Konsumen berjuang secara berkelompok tengah menjadi wacana baru, setidaknya di lingkungan YLKI. Semakin banyak kasus konsumen yang ditangani YLKI yang digiring penyelesaian sengketanya secara berkelompok. Dengan berkelompok kekuatan posisi tawar yang dihasilkan lebih besar dan memungkinkan percepatan tercapainya tujuan advokasi. Kelompok konsuman yang mandiri, baik dalam beradvokasi maupun dalam hal pendanaan, membawa manfaat bagi lembaga konsumen karena alokasi sumberdaya manusia dan dana ini dapat dialihkan untuk kegiatan YLKI lain yang lebih membutuhkan. Di sini lah aspek filantropis yang menjadi tujuan program.
Melihat kecenderungan meningkatnya kepemilikan alat elektronik seperti televisi dan personal computer, maka film adalah salah satu media pembelajaran yang dinilai efektif. Salah satu keunggulan media film adalah kemampuannya menampilkan kedua efek suara dan gambar sehingga informasi yang disampaikan dalam satu satuan waktu lebih banyak, akibatnya proses pembelajaran menjadi lebih cepat. Selain itu dengan media film, kelompok konsumen target yang dijangkau dapat lebih luas, baik vertikal maupun horisontal, karena tidak membutuhkan keahlian/ketrampilan khusus untuk mengolah informasi dalam film.
Advokasi Forum Konsumen Korban Bukit Sentul (FK2BS) dalam memperjuangkan keadilan adalah bentuk kebangkitan gerakan konsumen. Ini lah salah satu alasan mengapa topik perumahan yang diangkat dan diharapkan dijadikan pelajaran bagi konsumen lain. Untuk tujuan agar ditiru oleh masyarakat, selain dapat menggambarkan persoalan dengan jelas, film juga harus mampu memberikan nuansa ajakan/persuasi. Film dokumentasi advokasi FK2BS ini dinilai baik dalammenggambarkan persoalan, tetapi kurang inspiratif dan kurang membakar semangat. Segi persuasi (ajakan) yang kurang tergarap menyebabkan target film agar menggugah masyarakat untukmencontoh bisa tidak tercapai. Selain itu juga ada masukan agar film sedikit menyentuh analisis persoalan serta perkembangan terakhir, serta beberapa usulan mengenai distribusi film. Karena alasan ini uji coba film untuk melihat respon penonton secara lebih luas tidak dilakukan, sehingga belum diketahui efektivitas film untuk menanamkan semangat advokasi berkelompok.
Menurut pakar komunikasi dari Broadcast Center FISIP-UI, titik kritis dalam pembuatan media filmadalah pada tahapan yang paling awal yaitu penyusunan konsep film, di mana alur adegan-adegan pada film harus mencerminkan tujuan yang diharapkan dalam pembuatan film. Oleh sutradara konsep film ini tertuang dalam bentuk story board atau story line. Langkah ini tampaknya kurang dielaborasi dalam proses pembuatan film, dan perubahan atau penambahan konsep film membawa konsekuensi peningkatan budget yang tidak dimungkinkan dalam program ini.
Sebetulnya kekurangan dalam substansi film dapat ditutup dengan media lain yang disampaikan ke penonton secara bersamaan. Media lain ini dapat berupa materi cetak (brosur atau panduan), sehingga film dan materi cetak dibuat saling melengkapi dan sengaja dibuatkan asosiasinya. Contohnya karena film kurang memuat ajakan atau informasi mengenai kelompok konsumen, maka ajakan berkelompok dituangkan dalam brosur yang dibagikan pada saat film ditayangkan, sehingga pertanyaan konsumen seputar perjuangan berkelompok segera terjawab. Dan idealnya, setiap penayangan film diikuti dengan sesi tanya jawab untuk menggali tanggapan penonton.
Kebutuhan menggalang dana publik didasari keinginan untuk mandiri secara finansial, terutama dari lembaga donor asing, yang selama duapuluhan tahun mendanai kegiatan YLKI. Urgensi membangun kemandirian lembaga dalam hal pembiayaan adalah korelasi antara kemandirian pembiayaan dengan kemandirian dalam hal-hal yang lebih bersifat ideologis. Dengan asumsi bahwa potensi dana yang bisa dikumpulkan dari publik sangat besar, maka sejak Strategic Planning YLKI tahun 2003 diperkenalkan Divisi Penggalangan Dana yang diharapkan menjadi alternatif pendapatan bagi lembaga.
Dari Program PPF 2004 terekspresi harapan konsumen agar tetap memprioritaskan misi sosial dalam menjalankan pelayanannya, dan bahwa penggalangan dana publik belum saatnya diberlakukan. Hal ini mengingat tumpuan harapan pembelaan kepentingan konsumen masih berada pada pundak YLKI, apalagi bila melihat peran ini belum sepenuhnya dipenuhi oleh pemerintah dengan segala sarana dan prasarananya.
Sepanjang program PPF 2005, YLKI semakin diyakinkan bahwa penggalangan dana untuk kepentingan lembaga harus menjadi program prioritas lembaga advokasi seperti YLKI, tidak untuk tujuan penggalangan sumberdaya material (kas) tetapi lebih penggalangan sumberdaya imaterial. Sementara itu penggalangan dana untuk kepentingan advokasi kelompok tetap bernilai strategis dan tetap harus dipromosikan.
Di YLKI sendiri walaupun wacana sudah berkembang, hingga saat ini divisi penggalangan dana publik belum terbentuk secara formal dalam struktur kelembagaan, namun beberapa tawaran dari publik sudah mengindikasikan bahwa memang potensi ini ada, walaupun besarnya masih relatif.
Bentuk penggalangan dana publik yang selama ini berjalan adalah penjualan berbagai produk (barang dan jasa) YLKI, seperti buku terbitan YLKI, Warta Konsumen dan layanan perpustakaan.
Akhir-akhir ini mulai diberlakukan penarikan tarif untuk konsultasi (consultation fee) atau penyelenggaraan (event organiser). Potensi pemasukan dana juga berdatangan dari beberapa pihak seperti pemerintah dan pelaku usaha termasuk BUMN dalam bentuk kerjasama kegiatan.
Banyaknya tawaran ini mendorong YLKI untuk menyusun Kode Etik Penggalangan Dana. Kode etik harus memuat norma-norma yang dianut YLKI seperti independensi, transparansi dan lain-lain. Menggalang dana publik melalui sistem organisasi keanggotaan (membership) menjadi kecenderungan lembaga konsumen di mancanegara. Lembaga konsumen di Malaysia (CAP) dan Australia (ACA) beroperasi dengan dukungan penuh dari iuran anggota. Kegiatan utama mereka adalah penerbitan majalah dan buku-buku panduan konsumen yang dibagikan gratis kepada seluruh anggota.
Mengharapkan semangat filantropis (cinta pada sesama) untuk menggalang dana bagi kegiatan perlindungan konsumen di Indonesia dirasa sangat sulit diharapkan, karena adagium perlindungan konsumen sangat kuat berasosiasi dengan transaksi dagang dan masih dibaca dalam konteks ekonomi mikro. Konsekuensinya setiap rupiah yang dikeluarkan konsumen harus mendapatkan manfaat. Apalagi konsumen semakin sadar bahwa mendapatkan pembelaan dan perlindungan adalah bagian dari hak sipil sebagai warga negara. Dengan demikian, mengharapkan publik mau menyisihkan dana untuk membantu sesamanya hanya dapat dilakukan untuk segmen konsumen tertentu dalam lingkup yang terbatas. Fund raising adalah konsep yang kuno dan tidak operationable, walaupun sangat efektif untuk melahirkan legitimasi.
