi juga untuk menyampaikan sikap. Masyarakat Amerika pernah melakukan boikot mengkonsumsi burger, karena ingin menunjukkan sikap prolingkungan dan tidak setuju terhadap penebangan hutan yang hanya untuk kepentingan pemodal beternak sapi dan dagingnya untuk industri burger. Atau kampanye gerakan konsumen memboikot penggunaan berlian De Beer, yang terkenal dengan iklan kasih sayangnya, guna menyampaikan sikap anti-ekploitasi terhadap buruh tambang di Afrika yang mensuplainya. Boikot semacam ini cukup efektif karena mereka memahami bahwa suara konsumen adalah pasar mereka.
Masyarakat konsumen kita yang telah lama dijadikan obyek dan harus selalu memenuhi atau tunduk pada keputusan pemerintah serta keinginan pengusaha, tampaknya mulai lelah dan sadar bahwa dirinya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya. Sehingga di saat pemerintah mengumumkan kenaikan tarif telepon yang telah disetujui DPR baru-baru ini, hal itu langsung memperoleh respon keras dari konsumen. Adalah ketidakadilan yang mereka rasakan, bila dalam suasana sulit dan beban hidup konsumen sangat berat mereka harus dibebani kenaikan tarif telepon. Apalagi konsumen tahu bahwa keuntungan PT Telkom meningkat 11 persen dari tahun sebelumnya, dari pengumuman Dirutnya sendiri. Ironis dan membingungkan!
Respon konsumen yang demikian keras dan terus mengalir ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam waktu tiga hari lebih dari 10.000 tanda tangan mereka kirim secara aktif ke YLKI. Hal ini menjadikan YLKI harus hati-hati dan serius menanganinya, untuk menghindari kekecewaan konsumen yang lebih dalam. Sebenarnya gerakan boikot ini bukan yang pertama kali, sebelumnya konsumen pernah melakukan gerakan protes terhadap stiker three in one dan boikot membayar iuran televisi. Boikot membayar iuran televisi adalah boikot yang paling panjang waktunya, bahkan sampai sekarang pun masih terus dilakukan dan cukup berhasil, namun dari segi gerakan kurang menunjukkan gaungnya karena dilakukan secara diam-diam dengan menunjukkan kelemahan dari dasar hukum yang digunakan
untuk melakukan pungutan. Ini pun lebih banyak YLKI yang aktif memberikan informasi untuk pemberdayaan konsumen, di samping juga memberikan petunjuk trik-trik menghadapi petugas penarik iuran televisi. Cara ini kurang terkoordinir secara sistematis untuk menjadi gerakan bersama, sehingga hasilnya pun hanya dinikmati oleh konsumen yang memang berani beradu argumentasi dengan petugas pemungut iuran.

***

KEINGINAN dan ajakan konsumen untuk boikot sudah sangat bulat dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, meskipun variasi atau tingkat boikot yang diinginkannya berbeda-beda. Ada yang bentuk boikotnya menidurkan atau tidak mengaktifkan teleponnya, sehingga bila perlu berhubungan ke luar akan menggunakan telepon umum. Bagi mereka yang mempunyai sambungan telepon berlebih, boikot yang akan dilakukan adalah mengembalikan sambungan telepon ke Telkom. Namun, yang terbanyak adalah boikot untuk tidak membayar rekening tagihan.
Semua bentuk boikot di atas dapat dilakukan konsumen, namun bagi YLKI bentuk pertama dan kedua adalah yang paling obyektif, tidak melanggar hak Telkom. Sebagai pihak yang selalu berprinsip anti pelanggaran hak, maka harus diterapkan pada tindakannya untuk menunjukkan sikap gentle-nya konsumen. Bagi sebagian konsumen boikot menidurkan teleponnya dan menggunakan telepon umum bila akan berkomunikasi adalah sesuatu yang tidak nyaman. Akan tetapi, justru ketidaknyamanan inilah yang harus dibayar oleh konsumen sebagai bentuk pengorbanan untuk perbaikan nasib konsumen.
Solidaritas dan gelombang keberanian konsumen untuk menuntut haknya melalui boikot tentu tidak lepas dari peran media massa cetak ataupun elektronik yang mampu menciptakan opini publik. Bahkan bila dicermati, hampir lebih dari dua minggu isu kenaikan tarif telepon terus digulirkan secara konsisten. Di sisi lain YLKI juga memperoleh feeding informasi serta support dari berbagai pihak, mulai dari individu-individu yang sangat paham dan pernah berkecimpung di telekomunikasi, analis-analis ekonomi seperti Econit, organisasi profesi dan juga rekan-rekan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Secara bersama-sama menggalang kekuatan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mempersiapkan diri untuk mendampingi para konsumen di pengadilan, bila nantinya boikot konsumen berakibat dengan pemutusan sambungan oleh Telkom. Kelompok mahasiswa sesuai dengan kemampuannya mengkoordinir unjuk rasa. Sedangkan Serikat Pengacara Indonesia akan mengajukan somasi.
Informasi akurat dari berbagai pihak yang berkaitan dengan inefisiensi Telkom, permainan tender masa lalu yang tidak transparan, KSO yang sangat merugikan Telkom dan perubahan persentase penerimaan Telkom yang sulit untuk dapat dipahami konsumen, pinjaman luar negeri yang tidak seluruhnya di-hedging, beban berat yang harus dipikul untuk mempertahankan nilai saham sebagai konsekuensi perusahaan yang sudah go public, sangat membantu YLKI dalam berdialog dan adu argumentasi dengan DPR ataupun pemerintah.
Berbagai bentuk kontribusi dari berbagai pihak mampu memperkuat gerakan konsumen untuk diperhitungkan. Ini terbukti dengan adanya peninjauan kembali tarif yang dilakukan oleh pemerintah bersama DPR, yang akhirnya memutuskan kenaikan tarif turun dari 24 persen menjadi 15 persen serta pembatalan pentarifan lokal-3.

***

HASIL akhir yang dicapai dari perjuangan ini tidak dapat memenuhi keinginan konsumen 100 persen, yaitu pembatalan kenaikan tarif. Mungkin bila dinilai angka keberhasilan perjuangan ini baru mencapai 70 persen, namun yang harus dihayati adalah bahwa perjuangan yang dilakukan bersama-sama telah mampu mengubah sikap pemerintah, pengusaha serta DPR untuk tidak memaksakan kehendaknya atau menang sendiri.
Konsumen dan YLKI masih mempunyai peluang tawar mengajukan persyaratan tertentu bila kenaikan 15 persen diberlakukan. Persyaratan yang diajukan ke pemerintah dan Telkom di antaranya transparansi parameter efisiensi yang ditargetkan, dan bila tidak tercapai direksi harus mempertanggungjawabkan atau bila perlu diganti. Dengan demikian kebiasaan untuk mengatasi kerugian akibat inefisiensi dengan cara pintas yaitu kenaikan tarif, dapat dihindarkan.
Persyaratan lainnya adalah transparansi dari blue print KSO yang banyak membawa permasalahan dan mengakibatkan konsumen saat ini harus rela berkorban membayar kenaikan tarif. Konsumen perlu tahu apa imbalan yang akan diperoleh di masa mendatang, setelah KSO berakhir dan dikelola oleh Telkom sendiri, mestinya harga pulsa akan turun. Di samping juga Telkom harus memberikan print-out tagihan untuk pembicaraan lokal. Persyaratan ini sangat wajar dan tentunya bisa diterima oleh pemerintah serta Telkom bila kita semua ingin melihat Telkom maju, tanpa harus merugikan konsumen dan benar-benar berpijak pada keadilan.
Apabila dalam jangka waktu tertentu yang disepakati bersama, persyaratan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka konsumen perlu kembali menggalang kekuatannya. Proses tawar-menawar semacam ini harus terus dilakukan sebagai bagian dari demokratisasi.
Kasus boikot telepon ini sangat menarik, memberikan suatu fenomena baru pada gerakan konsumen yang selama ini masih kurang dimobilisasi dengan baik. Memang masa lalu kendalanya cukup kompleks, di samping solidaritas konsumen masih rendah juga situasi politik yang tidak memberikan ruang gerak bagi mereka yang kritis menuntut haknya yang sedang terinjak. Untuk itu sekarang ini saatnyalah para konsumen merebut kesempatan guna mengaktualisasikan gerakannya.
Masih banyak hal yang perlu diperjuangkan bersama-sama khususnya yang menyangkut public services, seperti penentuan tarif air minum, tidak dilayaninya permohonan penyambungan listrik baru dengan daya di bawah 1.300 watt. Ini benar-benar mengabaikan konsumen miskin dan lemah. Belum lagi masalah-masalah yang berkaitan dengan perizinan, seperti izin bangunan, izin trayek transportasi dan masih banyak lainnya. Tanpa upaya dan kemauan konsumen sendiri, mustahil perbaikan nasib dan posisi tawar-menawar yang adil dapat terwujud.

By: Zumrotin K Susilo (Anggota Pengurus Harian YLKI)
Source: ... , 15 Maret 1999
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts