Jumat, 04-09-09 | 00:30
Oleh: Hamdan Juhannis (Guru Besar UIN Alauddin Makassar)
Sungguh suatu ironi kalau ramadan yang menjadi bulan suci dengan berbagai kemuliaan tapi dijebak sendiri oleh masyarakat Muslim dengan menjadikan pesan-pesan kemulian tersebut hanya menjadi kemasan belaka. Ajaran kepedulian sosial sekadar menjadi komoditas dan aksesoris. Sehingga nilai-nilai substansial hidup menjadi sesuatu yang asing seperti efek negatif budaya pop yang dirasakan saat ini berupa pendewaan terhadap materialisme dan konsumerisme.
Beberapa saat yang lalu, saya diundang untuk memberi ceramah di sebuah masjid. Saya naik ke mimbar dengan pakaian kemeja biasa. Setelah saya turun, saya didekati oleh seorang jemaah yang kebetulan adalah teman saya. Teman tersebut mengomentari performa ceramah saya dengan bahasa sindiran. Bahwa saya ibaratnya "striker" sepakbola, tendangan ke gawang begitu mengancam setiap saat, tetapi sayangnya saya tidak memakai sepatu bola.
Ia beranalogi dengan mengaitkan antara pesan pada ceramah saya dengan penampilan saya yang menyimpang dari kostum seharusnya sebagai penceramah, yaitu dengan memakai baju koko, atau kalau perlu dipadu dengan sorban yang melilit di leher atau terlipat rapi di atas bahu.
Cerita di atas saya jadikan starting point untuk mengulas kegelisahan saya tentang bagaimana ranah keagamaan tertarik jauh ke dalam efek budaya populer atau sering disebut budaya pop yang melanda dunia saat ini. Budaya pop adalah kebiasaan yang dipraktikkan atau diterima oleh masyarakat umum sebagai dampak dari globalisasi.
Saya menganggapnya bahwa pandangan teman saya adalah bagian dari budaya pop, budaya berpakaian ketika seseorang akan tampil sebagai penceramah yang diterima umum di kalangan masyarakat. Kehawatiran saya akan pandangan teman saya adalah kalau pemahaman global tentang baju koko warna putih dan sorban adalah lambang "kesalehan" seorang penceramah.
Lebih jauh saya khawatir kalau teman beranggapan bahwa masyarakat bakal tidak meresponi positif pesan-pesan keagamaan kalau yang menyampaikannya bukan dari mereka yang memakai baju koko dan sorban.
Lalu saya bertanya bahwa bukankah ini yang membuat hampir semua penceramah menampilkan pakaian seperti itu sehubungan dengan pandangan teman saya tadi. Dan bukankah pandangan seperti ini lebih jauh bisa dikaitkan dengan industrialisasi baju koko yang menumpang pada jasa budaya pop baju koko tersebut?
Itulah sebabnya era industrialisasi adalah era budaya pop. Industri telah memanfaatkan produk dan jasa budaya pop mulai dari ujung kaki ke ujung rambut. Muncullah industri mode, kecantikan, gosip dll. Bahkan seakan budaya pop telah menjadi ideologi baru, sebuah jalan hidup yang mendoktrin manusia dengan berbagai tawaran gaya hidup yang "memaksa" masyarakat untuk mengikutinya, termasuk budaya pop baju koko di atas.
Industrialisasi Ramadan
Mari melihat kasus gaya beramadan masyarakat dalam kaitan dengan budaya pop. Perilaku sosial yang terlihat dalam masyarakat adalah fenomena untuk menjebak Bulan Ramadan ke dalam efek negatif budaya pop yang menggejala pada masyarakat modern sebagai akibat dari globalisasi hidup. Budaya pop begitu lenturnya bersenyawa dengan kehidupan keberagamaan masyarakat.
Ketika Ramadan tiba, musik-musik pengumbar nafsu tiba-tiba tergantikan dengan musik religi. Sinetron dengan tokoh yang berperilaku sekuler berubah menjadi sosok yang sangat agamis. Gosip tentang kehidupan artis yang punya sisi hidup yang bermasalah dilengkapi dengan gosip tentang ustaz kondang nan gaul.