Gagasan sistem keanggotaan (membership) kembali dibahas, meskipun dengan perspektif
berbeda. Bila pada PPF 2004 gagasan membership dianggap memberikan hak eksklusif atas layanan YLKI hanya kepada member (yang membayar iuran anggota), maka melihat kebutuhan yang ada, gagasan membership harus dilihat sebagai upaya agar misi YLKI mendapatkan legitimasi dari publik, atau dengan kata lain mencari simpati publik agar mau mendukung kegiatan YLKI. Ini adalah konsep penggalangan solidaritas atau friend raising. Dukungan yang dapat diberikan dari friend dapat berbentuk material (dana) dan imaterial (kepakaran, informasi, waktu). Inti dalam manajamen fundraising dan friendraising adalah membangun dan memelihara hubungan jangka panjang.
Salah satu prakondisi penting agar publik mau memberikan dukungan kepada YLKI adalah akuntabilitas lembaga, di mana YLKI berhasil menunjukkan bahwa YLKI pantas dipercaya oleh publik. Caranya dengan selalu mempertahankan nilai-nilai moral yang telah diletakkan oleh pendahulu YLKI hingga saat ini dan mengimplementasikannya dalam menjalankan program kerjanya. Tersusunnya Kode Etik Lembaga dan atau Kode Etik Penggalangan Dana yang diketahui publik adalah salah satu bentuk pernyataan akuntabilitas.
Terlepas dari keterbatasan teknis internal lembaga, YLKI memiliki beberapa kelebihan yang bisa menjadi faktor kekuatan dalam pengelolaan penggalangan dana publik, seperti nama YLKI yang sudah menjadi brand image perlindungan konsumen, adanya pengakuan dari stakeholders, isu konsumen adalah isu sehari-hari sehingga mudah dipahami, dan belum banyak ‘aktor’ handal yang bermain di area perlindungan konsumen.
Di samping itu, beberapa kendala YLKI dalam pengelolaan penggalangan dana publik adalah kurangnya pengalaman dan kompetensi dalam pengembangan skema penggalangan dana publik, ketatnya nilai-nilai moral yang diusung lembaga yang berimplikasi pada berlakunya keterbatasan pada penerimaan dana dari masyarakat, sumberdaya manusia yang terbatas dengan beban kerja yang tinggi setiap harinya, kemauan untuk berubah dan keyakinan bahwa upaya ini akan membawa hasil.
Uluran tangan dari Dompet Dhuafa untuk membantu YLKI mengembangkan inisiatif ini patutdihargai. Prasyarat utama adalah membentuk tim khusus yang secara full time mengelola penggalangan dana publik. Tim harus mampu mengembangkan ide-ide kreatif dengan menangkap peluang yang ada namun tetap realistis dengan kondisi yang ada.
Source: www.ibl.or.id
Melihat kecenderungan meningkatnya kepemilikan alat elektronik seperti televisi dan personal computer, maka film adalah salah satu media pembelajaran yang dinilai efektif. Salah satu keunggulan media film adalah kemampuannya menampilkan kedua efek suara dan gambar sehingga informasi yang disampaikan dalam satu satuan waktu lebih banyak, akibatnya proses pembelajaran menjadi lebih cepat. Selain itu dengan media film, kelompok konsumen target yang dijangkau dapat lebih luas, baik vertikal maupun horisontal, karena tidak membutuhkan keahlian/ketrampilan khusus untuk mengolah informasi dalam film.
Advokasi Forum Konsumen Korban Bukit Sentul (FK2BS) dalam memperjuangkan keadilan adalah bentuk kebangkitan gerakan konsumen. Ini lah salah satu alasan mengapa topik perumahan yang diangkat dan diharapkan dijadikan pelajaran bagi konsumen lain. Untuk tujuan agar ditiru oleh masyarakat, selain dapat menggambarkan persoalan dengan jelas, film juga harus mampu memberikan nuansa ajakan/persuasi. Film dokumentasi advokasi FK2BS ini dinilai baik dalammenggambarkan persoalan, tetapi kurang inspiratif dan kurang membakar semangat. Segi persuasi (ajakan) yang kurang tergarap menyebabkan target film agar menggugah masyarakat untukmencontoh bisa tidak tercapai. Selain itu juga ada masukan agar film sedikit menyentuh analisis persoalan serta perkembangan terakhir, serta beberapa usulan mengenai distribusi film. Karena alasan ini uji coba film untuk melihat respon penonton secara lebih luas tidak dilakukan, sehingga belum diketahui efektivitas film untuk menanamkan semangat advokasi berkelompok.
Menurut pakar komunikasi dari Broadcast Center FISIP-UI, titik kritis dalam pembuatan media filmadalah pada tahapan yang paling awal yaitu penyusunan konsep film, di mana alur adegan-adegan pada film harus mencerminkan tujuan yang diharapkan dalam pembuatan film. Oleh sutradara konsep film ini tertuang dalam bentuk story board atau story line. Langkah ini tampaknya kurang dielaborasi dalam proses pembuatan film, dan perubahan atau penambahan konsep film membawa konsekuensi peningkatan budget yang tidak dimungkinkan dalam program ini.
Sebetulnya kekurangan dalam substansi film dapat ditutup dengan media lain yang disampaikan ke penonton secara bersamaan. Media lain ini dapat berupa materi cetak (brosur atau panduan), sehingga film dan materi cetak dibuat saling melengkapi dan sengaja dibuatkan asosiasinya. Contohnya karena film kurang memuat ajakan atau informasi mengenai kelompok konsumen, maka ajakan berkelompok dituangkan dalam brosur yang dibagikan pada saat film ditayangkan, sehingga pertanyaan konsumen seputar perjuangan berkelompok segera terjawab. Dan idealnya, setiap penayangan film diikuti dengan sesi tanya jawab untuk menggali tanggapan penonton.
Kebutuhan menggalang dana publik didasari keinginan untuk mandiri secara finansial, terutama dari lembaga donor asing, yang selama duapuluhan tahun mendanai kegiatan YLKI. Urgensi membangun kemandirian lembaga dalam hal pembiayaan adalah korelasi antara kemandirian pembiayaan dengan kemandirian dalam hal-hal yang lebih bersifat ideologis. Dengan asumsi bahwa potensi dana yang bisa dikumpulkan dari publik sangat besar, maka sejak Strategic Planning YLKI tahun 2003 diperkenalkan Divisi Penggalangan Dana yang diharapkan menjadi alternatif pendapatan bagi lembaga.
Dari Program PPF 2004 terekspresi harapan konsumen agar tetap memprioritaskan misi sosial dalam menjalankan pelayanannya, dan bahwa penggalangan dana publik belum saatnya diberlakukan. Hal ini mengingat tumpuan harapan pembelaan kepentingan konsumen masih berada pada pundak YLKI, apalagi bila melihat peran ini belum sepenuhnya dipenuhi oleh pemerintah dengan segala sarana dan prasarananya.
Sepanjang program PPF 2005, YLKI semakin diyakinkan bahwa penggalangan dana untuk kepentingan lembaga harus menjadi program prioritas lembaga advokasi seperti YLKI, tidak untuk tujuan penggalangan sumberdaya material (kas) tetapi lebih penggalangan sumberdaya imaterial. Sementara itu penggalangan dana untuk kepentingan advokasi kelompok tetap bernilai strategis dan tetap harus dipromosikan.
Di YLKI sendiri walaupun wacana sudah berkembang, hingga saat ini divisi penggalangan dana publik belum terbentuk secara formal dalam struktur kelembagaan, namun beberapa tawaran dari publik sudah mengindikasikan bahwa memang potensi ini ada, walaupun besarnya masih relatif.
Bentuk penggalangan dana publik yang selama ini berjalan adalah penjualan berbagai produk (barang dan jasa) YLKI, seperti buku terbitan YLKI, Warta Konsumen dan layanan perpustakaan.
Akhir-akhir ini mulai diberlakukan penarikan tarif untuk konsultasi (consultation fee) atau penyelenggaraan (event organiser). Potensi pemasukan dana juga berdatangan dari beberapa pihak seperti pemerintah dan pelaku usaha termasuk BUMN dalam bentuk kerjasama kegiatan.
Banyaknya tawaran ini mendorong YLKI untuk menyusun Kode Etik Penggalangan Dana. Kode etik harus memuat norma-norma yang dianut YLKI seperti independensi, transparansi dan lain-lain. Menggalang dana publik melalui sistem organisasi keanggotaan (membership) menjadi kecenderungan lembaga konsumen di mancanegara. Lembaga konsumen di Malaysia (CAP) dan Australia (ACA) beroperasi dengan dukungan penuh dari iuran anggota. Kegiatan utama mereka adalah penerbitan majalah dan buku-buku panduan konsumen yang dibagikan gratis kepada seluruh anggota.
Mengharapkan semangat filantropis (cinta pada sesama) untuk menggalang dana bagi kegiatan perlindungan konsumen di Indonesia dirasa sangat sulit diharapkan, karena adagium perlindungan konsumen sangat kuat berasosiasi dengan transaksi dagang dan masih dibaca dalam konteks ekonomi mikro. Konsekuensinya setiap rupiah yang dikeluarkan konsumen harus mendapatkan manfaat. Apalagi konsumen semakin sadar bahwa mendapatkan pembelaan dan perlindungan adalah bagian dari hak sipil sebagai warga negara. Dengan demikian, mengharapkan publik mau menyisihkan dana untuk membantu sesamanya hanya dapat dilakukan untuk segmen konsumen tertentu dalam lingkup yang terbatas. Fund raising adalah konsep yang kuno dan tidak operationable, walaupun sangat efektif untuk melahirkan legitimasi.
Gagasan sistem keanggotaan (membership) kembali dibahas, meskipun dengan perspektif
berbeda. Bila pada PPF 2004 gagasan membership dianggap memberikan hak eksklusif atas layanan YLKI hanya kepada member (yang membayar iuran anggota), maka melihat kebutuhan yang ada, gagasan membership harus dilihat sebagai upaya agar misi YLKI mendapatkan legitimasi dari publik, atau dengan kata lain mencari simpati publik agar mau mendukung kegiatan YLKI. Ini adalah konsep penggalangan solidaritas atau friend raising. Dukungan yang dapat diberikan dari friend dapat berbentuk material (dana) dan imaterial (kepakaran, informasi, waktu). Inti dalam manajamen fundraising dan friendraising adalah membangun dan memelihara hubungan jangka panjang.
Salah satu prakondisi penting agar publik mau memberikan dukungan kepada YLKI adalah akuntabilitas lembaga, di mana YLKI berhasil menunjukkan bahwa YLKI pantas dipercaya oleh publik. Caranya dengan selalu mempertahankan nilai-nilai moral yang telah diletakkan oleh pendahulu YLKI hingga saat ini dan mengimplementasikannya dalam menjalankan program kerjanya. Tersusunnya Kode Etik Lembaga dan atau Kode Etik Penggalangan Dana yang diketahui publik adalah salah satu bentuk pernyataan akuntabilitas.
Terlepas dari keterbatasan teknis internal lembaga, YLKI memiliki beberapa kelebihan yang bisa menjadi faktor kekuatan dalam pengelolaan penggalangan dana publik, seperti nama YLKI yang sudah menjadi brand image perlindungan konsumen, adanya pengakuan dari stakeholders, isu konsumen adalah isu sehari-hari sehingga mudah dipahami, dan belum banyak ‘aktor’ handal yang bermain di area perlindungan konsumen.
Di samping itu, beberapa kendala YLKI dalam pengelolaan penggalangan dana publik adalah kurangnya pengalaman dan kompetensi dalam pengembangan skema penggalangan dana publik, ketatnya nilai-nilai moral yang diusung lembaga yang berimplikasi pada berlakunya keterbatasan pada penerimaan dana dari masyarakat, sumberdaya manusia yang terbatas dengan beban kerja yang tinggi setiap harinya, kemauan untuk berubah dan keyakinan bahwa upaya ini akan membawa hasil.
Uluran tangan dari Dompet Dhuafa untuk membantu YLKI mengembangkan inisiatif ini patutdihargai. Prasyarat utama adalah membentuk tim khusus yang secara full time mengelola penggalangan dana publik. Tim harus mampu mengembangkan ide-ide kreatif dengan menangkap peluang yang ada namun tetap realistis dengan kondisi yang ada.
Source: www.ibl.or.id
Post a Comment