20/09/2009 - 10:58
Ahluwalia
INILAH.COM, Jakarta - Dalam merenungi Lebaran kali ini, ada baiknya menukik ke jantung persoalan kemiskinan. Butuh kepekaan mendengar hati nurani rakyat dan kreativitas untuk mengurangi atau memberangus kemiskinan di negeri ini.
Secara konseptual, Islam memiliki dua kata yang merujuk kepada orang miskin: faqir dan masakin. Istilah faqir merujuk pada kondisi di mana seseorang sudah dalam posisi hopeless (putus asa) untuk berkarya, karena apapun yang dilakukan akan tetap miskin.
Kecenderungan orang seperti ini sudah tidak mau berkarya lagi, sehingga langkah yang dilakukan adalah meminta-minta sebagai sebuah budaya.
Sedangkan masakin merujuk pada kondisi di mana seseorang telah bersusah payah bekerja keras, namun hasil usaha tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Namun orang tersebut tidak berputus asa untuk bekerja, karena putus asa merupakan langkah dari setan. (Yusuf Qardhawy,1996)
Mohamad Nasir, seorang peneliti masalah Islam dan kenegaraan, mencatat, kedua model itu pasti ada di Indonesia. Begitu banyak pengemis di negeri ini, menggantungkan harapan dari belas kasihan orang.
Beberapa waktu yang lalu, ada ibu yang membunuh anak-anaknya dan dirinya sendiri karena putus asa (faqir). Bagaimana itu terjadi? Apa ada kaitannya dengan negara dan kepemimpinan bangsa?
Tragedi Pasuruan mencerminkan potret Indonesia masa kini yang menunjukkan kegagalan negara mensejahterakan rakyatnya. Betapa demi mengejar uang Rp 10-30 ribu rakyat kecil harus berdesak-desakkan hingga timbul korban jiwa. Hal ini sangat mengiris hati bagi setiap mereka yang masih memiliki nurani.
Bukan berapa jumlah mereka yang meninggal yang jadi permasalahan. Tapi, mereka yang meninggal adalah saudara kita sebangsa. Dan hal ini harus dipertanggung jawabkan oleh pemerintah, khususnya Presiden SBY dan kabinetnya.
Ini juga bukan masalah siapa yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut. Tapi ketika banyak rakyat Indonesia yang berebut & mengemis, hal itu menunjukkan bahwa pemerintahan SBY gagal dalam program pengentasan kemiskinan.
Harusnya pemerintah yang sudah begitu banyak mendapat dana lewat pajak yang notabene berasal dari uang rakyat dapat menelurkan program untuk mengurangi & mencegah tumbuhnya kantong kemiskinan baru.
Tapi mana buktinya? Bahkan kemiskinan sering dijadikan komoditas untuk dijual kepada funding asing untuk mendapatkan utang-utang baru sebagai lahan korupsi.
Wacana kemiskinan di negeri ini setelah dihantam bertubi-tubi oleh berbagai bencana memang menguat signifikan. Tiba-tiba saja, kesalahan ini diarahkan kepada para pemimpin yang dianggap tidak becus mengurus rakyat.
Meminjam teori Arnold J Toynbee (1889-1975) dalam magnum opus-nya A Study of History (London, 1961), menyatakan sejarah hidup manusia akan selalu diwarnai pasang surut. Gelombang kecemasan publik di tengah masa sulit itu akan selalu memunculkan entah pribadi maupun kelompok yang disebut minoritas kreatif.
Dalam bahaya kemiskinan yang menggejala saat ini, sejarah manusia harus diselamatkan dari kehancuran total oleh seseorang atau suatu kelompok yang disebut minoritas kreatif (creative minority).
Oleh sebab itu, ke depan yang dicari itu adalah pemimpin yang memiliki program-program kreatif untuk menanggulangi kemiskinan. Siapa yang terlihat kreatif secara meyakinkan, akan diberi kesempatan oleh sejarah untuk menjadi pemimpin. Apakah orang seperti itu ada?
Jawabannya tentu saja ada. Negara bertugas memberikan perlindungan lahir batin terhadap warganya. Program negara harus bergerak di atas semangat perlindungan dan kasih sayang. Karena itu, harus ada pemimpin yang mengerti negara dan punya rasa perlindungan serta kasih sayang terhadap rakyatnya.
Jadi model-model kefakiran dan kemiskinan di Indonesia itu tidak boleh diperparah lagi dengan lemahnya institusi negara dan tidak pekanya perasaan kasih sayang pemimpin. Jika hal ini masih terjadi, maka kefakiran dan kemiskinan itu tidak hanya persoalan nasib, tetapi lebih jauh akibat dimiskinkan oleh negara dan pemimpinnya.
Akhirnya, kemiskinan, negara dan kepemimpinan adalah persoalan kepekaan, kasih sayang dan perlindungan. Karena itu pemimpin yang dicari adalah pemimpin kreatif dan punya hati nurani.
Dalam konteks Lebaran raya saat ini, hanya yang punya hati nurani yang bisa bicara dari hati ke hati dan mampu mendengar hati nurani rakyat. ”Rakyat selalu menanti Lebaran yang membebaskan, sebagaimana penantian mereka akan kepemimpinan yang membebaskan dari kemiskinan dan ketidakadilan,” kata Yudi Latif PhD, Direktur Reform Institute dan mantan wakil Rektor Universitas Paramadina. [E1]
http://www.inilah.com/berita/galeri-opini/2009/09/20/158106/lebaran-merenungi-kemiskinan/
Post a Comment