Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Kapitalisme: Biang Krisis Pangan

Pada akhir tahun 2007, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah memperingatkan bahwa dunia sedang menghadapi krisis pangan. Krisis pangan ini ditunjukkan oleh naiknya harga pangan pokok di berbagai belahan penjuru dunia. Bank Dunia pun menyatakan bahwa harga makanan global naik sebanyak 75% semenjak tahun 2000, sedangkan harga gandum mencapai kenaikan sebesar 200%. Harga makanan lain seperti padi dan kedelai juga mengalami kenaikan dan mencapai harga tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
FAO memperingatkan 36 negara menghadapi krisis pangan, sebanyak 21 di antaranya adalah negara-negara yang ada di Afrika. PBB sendiri menyatakan kenaikan minyak dan makanan menyebabkan peningkatan jumlah masyarakat miskin yang tidak mampu membeli makanan pokok.

Faktor Penyebab Krisis
Meskipun terjadi peningkatan harga pangan, pada saat yang sama telah terjadi peningkatan produksi pangan dunia. Produksi gandum dunia yang harganya naik pada awal 2008 ini ternyata mengalami peningkatan yang sangat besar hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Produksi gula dunia juga meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun 2007 lalu. Yang cukup mencengangkan, produksi jagung dunia pada tahun 2007 lalu yang mencapai rekor produksi 781 juta ton atau meningkat 89,35 juta ton. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17 persen. Itu pun karena ada penyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15 persen untuk proyek biofuel.
Peningkatan polulasi penduduk dunia sesungguhnya tidak lebih besar dari peningkatan produksi pangan dunia. Sejak akhir Perang Dunia II populasi penduduk dunia telah bertambah dua kali lipat, sementara produksi pangan dunia meningkat tiga kali lipat. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya dunia mampu memberi makan bagi semua penghuninya. Krisis harga pangan yang terjadi saat ini bukan disebabkan oleh kekurangan bahan pangan, melainkan karena distribusi yang rusak. Rusaknya distribusi inilah yang menjadi faktor utama penyebab terjadinya berbagai permasalahan ekonomi, termasuk krisis pangan yang melanda dunia saat ini. Rusaknya distribusi ini adalah dampak logis dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis secara global.
Di dalam negeri dampak krisis pangan sudah terasa dengan naiknya berbagai harga kebutuhan pangan pokok seperti beras, gula, minyak goreng dan lain sebagainya. Ironisnya, berbagai kebijakan pertanian dan pangan yang ambil oleh Pemerintah semakin memperparah krisis pangan, terutama setelah Indonesia masuk pasar bebas. Pemerintah melakukan langkah privatisasi, liberalisasi, deregulasi terhadap produk pertanian dan pangan yang berakibat pada dikuasainya sektor pertanian dan pangan nasional oleh swasta dan asing.
Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini bergantung pada pasar internasional. Ketika terjadi gejolak di pasar internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama. Ada kasus-kasus sebelumnya seperti beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007 dan minyak goreng pada tahun 2007. Hal yang sama kini terjadi pada beberapa komoditas pangan vital seperti beras, kedelai, jagung, gula, singkong, gandum dan minyak goreng yang masih bergantung pada pasar internasional.
Krisis pangan yang terjadi semakin diperparah oleh para spekulan yang selama ini bermain di pasar uang, valas dan modal ternyata berspekulasi juga di pasar komoditi melalui bursa berjangka komoditas. Dampaknya terlihat dengan terus meningkatnya harga-harga komoditi pokok. Padahal produksi dunia terus meningkat tajam yang seharusnya dapat menurunkan harga komoditi tersebut.
Akibatnya, rakyat semakin sengsara. Apalagi setelah mereka mengalami “musibah” akibat kenaikan harga BBM, kenaikan TDL, biaya kesehatan dan pendidikan yang mahal. Ironisnya ini semua terjadi juga sebagai akibat dari dampak kebijakan Pemerintah yang meliberalisasi perdagangan dan industri di sektor sumberdaya alam, energi, kesehatan dan pendidikan serta pertanian.
Krisis energi dan krisis pangan pada awal tahun 2008 ini menunjukkan bahwa tesis tentang pasar bebas akan memberikan kesejahteraan ternyata tidak berlaku untuk sebagian besar masyarakat dunia. Kesejahteraan hanya dinikmati negara maju dan perusahaan raksasa. Bahkan sejak perdagangan bebas ini dipromosikan WTO, angka kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa (1996) menjadi 853 juta jiwa (2007).
Untuk mengatasinya, jelas diperlukan suatu sistem alternatif yang mampu mengatasi krisis pangan sebagai akibat logis dari rusaknya sistem kapitalis. Sistem anternatif tersebut haruslah mampu mengatasi rusaknya distribusi yang terjadi di sektor pertanian mulai dari distribusi sarana produksi pertanian (saprotan) hingga distribusi hasil pertanian. Sistem alternatif itu juga harus mampu mencegah terjadinya kegiatan spekulatif yang dapat memicu gejolak pasar. Sistem alternatif itu adalah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Negara Khilafah diyakini mampu mengatasi masalah krisis pangan. Sistem ekonomi Islam dengan politik pertaniannya sejak dari awal mampu mencegah terjadinya kerusakan distribusi di sektor produksi pertanian, sektor pengolahan hasil pertanian serta sektor perdagangan hasil pertanian.

Politik Pertanian Islam
Politik pertanian yang dijalankan oleh negara Islam ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di bidang pertanian. Kebijakan yang dijalankan dalam bidang pertanian mencakup sektor produksi primer, pengolahan hasil pertanian maupun perdagangan dan jasa pertanian.

1. Sektor produksi pertanian
Kebijakan di sektor produksi primer ditujukan untuk menjamin ketersedian pangan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan menggunakan sarana produksi pertanian yang lebih baik seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan serta menyebarluaskan teknik-teknik modern yang lebih efisien di kalangan petani. Untuk menjamin hal itu, negara harus menyediakan modal secara gratis bagi yang tidak mampu agar mereka dapat mengolah lahan yang dimilikinya. Dengan cara ini petani-petani yang tidak mampu tidak akan terbebani untuk mengembalikan utang. Dengan demikian, produksi pertanian mereka benar-benar dapat digunakan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan pokok mereka.
Adapun ekstensifikasi dilakukan untuk mendukung perluasan lahan pertanian. Negara akan mendorong masyarakat untuk menghidupkan tanah mati dengan jalan mengolahnya. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ
Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya (HR al-Bukhari).

Negara juga akan memberikan tanah secara cuma-cuma (iqtha’) kepada orang yang mampu dan mau bertani namun tidak memiliki lahan pertanian atau memiliki lahan pertanian yang sempit. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal al-Muzni yang telah diberi tanah secara cuma-cuma oleh Rasulullah saw. Yang seperti ini banyak contohnya. Bahkan negara akan memaksa siapa saja yang memiliki lahan pertanian untuk mengolahnya. Jika mereka tidak mengelolanya selama lebih dari tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil dan diberikan kepada siapa saja yang mau mengolahnya. Sistem pencabutan hak kepemilikan dan jangka waktunya ini diambil dari hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini. Umar bin al-Khaththab ra. pernah mengatakan, “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang telah dipagarnya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.”
Bahkan seorang pemilik tanah tidak boleh menyewakan tanah pertanian. Ia tidak boleh menyewakan tanah dengan sewa yang berupa makanan ataupun yang lain, yang dihasilkan dari pertanian tersebut, atau apa saja yang dihasilkan dari sana.

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كِرَاءِ اْلأَرْضِ
Rasulullah saw. melarang penyewaan tanah (lahan) (HR Muslim, an-Nasa’i dan Ahmad).

Rafi’ bin Khadij menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ فَلْيُزْرِعْهَا أَخَاهُ وَلاَ يُكَارِيهَا بِثُلُثٍ وَلاَ بِرُبُعٍ وَلاَ بِطَعَامٍ مُسَمًّى
Siapa saja yang memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau menyerahkannya kepada saudaranya untuk ditanami tanpa kompensasi dan jangan menyewakannya dengan sepertiga, atau seperempat dan jangan dengan makanan yang disepakati (jenis dan jumlahnya) (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibn Majah).

Larangan penyewaan lahan pertanian secara ekonomi dapat dipahami sebagai upaya agar lahan pertanian dapat berfungsi secara optimal. Artinya, seseorang yang mampu mengolah lahan harus memiliki lahan, sementara siapapun yang tidak mampu dan tidak mau mengolah lahan tidak dibenarkan untuk menguasai lahan pertanian.
Untuk menjamin ketersediaan pangan, negara menerapkan kebijakan yang tegas untuk mencegah upaya konversi lahan pertanian menjadi lahan-lahan non-pertanian seperti perumahan dan industri. Lahan pertanian dipertahankan untuk lahan pertanian. Adapun daerah kurang subur dapat diperuntukkan untuk lahan perumahan dan perindustrian. Namun demikian, tidak boleh juga mengkonversi hutan-hutan milik umum menjadi lahan pertanian dengan alasan untuk produksi pertanian. Sebab, kepemilikan umum tetap harus dipertahankan sebagai kepemilikan umum yang bersifat tetap dalam pengelolaan negara. Mempertahankan kepemilikan umum—semisal hutan, tambang dan lain-lain—tetap dalam pengelolaan negara juga akan mencegah terjadinya perusakan lingkungan hidup sebagai dampak pengelolaan SDA yang tidak bertanggung jawab.

