Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Impor Beras, Petani, dan Importir

PERSOALAN ketersediaan beras mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Hal ini bisa dimaklumi karena banyak pihak yang berkepentingan. Selain itu, persoalan beras menyangkut "perut" sebagian besar masyarakat di Indonesia, beras sebagai bahan makanan pokok sudah pasti harus dijaga ketersediaannya.
Persoalan yang muncul akibat kelangkaan beras atau persediaan yang kurang dari perkiraan persediaan aman bisa merembet kepada persoalan ekonomi dan politik. Bahkan, bukan tak mungkin akan mengancam stabilitas negara. Namun demikian, kelangkaan beras bagi sebagian pelaku ekonomi merupakan kesempatan menangguk keuntungan, misalnya pedagang dan importir beras.
Persediaan beras dapat disebut aman apabila masih dapat didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia dalam kisaran waktu enam bulan. Batasan waktu ini apabila diterjemahkan ke dalam angka, ketersediaan beras kurang lebih 1,2 juta ton.
Catatan Departemen Perdagangan menunjukkan persediaan beras pada bulan November sekitar 900-an ribu ton. Dengan demikian sudah menjadi tugas pemerintah menambah persediaan beras agar posisi persediaannya tetap aman dan tidak merembet ke persoalan lain.
Kini yang menjadi persoalan adalah sikap pemerintah (dalam konteks ini Departemen Perdagangan) yang membuka kran impor beras dari Vietnam sebanyak 70 ribu ton.
Tanpa pengawasan yang ketat dan pemberian sanksi berat, bisa dipastikan jumlah beras yang masuk jauh lebih besar dari kuota impor, karena praktik impor beras ilegal oleh importir nakal.
Kran impor beras yang dibuka bulan November, disinyalir menyalahi prosedur atau prinsip dan bernuansa KKN. Departemen Perdagangan berargumen bahwa impor beras merupakan jalan untuk menjaga stabilitas keamanan persediaan beras. Hal ini dibantah oleh Departemen Pertanian yang menyatakan bahwa persediaan beras nasional relatif masih mencukupi karena adanya surplus beras 1,8 juta ton dari hasil panen raya. Pendapat ini juga didukung Ketua Dewan Harian Pangan Nasional.

Dampak Impor
Pelaku ekonomi yang paling merasakan dampak langsung impor beras adalah importir beras dan kaum petani. Hanya saja dampak yang dirasakan bertolak belakang. Importir memperoleh keuntungan dari selisih harga impor yang lebih rendah dibandingkan harga domestik.
Petani mengalami kerugian akibat penurunan harga beras karena naiknya penawaran. Dampak psikologis juga dialami kaum petani. Mereka tidak termotivasi menanam padi, membiarkan sawahnya terbengkalai. Padahal tidak mudah bagi mereka memperoleh pekerjaan lain. Petani perlu memenuhi kebutuhannya, tidak adanya penghasilan bisa mendorong melakukan tindakan kriminalitas.
Pelaku ekonomi lain, pemerintah dan masyarakat, tidak merasakan dampaknya secara langsung. Pemerintah akan memperoleh pemasukan hanya apabila mengenakan tarif impor/pajak terhadap beras yang diimpor. Namun tidak mendapatkan apa pun jika tidak memberlakukan tarif.
Konsumen, yaitu masyarakat, tidak akan merasakan keuntungan atau kerugian yang berarti karena jumlah konsumen yang begitu banyak. Betapapun besar keuntungan/kerugian akibat impor beras yang dialami konsumen secara keseluruhan namun nilainya bagi masing-masing konsumen secara individu relatif kecil bahkan tak terasa sama sekali.
Dengan demikian dua pelaku ekonomi yang berhadapan karena perbedaan kepentingan adalah importir beras dan kaum petani.
Jumlah importir beras yang relatif sedikit (sekitar 20-an pemain) memperkuat koordinasi di antara mereka untuk mengadakan pendekatan dan lobi kepada pejabat pemerintah guna menurunkan peraturan bagi kepentingannya. Keuntungan yang diciptakan akan sangat berarti bagi kelompok mereka karena hanya dinikmati segelintir anggotanya.
Di sisi lain, jumlah petani yang begitu banyak dan sebagian besar merupakan masyarakat kecil, menyebabkan posisi mereka lemah di hadapan penguasa (pemerintah). Tindakan-tindakan aktif dalam rangka mencegah atau pembatalan aturan pemerintah mengenai impor beras hanya akan merugikan mereka sendiri.
Idealnya, pemerintah harus melindungi sektor-sektor perekonomian yang menyerap banyak tenaga kerja. Khususnya tenaga kerja nonterampil berupah rendah yang sulit menemukan pekerjaan lain seandainya mereka kehilangan pekerjaan yang sudah ada. Contohnya kaum petani. Namun kenyataannya pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang merugikan bagi kaum petani.
Fenomena ini dalam ekonomi internasional dapat dijelaskan dengan teori kelompok penekan (pressure group theory). Teori ini pada intinya mengemukakan, dalam kenyataan yang menerima keuntungan atas kebijakan pemerintah dalam perdagangan internasional bukan sektor ekonomi yang menyerap banyak tenaga kerja, melainkan kelompok industri yang terorganisir serta memiliki tradisi politik yang cukup kuat.
Melalui organisasi yang mapan, mereka lebih mampu memperjuangkan kepentingannya dibanding sektor atau kelompok yang tidak ditunjang struktur organisasi yang kokoh.
Kelompok importir beras karena sudah menikmati keuntungan yang berlimpah akan berusaha sekeras mungkin mempertahankannya. Hal ini akan semakin menjadi-jadi apabila pemerintah enggan mengubah kebijakan perdagangan. Keengganan disebabkan bisa menimbulkan perubahan drastis dalam "distribusi pendapatan" terlepas dari siapa yang diuntungkan atau yang dirugikan.

Pengaman
Perjuangan untuk membela kepentingan kaum petani, sebagai pihak yang dirugikan, berada di tangan pemerintah sendiri dan organisasi/kelompok yang bisa menekan pemerintah (pressure group).
Di tangan pemerintah, seperti yang dikemukakan menteri perdagangan, impor beras digunakan sebagai cadangan, maka pemerintah berkewajiban menggudangkan seluruh beras impor. Dengan demikian beras impor benar-benar hanya menjadi persediaan pengaman.
Langkah pemerintah seperti ini akan menyelesaikan polemik kebijakan impor beras secara win-win solution karena mengakomodasi kepentingan importir dan tidak merugikan petani. Namun bukan tidak mungkin importir akan tetap berbuat "nakal" dengan melempar beras ke pasar yang bertujuan untuk memperoleh harga yang lebih kompetitif (lebih tinggi).
Jika demikian adanya, pemerintah harus melakukan operasi pasar kemudian penyitaan terhadap beras impor yang dijual secara umum. Pemerintah diperbolehkan mendistribusikan beras impor hanya apabila keadaan mendesak.
Kelompok-kelompok atau organisasi pembela kepentingan petani bisa menyuarakan kepentingannya melalui Dewan Perwakilan. Seperti perkembangan terakhir, 115 anggota DPR mengusulkan hak angket berkenaan dengan kebijakan impor beras. Tindakan DPR ini bisa efektif dalam membela kepentingan petani karena merekalah kelompok penekan pemerintah yang kuat.
Sikap anggota DPR juga harus mendapat dukungan anggota DPRD-DPRD. Mereka bisa mendorong pemerintah provinsi atau daerah agar menolak beras masuk ke daerahnya. Apabila ada pedagang yang kedapatan menjual beras impor maka harus disita. Sudah pasti kebijakan ini memerlukan keterlibatan aparat kepolisian maupun polisi pamong praja.
Perjuangan kelompok-kelompok yang membela kepentingan kaum petani harus terkoordinasi secara kokoh untuk menjamin kebijakan pemerintah tidak merugikan kaum petani yang notabene merupakan masyarakat golongan lemah.


By: Purwo Adi W (Dosen STIE NU Jepara) dan Luh Putu Shanti K (Dosen Fak. Psikologi Unissula)
Source: www.suaramerdeka.com, 21 Desember 2005
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts