LATAR BELAKANG
Implementasi penyelenggaraan Perlindungan Konsumen yang telah memasuki tahun ke 8 (delapan) sejak diberlakukannya Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tahun 2000. Penerapannya secara umum masih belum optimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat/ Konsumen mulai dari Sabang sampai Merauke, hal ini disebabkan antara lain : Sosialisasi Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berikut peraturan pelaksanaannya belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat Repulik Indonesia tercinta yang secara geografis tinggal di beberapa kepulauan yang sulit dijangkau.
Kondisi yang demikian menjadi penyebab sebagian besar Konsumen, Pelaku Usaha, Aparat Pembina dan Aparat Penegak hukum belum mengetahui dan mamahami manfaat dan pentingnya Perlingdungan Konsumen, Khususnya yang terkait dengan Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha serta perbuatan yang dilarang dan tanggung jawab Pelaku Usaha sesuai dengan Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Selama ini banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang bertentangan dengan UUPK, namun pihak penegak hukum masih ragu melakukan tindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan kegiatannya bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sehingga UUPK ini dirasakan tidak efektif dimana masyarakat /Konsumen seolah-olah tidak terlindungi atas Hak-haknya sebagai konsumen seperti yang telah diamanatkan dalam UUPK tersebut.
Diskriminasi Implementasi hukum Undang-undang no 8 tentang Perlindungan Konsumen oleh aparat penegak hukum sangat dirasakan dibandingkan dengan penegakan hukum dalam bidang HAKI. Akhir-akhir ini aparat penegak hukum marak melakukan sweeping terhadap pelaku usaha kecil/UKM yang menjual VCD /Software bajakan, tetapi pelaku usaha yang memprouksi dan mendistribusikan barang-barang bajakan tidak tersentuh, Sehingga para pedagang kecil kembali menjadi bulan-bulanan. Bagaimana dengan produk makanan dan minuman yang marak beredar disekitar kita, jelas produk tersebut banyak yang illegal tetapi tetap dibiarkan saja, Sehingga timbul pertanyaan apakah masih harus ada tekanan politis internasional juga untuk melakukan perlindungan konsumen dalam bidang peredaran produk makanan dan minuman seperti kuatnya tekanan terhadap pelanggaran HAKI.
UNDANG-UNDANG KONSUMEN
Indonesia di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie pada 20 April 1999 telah menandatangi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, sejumlah perangkat hukum lainnya pun sebenarnya sudah disahkan, mulai dari pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Sejak awal Pemerintahan era reformasi, tampak ada keperdulian terhadap perlindungan konsumen. Sampai saat ini, pelaksanaan perlindungan konsumen masih dirasakan masyarakat sangat minim, kecuali untuk obat dan makanan yang memang ada lembaga khusus yang mengawasinya yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang cukup cepat bereaksi bila ada produsen atau import obat dan makanan yang merugikan konsumen. Walaupun demikian sifatnya menunggu Sampai adanya korban/kerugian konsumen baru bertindak, sehingga fungsi Perlindungan Konsumen Lembaga ini belum dapat diandalkan sebagai ujung tombak kegiatan Perlindungan Konsumen.
Secara umum masalah perlindungan konsumen atas barang dan jasa yang beredar di dalam negeri seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tampaknya tidak terlaksana dengan baik dan diperlukan kerja keras semua pemangku kepentingan untuk memberikan pendidikan konsumen melalui program-program yang lebih efektif.
BAGAIMANA DENGAN PELANGGARAN HAKI
Dalam implementasi Undang-Undang HAKI, sebenarnya yang sangat berkepentingan adalah pelaku usaha yang barang dan atau jasa yang dihasilkannya sangat banyak dipergunakan oleh konsumen melalui system produksi dan jaringan distribusi ilegal, sehingga leading sektor untuk melakukan/melaksanakan penerapan UU HAKI adalah pelaku usaha. Tentunya Pelaku Usaha dalam melaksakan upanya pemberantasan produk tiruannya tidak semata-mata berlandaskan UU HAKI saja tetapi dengan mengerahkan Pikiran, Tenaga, Tekanan Politis lokal/internasional dan tentunya dengan biaya yang tidak sedikit demi mendapatkan haknya sebagai pelaku usaha pemegang merek ataupun lisensi. Sehingga aparat penegak hukum dengan jalur instruksi yang kuat, berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan kehendak pelaku usaha agar Indonesia mendapat rating yang cukup baik dimata Dunia dalam menghargai hak cipta/ intelektual.
Ada baiknya juga, sebab dengan dilakukannya pemberantasan terhadap produk ilegal tersebut, konsumen tentunya akan mendapatkan barang yang beredar adalah barang yang berkualitas dan mendapatkan garansi atas keaslian produk, walaupun dengan harga penggantian yang cukup mahal tetapi konsumen akan mendapatkan keamanan, kenyamanan, keselamatan dan kesehatan dalam menggunakan produk asli tersebut. Artinya dengan kemauan pelaku usaha untuk ikut berperan serta dalam melakukan kegiatan perlindungan konsumen atas produknya tentunya juga akan meningkatkan pendapatan pelaku usaha dan konsumen juga ikut terlindungi dari praktek curang pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN
Landasan hukum kebijakan pemerintah dalam bidang perlindungan konsumen produk makanan dan minuman sudah cukup banyak, tinggal bagaimana mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM) yang ada, Perangkat hukum perlindungan konsumen produk makanan dan minuman antara lain :
Kesan yang timbul dimata msyarakat adalah tidak konsinten dan seriusnya para aparat pemerintah dan penegak hukum dalam mengimplementasikan peraturan perundangan yang berlaku, sebab adanya ego-sentris kewenangan yang saling tumpang tindih. Siapa yang dirugikan dan dikorbankan dalam masing-masing memegang prinsip ego-sentris tersebut, tentunya konsumen lagi yang dikorbankan.
DISKRIMINASI IMPLEMENTASI
Dalam melakukan kegiatan pelindungan konsumen atas konsumen produk makanan dan minuman tidak sama dengan yang dilakukan dalam perlindungan konsumen produk software dimana pelaku usahannya merasa sangat berkepentingan. Sedangkan dalam pelaksanaan perlindungan konsumen makanan dan minuman, pelaku usaha cenderung masa bodoh dan justru selalu mencari celah untuk melakukan kegiatan memproduksi dan menjual produk secara ilegal. Kalau ditinjau dari kepentingan Kesehatan, Keamanan dan keselamatan, sebenarnya makanan dan minuman seharusnya menjadi prioritas dalam implementasi UUPK sebab dapat mengakibatkan masalah yang serius untuk kehidupan konsumen.
Terjadinya diskriminasi dalam implementasi Perlindungan Konsumen kelihatnnya karena adanya kepentingan pihak-pihak yang cenderung hanya mencari nama baik tetapi tidak perduli dengan kesehatan masyarakatnya, mudah mudahan hal ini tidak benar adanya dan selayaknya para penegak hukum juga serius dalam malakukan tidakan hukum terhadap pelanggar ketentuan dan peraturan yang ditujukan untuk melindungi Konsumen seperti yang telah disampaikan diatas.
PENUTUP
Seharusnya pemerintah lebih giat lagi mengkampanyekan dan mensosialisasikan hak-hak konsumen dalam rangka perlindungan konsumen dan memberdayakan aparatnya di seluruh daerah di Indonesia. Apalagi jika mengingat saat ini begitu mudah lalu lintas barang dan jasa yang masuk dari berbagai negara seiring dengan perdagangan bebas, khususnya perdagangan bebas ASEAN (AFTA). Terobosan terhadap kebijakan harus lebih kuat lagi melindungi konsumen di Indonesia yang kini dengan mudah mendapatkan barang yang diimporkan dari berbagai negara di ASEAN karena bea masuknya sudah nol sampai lima persen dan untuk Batam yang telah menjadi daerah FTZ serta sangat sarat dengan perdagangan perbatasan bea masuknya menjadi nol untuk seluruh produk.
Terlepas dari AFTA ataupun FTZ, perlindungan konsumen yang sudah ada payung hukumnya agaknya perlu dikampanyekan dengan gencar, disosialisasikan ke masyarakat dengan progran Pendidikan Konsumen dalam rangka memberdayakan masyarakat agar lebih mengerti bahwa konsumen memiliki hak menggugat dan menuntut ganti rugi bila pelaku usaha melakukan kecurangan.
Setelah delapan tahun Undang-Undang Perlindungan Konsumen diterapkan, Implementasi Perlindungan konsumen harus ditangani secara serius. Dengan harapan masyarakat sebagai konsumen dapat menikmati pelindungan hukum sebagai konsumen secara adil dan menyeluruh.
