29-Jul-2009, 18:48:13 WIB
Oleh : Iriani Permatasari
[www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Sekitar beberapa tahun lalu jumlah supermarket atau hypermarket maupun mini market di Papua masih bisa di hitung dengan jari. Keberadaan pasar modern waktu itu masih sangat jarang. Coba bandingkan dengan sekarang. Sebagian orang kini lebih cenderung mendatangi hypermarket ataupun pusat grosir. Selain tempatnya lebih nyaman, harganya bersaing, jenis barangnya pun sangat beragam. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia (GMPI), Habelino A. Sawaki.
“Kehadiran pasar modern yang memberikan banyak kenyamanan membuat sebagian orang enggan untuk berbelanja ke pasar tradisional. Berbagai alasan mungkin akan dilontarkan orang jika ditanya, mengapa tidak belanja di pasar tradisional? Dari mulai kondisi pasar yang becek dan bau, malas tawar menawar, dan sejumlah alasan lainnya. Padahal pasar tradisional juga masih memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki pasar modern. Di antaranya adalah masih adanya kontak sosial saat tawar menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok,” ungkapnya.
Setiap tahun jumlah pasar tradisional yang berkurang terus meningkat. Kondisi semacam ini tentu sungguh memprihatinkan. Menurutnya, sebenarnya tidak ada yang salah dengan keberadaaan pasar modern. Sudah menjadi sifat konsumen dimana akan lebih senang memilih tempat yang lebih nyaman, barang lebih lengkap dan harga lebih murah, di mana hal tersebut bisa diakomodasi pasar modern.
“Kunci solusi sebenarnya ada di tangan pemerintah. Harus ada aturan tata ruang yang tegas yang mengatur penempatan pasar tradisional dan pasar modern. Misalnya tentang berapa jumlah hypermarket yang boleh ada untuk setiap wilayah di satu kota. Lalu berapa jarak yang diperbolehkan dari pasar tradisional jika pengusaha ingin membangun supermarket. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman kebangkrutan pada pasar tradisional akibat kepungan pasar modern yang tidak terkendali, dan memberikan wahana persaingan yang sehat antara keduanya,” tegas Habelino Sawaki yang juga pendiri GMPI ini.
Hal lain yang mungkin perlu dilakukan adalah merubah wajah pasar tradisional agar bisa lebih nyaman dan teratur. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagangnya sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional.
Habelino Sawaki berharap, semoga saja pasar tradisional masih bisa bertahan di tengah kepungan pasar modern.
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=10&jd=Pasar+Tradisional+Dikepung+Pasar+Modern&dn=20090729164603
Post a Comment