Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Manfaat BLT untuk Pengurangan Kemiskinan?

30-Jul-2009, 14:01:04 WIB

Oleh : Chasan Ascholani
[www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - “Ketika diminta kerja bakti, banyak warga desa mengatakan: biar mereka yang menerima BLT yang kerjabakti”, kata seorang perangkat desa di Kab. Ciamis.

Ungkapan kekecewaan ini ternyata tidak hanya dilontarkan oleh seorang saja, tetapi hampir di semua desa penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) mengeluhkan hal yang sama. Bahkan, mereka menganggap BLT telah merusak solidaritas sosial untuk melakukan gotong-royong. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah memang ada yang salah dengan BLT?

BLT dan Angka Kemiskinan
Dilihat dari tujuannya, BLT memang dimaksudkan untuk mengurangi angka kemiskinan. Artinya, kalau garis kemiskinan ditunjukkan oleh penghasilan minimal Rp. 182.636 per orang (BPS, 2008), dan pemerintah telah memberikan Rp. 100.000 per orang per bulan, ditambah dengan penghasilannya sendiri, misalnya Rp. 100.000 per bulan, maka totalnya di bulan itu dia memiliki uang Rp. 200.000. Jadi, orang tersebut tidak termasuk orang miskin – tentunya juga ada indikator lainnya. Sehingga, orang seperti ini tidak termasuk dalam catatan angka kemiskinan. Dengan kata lain, mereka tidak menjadi orang miskin hanya karena mendapatkan BLT.

Lalu, sampai kapan pemerintah akan melakukan BLT? Kalau memang status mereka menjadi tidak miskin ditentukan oleh BLT yang diterimanya, maka ketika tidak ada lagi program BLT (seperti yang baru saja diumumkan oleh pemerintah), maka mereka akan segera jatuh ke kelompok miskin, dan akan menambah angka kemiskinan nasional. Logikanya, kalau tidak ada program pengganti yang memiliki dampak yang sama dengan BLT, maka pada tahun 2010 angka kemiskinan akan naik tinggi.

BLT dan Kecemburuan Sosial
BLT juga selalu diberikan kepada orang yang sama. Karena BPS menggunakan beberapa indikator dalam penentuan penerima BLT, maka hanya beberapa orang di desa yang mendapatkannya. Dan untuk penerimaan berikutnya, sampai berulang-ulang kali, penerimanya masih orang yang sama, yaitu mereka yang terdaftar di BPS. Padahal, masih banyak masyarakat yang pendapatannya sedikit diatas penerima BLT, tetapi mereka tidak pernah mendapatkannya.

Misalnya, si A hanya memiliki pendapatan Rp. 100.000 per bulan, rumah dari bambu, berlantai tanah dll, sehingga dia dimasukkan dalam kelompok penerima BLT. Sedangkan si B tetangganya, dengan kondisi yang hampir sama, tetapi memiliki penghasilan Rp. 190.000 per bulan. Karena alasan pendapatan diatas garis kemiskinan, maka dia tidak didaftar sebagai penerima BLT. Untuk satu atau dua kali pemberian BLT, mungkin si B bisa menerima. Tetapi, melihat si A yang menerima BLT berkali-kali dan tidak ada perubahan di hidupnya, maka tentunya si B merasa cemburu, karena senyatanya dia hanya berbeda sedikit dengan si A. Bahkan, dengan dana BLT, si A memiliki penghasilan yang lebih tinggi (Rp. 200.000) daripada si B. Kecemburuan sosial seperti ini, banyak dirasakan masyarakat desa.

BLT atau Padat Karya
Banyak perangkat desa yang mengalami masalah dan keluhan atas penerimaan BLT di desanya, memilih untuk menjalankan program padat karya daripada BLT. Menurut mereka, padat karya lebih jelas hasilnya (berupa bangunan fisik atau sarana umum) dan ada penerimaan dari masyarakat, karena hanya mereka yang bekerja yang akan mendapatkan upah. Pilihan ini masuk akal, karena bagi perangkat desa, konflik yang ditimbulkan dari pelaksanaan padat karya akan relatif kecil.

Sekalipun begitu, tentunya pemilihan orang yang melakukan padat karya juga menjadi isu penting. Karena tidak semua warga bisa kerja, misalnya janda tua yang miskin. Tentunya, dia tidak bisa ikut padat karya, tetapi yang jelas dia membutuhkan bantuan. Disini, terlihat bahwa program padat karya tidak bisa memenuhi kebutuhan janda tua miskin tersebut.

BLT atau Program lain
Seperti tujuannya untuk pengurangan kemiskinan, ternyata BLT hanya program sesaat untuk mengurangi data angka kemiskinan. Oleh karena itu, mungkin berdasarkan evaluasinya, pemerintah akan menghentikan program ini. Lalu, apa gantinya?

Untuk penanggulangan kemiskinan, sebenarnya sudah ada Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) di tingkat nasional. Sayangnya, kebijakan ini belum banyak diterjemahkan di daerah dalam bentuk Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD). Padahal, ada Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2005 yang mengaturnya. Tidak adanya strategi yang menyeluruh dan terintegrasi inilah yang menyebabkan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan masih dilakukan seporadis oleh masing-masing dinas atau instansi tertentu.

Disini bisa diambil kesimpulan bahwa BLT hanya sesaat mengurangi angka kemiskinan, dan sebelum menentukan program pengganti BLT, pemerintah harus melihat kembali SNPK. Apakah strategi itu sudah pas untuk pengentasan kemiskinan atau belum? Kalau belum, apa yang perlu diperbaiki?. Dan kalau dianggap sudah pas, lalu strategi apa yang belum dijalankan?. Disitulah diskusinya nanti untuk menentukan apa program pengganti BLT yang bisa berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, tetapi tidak untuk sesaat.

--------------------
Penulis adalah pemerhati masalah sosial yang tinggal di Yogyakarta.

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Manfaat+BLT+untuk+Pengurangan+Kemiskinan%3F&dn=20090730134556
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts