Senin, 03/08/2009 14:37 WIB
Nurul Ulfah - detikHealth
Bogor, Masih banyak produsen yang menawarkan susu formula untuk bayi di bawah umur 2 tahun, padahal seharusnya ASI masih diberikan hingga bayi berusia 2 tahun. Kode etik penjualan susu formula banyak diabaikan.
Di saat para produsen berbondong-bondong mengiklankan susu formula dengan berbagai komposisi demi menciptakan generasi bayi yang cerdas, masyarakat pun tersihir dan berlomba-lomba untuk membelinya.
Para ibu seakan lupa pentingnya ASI dan beralih pada susu formula yang dipercaya bisa membuat anak lebih pintar dan sehat. Kebanyakan ibu mudah tersedot dan tergiur iklan di televisi yang sangat meyakinkan.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk ke-4 terbesar di dunia (4,4 juta kelahiran per tahun), Indonesia merupakan pangsa pasar yang menarik bagi perusahaan makanan dan susu formula bayi lokal maupun multinasional.
Tak kurang dari 24 jenis nama dagang susu formula, 29 jenis susu lanjutan dan 19 jenis makanan bayi menyebabkan perusahaan saling bersaing promosi dan gencar berebut pasar hingga kode pemasaran pun dilanggar.
Hampir 15%-40% bayi diberi susu formula dalam usia 1 tahun dan ironisnya, 20-53% bayi menerimanya di sarana pelayanan kesehatan ketika baru melahirkan.
dr Asti Praborini SpA, IBCBC dalam acara lokakarya tentang ASI di Hotel Novotel Bogor mengatakan penganjur utama susu formula terbesar adalah bidan.
Perusahaan berlomba merayu dokter, bidan dan perawat dengan memberi insentif tertentu supaya mempromosikan produknya pada pasien karena mereka tahu bahwa petugas-petugas kesehatanlah yang dapat mempengaruhi keputusan pilihan ibu untuk menyusui.
Padahal susu formula sebenarnya tidak perlu diberikan pada anak, terutama mereka di bawah 2 tahun karena ASI yang didapat dari ibunya sudah sangat lengkap.
"Anak bukannya tidak boleh diberi susu formula, tapi tidak perlu," tegas pakar laktasi Indonesia, dr Utami Roesli SpA, MBA, IBCLC.
Apa yang sebenarnya dilanggar oleh produsen susu formula?
Berdasarkan monitoring terhadap pemasaran Pengganti Air Susu Ibu atau PASI tahun 2003, menunjukkan terjadinya pelanggaran kode oleh 15 produsen makanan bayi dan susu formula.
Pelanggaran kode pemasaran susu formula terdiri dari 2 hal yang mendasar, yaitu :
1. Produk dipromosikan di sarana pelayanan kesehatan melalui papan nama bayi, poster, tas, kalender, jam dinding, boks tisu dan barang lainnya, pada petugas kesehatan, kepada ibu dan calon ibu dan kepada masyarakat.
2. Pelanggaran melalui label, yang mengidealkan keunggulan produk namun tidak dibarengi dengan pernyataan yang kurang ilmiah dan menyebutkan menambahkan komposisi-komposisi tertentu yang sebenarnya sudah terdapat pada ASI.
Untuk kasus ibu kantoran, dr. Utami pun menganjurkan agar perusahaan-perusahaan merujuk pada keputusan bersama tiga menteri, yaitu Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigran serta Menteri Kesehatan tentang peningkatan pemberian Air Susu Ibu (ASI) selama waktu kerja di tempat kerja.
"Sebaiknya ibu kantoran menyatukan cuti hamil dan tahunan agar bisa menyusui anaknya dan perusahaan juga tidak memberikan kerja malam (shift malam) untuk para ibu yang anaknya masih di bawah 6 bulan," jelas Utami.
Sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan KepMenKes no. 237 tahun 1997 tentang pemasaran Pengganti ASI dan KepMenkes no.450 tahun 2003 tentang ASI ekslusif 6 bulan dan Rumah Sakit Sayang Bayi.
"Masalahnya KepMenKes saja tidak cukup kuat sebagai dasar hukum penindakan, harus ada undang-undang cantelannya," ujar Kersnawan mewakili Direktur Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
http://health.detik.com/read/2009/08/03/143752/1176522/763/kode-etik-penjualan-susu-formula-banyak-diabaikan
Post a Comment