08/08/2009 08:05:41
Oleh : Dr Jaka Sriyana
DI awal bulan ini pemerintah dan DPR telah menyetujui sebuah undang-undang yang mengatur tentang Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan (PBBK). Inti dari isi UU tersebut adalah adanya kenaikan pajak bagi pemilik kendaraan yang memiliki kendaraan kedua dan seterusnya. Kenaikan ini mencapai 2% sampai maksimal 10%, artinya jika seseorang membeli mobil kedua dengan atas namanya seharga Rp 200 juta, maka pajak yang harus dibayar bisa mencapai 20 juta rupiah.
Besarnya tarif pajak ini akan ditentukan oleh pemerintah propinsi masing-masing. Sementara tentang PBBK, dalam peraturan tersebut ditetapkan maksimal sebesar 10% yang akan efektif berlaku mulai 1 Januari 2012. Artinya sejak tanggal tersebut pemerintah propinsi bisa menetapkan PBBK maksimal 10% dari harga jual. Jadi jika Pemerintah Propinsi DIY menetapkan PBBK 10% dan harga BBM adalah Rp 5.000 per liter, maka pembeli akan membayar Rp 5.500 per liter.
Salah satu masalah utama yang mendasari lahirnya UU ini adalah tingginya surplus kendaraan bermotor. Tingginya pertumbuhan permintaan terhadap kendaraan bermotor tanpa diimbangi oleh pembangunan infrastruktur, baik dari segi kuantitas maupun kualitas telah mengakibatkan berbagai masalah besar dalam dunia transportasi kita. Jumlah kendaraan tidak seimbang dengan ketersediaan infrastruktur sehingga kecelakaan banyak terjadi, kemacetan lalu lintas terjadi di hampir semua pusat kota besar.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kondisi tersebut salah, sehingga pemerintah harus membuat kebijakan untuk menguranginya? Jika kita telaah, tumbuhnya jumlah kendaraan bermotor merupakan konsekuensi dari kegiatan ekonomi masyarakat. Artinya, kendaraan merupakan sarana bagi mereka untuk melakukan aktivitas dan seiring pula dengan kemampuan pendapatannya. Selain itu, membeli kendaraan pribadi adalah pilihan yang tak bisa dihindari karena kurangnya moda transportasi umum yang diperlukan seperti bus atau kereta api.
Oleh karena itu efektivitas kebijakan ini untuk meredam jumlah kendaraan bermotor patut diragukan. Dampak awal dari peraturan ini adalah adanya shock di masyarakat, yaitu meningkatnya harga kendaraan dan bahan bakar yang berujung pada peningkatan biaya transportasi. Tentu saja hal ini akan berdampak pada peningkatan inflasi dan memburuknya iklim bisnis di daerah. Namun masyarakat akan menyikapinya dengan melakukan penyesuaian terhadap kondisi baru tersebut, dan hanya dalam jangka pendek akan kembali lagi pada posisi semula di mana jumlah kendaraan bermotor tidak menurun secara signifikan.
Berbicara masalah kualitas infrastruktur fisik, Indonesia memang ketinggalan jauh dari negara-negara tetangga sebagai sesama negara berkembang. Alokasi belanja APBN untuk infrastruktur relatif rendah, yaitu sekitar 2% per tahun sehingga hanya menghasilkan pertumbuhan penyediaan infrastruktur sebesar 0,1% per tahun. Menurut IMD, suatu lembaga pemeringkat daya saing, Indonesia menduduki peringkat terendah dari 30 negara di Asia dalam hal penyediaan infrastruktur. Artinya masalah yang dihadapi saat ini, yaitu tidak seimbangnya jumlah kendaraan dengan infrastruktur bukanlah jumlah kendaraan yang harus dikurangi, tetapi penyediaan infrastruktur yang harus ditambah, atau penyediaan moda transportasi umum.
Implikasi positif dari peraturan ini adalah berkaitan alokasi hasil pajak tersebut, yaitu 70% untuk propinsi dan 30% untuk kota/kabupaten. Juga keharusan pemerintah daerah membelanjakan hasil pungutan pajak tersebut sebesar 10% untuk infrastruktur jalan. Jika dilihat dari pola kewenangan pengelolaan keuangan, maka kebijakan peningkatan PKB dan PBBK ini menunjukkan itikad pemerintah pusat mendelegasikan tanggung jawab penyediaan infrastruktur jalan khususnya sekaligus dengan sumber pendanaannya kepada pemerintah daerah.
Berkaitan dengan wewenang pemerintah daerah untuk mengalokasikan pendapatan dari kenaikan PKB dan PBBK sebesar 10% tersebut masih jauh dari cukup untuk mengatasi masalah infrastruktur di daerah. Alasannya, jumlah kendaraan di masing-masing daerah sangat fluktuatif, sedangkan kondisi infrastruktur hampir merata di semua daerah. Selain itu persentase kepemilikan mobil lebih dari satu oleh pribadi juga relatif kecil. Implementasi pajak progresif ini juga masih memiliki peluang cukup besar untuk disiasati oleh pemilik kendaraan. Oleh karena itu dilihat dari aspek alokasi, angka 10% ini terlalu kecil. Apalagi jika pemerintah propinsi hanya menetapkan pajak ini pada angka moderat, misal sekitar 5%, bisa diprediksi tidak akan ada peningkatan infrastruktur yang memadai. Oleh karena itu peraturan ini tidak bisa menjadi justifikasi penyediaan infrastruktur oleh daerah.
Lahirnya UU ini juga akan meningkatkan tata kelola keuangan daerah. Pemerintah daerah memiliki wewenang menetapkan sumber pendapatan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing sehingga tarif antardaerah bisa berbeda-beda. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta yang wilayahnya relatif kecil dengan jumlah kendaraan relatif banyak, maka pengenaan tarif pajak ini cenderung tinggi. Kebijakan ini akan memperkuat kapasitas fiskal daerah dan sekaligus peningkatan kualitas infrastruktur transportasi. Sisi positif lainnya adalah terciptanya keadilan yang lebih baik karena masyarakat di daerah masing-masing memiliki beban untuk membiayai infrastruktur sendiri, walau masih dalam jumlah yang relatif kecil.
(Penulis adalah Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FE UII).-z
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=203666&actmenu=45

Post a Comment