By: Ir. Fachry Agusta
Source: Yayasan Lembaga Konsumen Batam, 5 Juni 2008
Implementasi penyelenggaraan Perlindungan Konsumen yang telah memasuki tahun ke 8 (delapan) sejak diberlakukannya Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tahun 2000. Penerapannya secara umum masih belum optimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat/ Konsumen mulai dari Sabang sampai Merauke, hal ini disebabkan antara lain : Sosialisasi Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berikut peraturan pelaksanaannya belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat Repulik Indonesia tercinta yang secara geografis tinggal di beberapa kepulauan yang sulit dijangkau.
Kondisi yang demikian menjadi penyebab sebagian besar Konsumen, Pelaku Usaha, Aparat Pembina dan Aparat Penegak hukum belum mengetahui dan mamahami manfaat dan pentingnya Perlingdungan Konsumen, Khususnya yang terkait dengan Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha serta perbuatan yang dilarang dan tanggung jawab Pelaku Usaha sesuai dengan Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Selama ini banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang bertentangan dengan UUPK, namun pihak penegak hukum masih ragu melakukan tindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan kegiatannya bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sehingga UUPK ini dirasakan tidak efektif dimana masyarakat /Konsumen seolah-olah tidak terlindungi atas Hak-haknya sebagai konsumen seperti yang telah diamanatkan dalam UUPK tersebut.
Diskriminasi Implementasi hukum Undang-undang no 8 tentang Perlindungan Konsumen oleh aparat penegak hukum sangat dirasakan dibandingkan dengan penegakan hukum dalam bidang HAKI. Akhir-akhir ini aparat penegak hukum marak melakukan sweeping terhadap pelaku usaha kecil/UKM yang menjual VCD /Software bajakan, tetapi pelaku usaha yang memprouksi dan mendistribusikan barang-barang bajakan tidak tersentuh, Sehingga para pedagang kecil kembali menjadi bulan-bulanan. Bagaimana dengan produk makanan dan minuman yang marak beredar disekitar kita, jelas produk tersebut banyak yang illegal tetapi tetap dibiarkan saja, Sehingga timbul pertanyaan apakah masih harus ada tekanan politis internasional juga untuk melakukan perlindungan konsumen dalam bidang peredaran produk makanan dan minuman seperti kuatnya tekanan terhadap pelanggaran HAKI.
UNDANG-UNDANG KONSUMEN
Indonesia di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie pada 20 April 1999 telah menandatangi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, sejumlah perangkat hukum lainnya pun sebenarnya sudah disahkan, mulai dari pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Sejak awal Pemerintahan era reformasi, tampak ada keperdulian terhadap perlindungan konsumen. Sampai saat ini, pelaksanaan perlindungan konsumen masih dirasakan masyarakat sangat minim, kecuali untuk obat dan makanan yang memang ada lembaga khusus yang mengawasinya yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang cukup cepat bereaksi bila ada produsen atau import obat dan makanan yang merugikan konsumen. Walaupun demikian sifatnya menunggu Sampai adanya korban/kerugian konsumen baru bertindak, sehingga fungsi Perlindungan Konsumen Lembaga ini belum dapat diandalkan sebagai ujung tombak kegiatan Perlindungan Konsumen.
Secara umum masalah perlindungan konsumen atas barang dan jasa yang beredar di dalam negeri seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tampaknya tidak terlaksana dengan baik dan diperlukan kerja keras semua pemangku kepentingan untuk memberikan pendidikan konsumen melalui program-program yang lebih efektif.
BAGAIMANA DENGAN PELANGGARAN HAKI
Dalam implementasi Undang-Undang HAKI, sebenarnya yang sangat berkepentingan adalah pelaku usaha yang barang dan atau jasa yang dihasilkannya sangat banyak dipergunakan oleh konsumen melalui system produksi dan jaringan distribusi ilegal, sehingga leading sektor untuk melakukan/melaksanakan penerapan UU HAKI adalah pelaku usaha. Tentunya Pelaku Usaha dalam melaksakan upanya pemberantasan produk tiruannya tidak semata-mata berlandaskan UU HAKI saja tetapi dengan mengerahkan Pikiran, Tenaga, Tekanan Politis lokal/internasional dan tentunya dengan biaya yang tidak sedikit demi mendapatkan haknya sebagai pelaku usaha pemegang merek ataupun lisensi. Sehingga aparat penegak hukum dengan jalur instruksi yang kuat, berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan kehendak pelaku usaha agar Indonesia mendapat rating yang cukup baik dimata Dunia dalam menghargai hak cipta/ intelektual.
Ada baiknya juga, sebab dengan dilakukannya pemberantasan terhadap produk ilegal tersebut, konsumen tentunya akan mendapatkan barang yang beredar adalah barang yang berkualitas dan mendapatkan garansi atas keaslian produk, walaupun dengan harga penggantian yang cukup mahal tetapi konsumen akan mendapatkan keamanan, kenyamanan, keselamatan dan kesehatan dalam menggunakan produk asli tersebut. Artinya dengan kemauan pelaku usaha untuk ikut berperan serta dalam melakukan kegiatan perlindungan konsumen atas produknya tentunya juga akan meningkatkan pendapatan pelaku usaha dan konsumen juga ikut terlindungi dari praktek curang pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN
Landasan hukum kebijakan pemerintah dalam bidang perlindungan konsumen produk makanan dan minuman sudah cukup banyak, tinggal bagaimana mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM) yang ada, Perangkat hukum perlindungan konsumen produk makanan dan minuman antara lain :
- Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Undang-Undang No. 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal
- Undang-Undang No. 2 tahun 1966 tentang Hygienne
- Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
- Undang-Undang No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian
- Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
- Undang-Undang No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
- Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil
- Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dll
Kesan yang timbul dimata msyarakat adalah tidak konsinten dan seriusnya para aparat pemerintah dan penegak hukum dalam mengimplementasikan peraturan perundangan yang berlaku, sebab adanya ego-sentris kewenangan yang saling tumpang tindih. Siapa yang dirugikan dan dikorbankan dalam masing-masing memegang prinsip ego-sentris tersebut, tentunya konsumen lagi yang dikorbankan.
DISKRIMINASI IMPLEMENTASI
Dalam melakukan kegiatan pelindungan konsumen atas konsumen produk makanan dan minuman tidak sama dengan yang dilakukan dalam perlindungan konsumen produk software dimana pelaku usahannya merasa sangat berkepentingan. Sedangkan dalam pelaksanaan perlindungan konsumen makanan dan minuman, pelaku usaha cenderung masa bodoh dan justru selalu mencari celah untuk melakukan kegiatan memproduksi dan menjual produk secara ilegal. Kalau ditinjau dari kepentingan Kesehatan, Keamanan dan keselamatan, sebenarnya makanan dan minuman seharusnya menjadi prioritas dalam implementasi UUPK sebab dapat mengakibatkan masalah yang serius untuk kehidupan konsumen.
Terjadinya diskriminasi dalam implementasi Perlindungan Konsumen kelihatnnya karena adanya kepentingan pihak-pihak yang cenderung hanya mencari nama baik tetapi tidak perduli dengan kesehatan masyarakatnya, mudah mudahan hal ini tidak benar adanya dan selayaknya para penegak hukum juga serius dalam malakukan tidakan hukum terhadap pelanggar ketentuan dan peraturan yang ditujukan untuk melindungi Konsumen seperti yang telah disampaikan diatas.
PENUTUP
Seharusnya pemerintah lebih giat lagi mengkampanyekan dan mensosialisasikan hak-hak konsumen dalam rangka perlindungan konsumen dan memberdayakan aparatnya di seluruh daerah di Indonesia. Apalagi jika mengingat saat ini begitu mudah lalu lintas barang dan jasa yang masuk dari berbagai negara seiring dengan perdagangan bebas, khususnya perdagangan bebas ASEAN (AFTA). Terobosan terhadap kebijakan harus lebih kuat lagi melindungi konsumen di Indonesia yang kini dengan mudah mendapatkan barang yang diimporkan dari berbagai negara di ASEAN karena bea masuknya sudah nol sampai lima persen dan untuk Batam yang telah menjadi daerah FTZ serta sangat sarat dengan perdagangan perbatasan bea masuknya menjadi nol untuk seluruh produk.
Terlepas dari AFTA ataupun FTZ, perlindungan konsumen yang sudah ada payung hukumnya agaknya perlu dikampanyekan dengan gencar, disosialisasikan ke masyarakat dengan progran Pendidikan Konsumen dalam rangka memberdayakan masyarakat agar lebih mengerti bahwa konsumen memiliki hak menggugat dan menuntut ganti rugi bila pelaku usaha melakukan kecurangan.
Setelah delapan tahun Undang-Undang Perlindungan Konsumen diterapkan, Implementasi Perlindungan konsumen harus ditangani secara serius. Dengan harapan masyarakat sebagai konsumen dapat menikmati pelindungan hukum sebagai konsumen secara adil dan menyeluruh.
By: Ir. Fachry Agusta
Source: Yayasan Lembaga Konsumen Batam, 5 Juni 2008

Post a Comment