Selasa, 8 September 2009 | 04:54 WIB
Rachmat Pambudy
Menteri Sri Mulyani benar. Dari sisi kemampuan produksi pangan, Indonesia memang tak separah yang diberitakan (Kompas, 25/8/2009).
Jumlah penduduk besar, sumber daya alam berlimpah, daya beli relatif baik, dan konsumtivisme yang dipicu media (terutama TV) menyebabkan Indonesia surga bagi pasar dunia dan investasi global. Indonesia mengimpor produk bernilai ekonomi mulai dari pesawat terbang, mobil, motor, AC, TV, radio, peniti, kancing baju, hingga pangan.
Pilihan kebijakan
Liberalisasi perdagangan, investasi, keuangan yang dipilih pengambil kebijakan menyebabkan cepat atau lambat Indonesia kebanjiran impor. Sejak putaran Uruguay, AFTA, dan forum perdagangan dunia seperti WTO diberlakukan, Indonesia menjadi salah satu negara paling patuh dalam menjalankan kesepakatan global. Komoditas pangan impor seperti kedelai, gandum, daging, susu, gula, garam, sayur, dan buah mudah masuk hingga ke desa.
Dalam jangka pendek memang terpaksa impor. Namun, jika terus berulang, perlahan tetapi pasti, selamanya kita akan tergantung impor. Sesuai strategi industrialisasi, seharusnya sejak 1985 Indonesia sudah bisa membuat mobil dan motor dengan teknologi dan merek nasional, tetapi pilihan kebijakan menyebabkan sampai hari ini hanya bisa merakit. Indonesia kalah dengan Vietnam, Korea, Brasil, dan Malaysia. Pilihan kebijakan politik ekonomi, perdagangan, dan industri manufaktur berulang pada kebijakan pangan dan pertanian.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Hidayat mengingatkan, pengalaman perberasan harus dijadikan pelajaran berharga. Sejak Indonesia merdeka, setidaknya ada periode swasembada dan ekspor beras. Pertama tahun 1984/1985, kedua tahun 2004/2005, dan ketiga tahun 2008/2009. Proses pencapaiannya makin pendek sehingga berbeda dengan 40 tahun lalu.
Banyaknya penduduk kelaparan dan rumitnya masalah pangan pada awal Orde Baru (1969) membuat usaha swasembada beras bagi Indonesia serupa dengan misi Apollo ke bulan bagi AS (Radius Prawiro, 1998).
Swasembada beras pada masa itu mudah direncanakan, tetapi jauh lebih rumit dicapai. Hal ini karena harus mengorganisasikan ratusan ribu pendidik, penyuluh, pemasok, pedagang, rentenir, dan jutaan petani yang belum banyak mengenal benih unggul, pupuk sintetis, sistem pengairan, pengendalian hama, perkreditan, dan pemasaran.
Misi beras Indonesia juga melibatkan isu ekonomi, sosial, budaya yang peka dan rumit. Sejak swasembada beras, Indonesia mampu swasembada susu, jagung, telur, daging ayam, dan kedelai (amat singkat). Kini, Indonesia masih bisa mengekspor nanas, ikan, udang, dan produk perkebunan dalam jumlah besar.
Kebijakan agrobisnis
Kini pemerintah bisa memilih dan mengambil pelajaran soal pangan dan pertanian yang sebelumnya terjadi dan akan terus berulang, termasuk apakah mau impor. Namun, sektor pertanian secara terpisah tidak akan mampu bertahan apalagi menjadi penggerak ekonomi nasional.
Pertanian dapat menjadi kekuatan besar jika membentuk sistem dan usaha agrobisnis yang efisien dan dikaitkan agroindustri, perdagangan, serta jasa penunjangnya (perbankan, asuransi, penelitian, transportasi, pergudangan, dan sistem informasi/penyuluhan).
Saat krisis ekonomi 1998, yang mampu menjadi penggerak ekonomi adalah sektor agrobisnis pangan (pertanian, perikanan, hortikultura, perkebunan) dan bioenergi (sawit, singkong, kelapa, aren, jagung, sorgum dan lainnya). Untuk itu perlu kebijakan terintegrasi, holistik, dan komprehensif serta dapat dilaksanakan dengan baik di lapangan.
Pertama, kebijakan perdagangan yang mempromosikan dan melindungi produk agrobisnis Indonesia (promotion and protection policy) di dalam dan luar negeri. Promosi untuk menembus pasar dunia dan proteksi terhadap perdagangan yang tak adil, merugikan ekonomi rakyat, menghilangkan kesempatan kerja, produk dumping, subsidi tak wajar dan kualitas di bawah standar (termasuk kehalalan).
Kedua, membuat dan melaksanakan kebijakan agroindustri yang bernilai tambah dan meningkatkan pendapatan nasional. Instrumen keuangan, seperti pajak, subsidi, bunga pinjaman, alokasi kredit dan instrumen perdagangan, seperti kredit ekspor, bea masuk, dan hambatan nontarif, harus dirancang guna pengembangan agroindustri dalam sistem dan usaha agrobisnis yang efisien dan berdaya saing.
Ketiga, kebijakan organisasi petani dan nelayan untuk mengembangkan sistem dan usaha agrobisnis yang lebih efisien dan menguntungkan petani. Meski diliputi keterbatasan, petani Indonesia amat efisien dalam bekerja. Di bawah kendala luas lahan, ketersediaan input dan sumber daya modal, petani Indonesia mahir dan serba bisa. Bukti ekonometrik yang ada meski tidak kuat mengindikasikan kesadaran pasar, pengertian perhitungan ekonomis dan kemauan untuk berinovasi (Timmer, 1975).
Namun, 21 juta keluarga petani masih perlu diintegrasikan dalam organisasi petani, koperasi, dan perusahaan BUMN (BRI, PT Perkebunan, Bulog, Perhutani, Inhutani, PT Pusri, Pupuk Kaltim, PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, dan lainnya) guna memudahkan pendidikan-penyuluhan, reforma agraria, penyaluran input (benih, pupuk, dan kredit) serta memasarkan hasilnya.
Keempat, kepemimpinan nasional yang visioner dan tahu masalah serta mampu menyelesaikan dengan baik dan benar di semua lini. Peran pemimpin yang penting adalah mengorkestra para stakeholder agar mau bersama secara efektif dan efisien menghasilkan produk agrobisnis yang kompetitif dan berdaya saing.
Terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakilnya, Boediono, diharapkan lebih memahami ekonomi Indonesia dan bisa memberi semangat baru bagi pengembangan sistem dan usaha agrobisnis secara signifikan. Kini ditunggu para menteri yang memenuhi kriteria: kompeten, berpengalaman dan dapat menerjemahkan berbagai kebijakan dan program di lapangan, termasuk mampu mengorganisasi petani dan nelayan Indonesia.
Rachmat Pambudy Dosen Fakultas Ekonomi Manajemen IPB; Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/08/04544614/.jebakan.impor.pangan
Post a Comment