23/07/09 15:12
R Ferdian Andi R
INILAH.COM, Jakarta – Hari Anak Nasional selalu diperingati setiap tahun. Tak tanggung-tanggung, para pejabat negara pun turut memeriahkannnya. Namun sayang, semuanya terhenti pada acara seremonial. Faktanya anak masih tiri bagi negara, bukan faktor penting bagi pembangunan bangsa dan negara ke depan.
Dalam hajatan demokrasi 2009, melalui pemilu legislatif dan pemilu presiden, anak menjadi sorotan para elit. Apalagi kalau tidak untuk pencitraan politik. Namun, setelah hajatan usai, anak kembali pada posisi tragisnya, terpinggirkan.
Masih ingat saat para capres berlomba-lomba untuk menyayangi anak, seperti menciumi dan menggendong, namun ternyata ciuman yang mendarat serta gendongannya, tak lebih hanya pencitraan politik? Capres agar dianggap kebapakan atau keibuan. Calon pemimpin itu agar dinilai sosok yang lemah lembut dan penyayang kepada anak kecil.
Menurut Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Anak Arits Merdeka Sirait, anak tidak hanya dipandang tiri oleh negara, namun anak Indonesia seperti tak punya orang tua. Negara absen dalam mengurus anak Indonesia.
“Para pejabat negara merasa cukup peduli dengan anak hanya dengan menggelar seremoni selama dua jam. Menyedihkan!” tegasnya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Kamis (23/7).
Lebih lanjut Arits menegaskan, anak selalu menjadi komoditas untuk terus dieksploitasi oleh negara dan para elit. Namun ketika persoalan menimpa pada diri anak, kembali diserahkan kepada orang tua atau masyarakat. “Anak seperti yatim piatu tidak memiliki siapa-siapa, termasuk negara,” tegasnya.
Dalam konteks ini pula, Arits berharap, anak-anak harus segera dibebaskan dari segenap praktik-praktik eksploitasi dan penelantaran. Program pendidikan gratis, kesehatan gratis yang digembor-gembor pemerintah, menurut Arits, juga tak lebih sebagai pemilintiran.
Padahal pendidikan dan kesehatan gratis merupakan hak anak-anak dan kewajiban pemerintah. “Jadi itu bukan pemberian negara, tetapi memag kewajiban negara seharusnya memang seperti itu,” tegasnya.
Dari data Unicef pada 2007 diperkirakan jumlah anak jalanan di dunia mencapai 170 juta jiwa. Angka ini diperkirakan meingkat pada 2020 dapat mencapai 800 juta jiwa apabila tidak ditangani secara serius. Sedangkan anak jalanan di Indonesia, berdasarkan data Departemen Sosial, pada 2006, jumlah anak jalanan mencapai sekitar 144.889 jiwa.
Sementara Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Masnah Sari berharap perlu adanya keberpihakan dari semua stakeholder untuk lebih peduli terhadap nasib anak Indonesia. “Karena sampai saat ini anak masih menjadi kelompok marginal, rentan akan segala bentuk kekerasan, eksploitasi, trafficking, nafza, dan badai pornografi,” tuturnya dalam pesan singkatnya yang diterima INILAH.COM, Kamis (23/7).
Menurut dia, selama ini penanganan persoalan anak tidak fokus dan kurang koordinasi antar satu lembaga dengan lembaga lainnya. Penanganan secara parsial yang ditangani oleh departemen pemerintahan mengakbitakan kesan tidak serius pihak negara dalam mengurus anak Indonesia.
“Padahal anak merupakan aset penting yang harus dibangun dengan serius dan sistematis untuk melangsungkan negeri dan bangsa di masa depan,” jelasnya.
Dalam proses pemilu kemarin, Masnah mencatat para capres hanya bisa mengekploitasi anak-anak dalam pemilu, namun sama sekali tidak ditemukan visi-misi tentang anak Indonesia. “Bahkan tiga capres tidak satupun yang bicara tentang anak. Anak belum menjadi pertimbangn dalam pembangunan bangsa,” katanya.
Di tengah keterbatasan dan karut-marut persoalan yang dihadapi anak, sepatutnya anak Indonesia menatap masa depan negeri ini dengan optimisme tinggi.
Negara harus lebih peduli dengan nasib anak Indonesia. Karena selain diatur dalam konstitusi, menjunjung harkat martabat anak sama juga menyiapkan estafet perjalanan negeri ini ke pundak anak Indonesia yang lebih baik. Jangan sampai anak Indonesia merasa tak punya presiden, karena tak ada presiden yang pro-anak! [P1]
http://pemilu.inilah.com/berita/2009/07/23/131966/anak-indonesia-tak-punya-presiden/
Post a Comment