Singkatnya, ramadan tidak luput dari proses industrialisasi media, gosip sampai fashion. Bisa kita menyaksikan betapa setiap ramadan, hampir semua program televisi mendadak mendapatkan sentuhan religius dan nuansa spiritualitas yang dikemas dalam budaya pop. Misalnya, munculnya "ustaz gaul" yang sengaja diplot untuk mempertahankan selera pasar pemirsa.
Bahkan program yang sangat "sekuler" pun "dipaksakan" untuk islami. Lihat misalnya program take me out yang menjadi ajang pencarian pasangan hidup secara instan dengan penampilan peserta yang sangat seksi, dibuat islami dengan mendatangkan seorang ustaz gaul untuk menasihati mereka atas nama Ramadan. Seakan yang ditonjolkan adalah komoditas dan kemasan Ramadan ketimbang pesan-pesan keagamaan.
Fashion "islami" begitu sangat menggejala pada bulan Ramadan yang juga merupakan kemasan asli "budaya pop". Baju koko begitu sangat laris dengan berbagai motif yang sangat pas dengan selera modern. Bahkan baju muslimah semakin tampak promosinya dengan gaya dan mode yang tetap ingin mempertahankan kemolekan dari pemakainya.
Seakan fashion "islami" tersebut ingin memberi kesan bahwa meskipun anda berpakaian busana muslimah tetapi anda tidak perlu khawatir karena anda akan tetap seksi. Sekali lagi, efek budaya pop adalah kemasan mode yang lebih penting ketimbang fungsi utama dari busana muslimah tersebut.
Gambaran kehidupan dan nuansa Ramadan seperti ini menggejala setiap saat umat Islam menjalankan ibadah Ramadan dari tahun ke tahun. Sisi spritiualitas umat yang seharusnya dipacu hanya menjadi komoditas dan yang terutama adalah aksesoris pendukung kegiatas spiritualitas tersebut berupa budaya pop.
Prilaku konsumtif yang menjadi ciri penting dari efek negatif budaya pop justru semakin menggejala pada bulan Ramadan. Harga barang tiba-tiba meningkat karena ditandai dengan pesanan kebutuhan yang meningkat ketika memasuki Ramadan.
Persentase orang yang datang pada perusahaan pegadaian meningkat secara signifikan ketika memasuki bulan Ramadan. Tentu hal ini bertentangan dengan pesan Ramadan yang salah satu ajaran pentingnya adalah mengontrol diri serta mencoba memaknai kehidupan untuk tidak selalu material oriented.
Terjebaknya gaya beramadan pada budaya pop diperparah oleh keberadaan para mubaliq yang dalam menyampaikan pesan-pesan Ramadan, masih saja berkutat pada bahasan monoton tentang hikmah "puasa". Seakan sudah menjadi rutinitas dari tahun ke tahun untuk pindah dari masjid ke masjid menyuarakan pesan-pesan takwa tersebut tanpa penalaran metodologi dakwah yang baik.
Sebaliknya, mubaliq yang lainnya terjebak pada entertainisasi dakwah dengan menjadikan masjid sebagai arena "hiburan keagamaan" yang tak ubahnya sebagai "pelawak" dengan banyolan-banyolan khas dan cerita-cerita lucu yang sama sekali tidak memberi dampak terhadap perbaikan kehidupan spiritualitas umat.
Pentingnya menyadari gaya beramadan masyarakat yang terjebak pada budaya pop adalah untuk mengoreksi konsekuensi yang ditimbulkan oleh budaya pop itu sendiri. Budaya pop yang tidak terkontrol akan mengakibatkan pandangan bahwa "kulit" bisa saja lebih penting dari isi.
Akibatnya, yang terjadi adalah pergeseran dari sesuatu yang bersifat "inner" ke hal yang berbau "artificial". Mungkin inilah yang bisa menjelaskan mengapa ramadan yang dilakoni setiap tahun hanya memberi kesan rutinitas tahunan dan spiritualitas masyarakat laksana dipacu di atas "treadmill". (**)
http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=68232
Post a Comment