2. Kebijakan di sektor industri pertanian
Di sektor industri pertanian, negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor real saja, sedangkan sektor non-real yang diharamkan tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Kebijakan ini akan tercapai jika negara bersikap adil dengan tidak memberikan hak-hak istimewa dalam bentuk apapun kepada pihak-pihak tertentu, baik hak monopoli atau pemberian fasilitas khusus. Seluruh pelaku ekonomi akan diperlakukan secara sama. Negara hanya mengatur jenis komoditi dan sektor industri apa saja yang boleh atau tidak boleh dibuat. Selanjutnya, seleksi pasar akan berjalan seiring dengan berjalannya mekanisme pasar. Siapa saja berhak untuk memenangkan persaingan secara wajar dan adil. Tentunya, pelaku ekonomi yang memiliki kualitas dan profesionalitas tinggi yang akan dapat memenangkan persaingan.
Industri pertanian akan tumbuh dengan baik jika sarana dan prasarana yang mendukung tumbuhnya industri pertanian tersedia secara memadai. Sarana dan prasarana tersebut seperti tersedianya bahan baku industri pertanian, yakni bahan-bahan pertanian yang memadai dan harga yang layak, jaminan harga yang wajar dan menguntungkan serta berjalannya mekanisme pasar secara transparan serta tidak ada distorsi yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang memihak. Selain itu, juga adanya prasarana jalan, pasar dan lembaga-lembaga pendukung lainnya seperti lembaga penyuluhan pertanian dan lembaga keuangan yang menyediakan modal bagi usaha sektor industri pertanian. Semua ini diperlukan agar industri pertanian dapat tumbuh dengan baik.

3. Kebijakan di sektor perdagangan hasil pertanian
Di sektor perdagangan, negara harus melakukan berbagai kebijakan yang dapat menjamin terciptanya distribusi yang adil melalui mekanisme pasar yang transparan, tidak ada manipulasi, tidak ada intervensi yang dapat menyebabkan distorsi ekonomi serta tidak ada penimbunan yang dapat menyebabkan kesusahan bagi masyarakat.
Untuk itu, ada beberapa kebijakan yang harus ditempuh agar industri pertanian dapat tumbuh dengan baik. Pertama: Negara harus menjamin agar mekanisme harga komoditi pertanian dan harga komoditi hasil industri pertanian dapat berjalan secara transparan dan tanpa ada manipulasi. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ تَلَقَّوْا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ
Janganlah kalian menghadang kafilah-kafilah (orang-orang yang berkendaraan) dan janganlah orang yang hadir (orang di kota) menjualkan barang milik orang desa. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Larangan Rasulullah SAW terhadap aktivitas ini dimaksudkan agar harga yang berlaku benar-benar transparan dan tidak ada yang memanfaatkan ketidaktahuan satu pihak, baik penjual maupun pembeli.
Kedua: Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat menjamin terciptanya harga yang wajar berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Negara akan mengawasi mekanisme penawaran dan permintaan untuk mencapai tingkat harga yang didasari rasa keridhaan. Inilah mekanisme pasar yang diajarkan oleh Islam. Islam bahkan melarang negara mempergunakan otoritasnya untuk menetapkan harga, baik harga maksimum maupun harga dasar. Anas bertutur: “Suatu ketika orang-orang berseru kepada Rasulullah saw. menyangkut penetapan harga, “Wahai Rasulullah saw. harga-harga naik. Tentukanlah harga untuk kami.” Rasulullah menjawab:

إِنَّ اللهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ وَإِنِّيْ لأَرْجُوْ أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِيْ دَمٍ وَلاَ مَالٍ
Allahlah Penentu harga, Penahan, Pembentang dan Pemberi rezeki. Aku berharap agar bertemu dengan Allah dan tidak ada seorang pun yang meminta kepadaku tentang adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta. (HR Ashabus Sunan).

Berdasarkan hadis ini, mayoritas ulama sepakat tentang haramnya campur tangan penguasa dalam menentukan harga. Melindungi kepentingan pembeli bukanlah hal yang lebih penting dibandingkan dengan melindungi penjual. Jika melindungi keduanya sama perlunya, maka wajib membiarkan kedua belah pihak menetapkan harga secara wajar di atas keridhaan keduanya. Memaksa salah satu pihak merupakan tindak kezaliman.
Ketiga: Pemerintah harus dapat mencegah terjadinya berbagai penipuan yang sering terjadi dalam perdagangan, baik yang dilakukan oleh penjual maupun pembeli. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَحِلُّ ِلأَحَدٍ يَبِيْعُ شَيْئًا إِلاَّ يُبَيِّنُ مَا فِيْهِ
Tidak halal seseorang yang menjual sesuatu, melainkan hendaklah dia menerangkan (cacat) yang ada pada barang tersebut. (HR Ahmad)

Adapun penipuan yang dilakukan oleh pembeli adalah dengan jalan memanipulasi alat pembayarannya (baik berupa uang maupun barang).
Keempat: Pemerintah harus mencegah berbagai tindakan penimbunan produk-produk pertanian dan kebutuhan pokok lainnya. Rasulullah saw. bersabda:

اَلْجَالِبُ مَرْزُوْقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُوْنٌ
Orang yang mendatangkan barang (akan) diberi rezeki sebaliknya orang yang menimbun dilaknat (HR Ibn Majah dan ad-Darimi)

Kelima: Pemerintah harus dapat mencegah perselisihan yang terjadi akibat tindakan-tindakan spekulasi dalam perdagangan. Banyak sekali jenis-jenis spekulasi yang mengandung kesamaran yang dilarang oleh Islam, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai hadis.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
By: Muhammad Riza Rosadi
Source: www.hizbut-tahrir.or.id, 21 Juni 2008


0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts