Senin, 23-11-09 | 08:37
MAKASSAR -- Krisis listrik nasional menarik perhatian mantan Wakil Presiden (Wapres) HM Jusuf Kalla. Dia yang menggagas pembangunan pembangkit 10.000 megawatt (MW), berencana berinvestasi di sektor power plant. Rencana besar JK setelah sebulan meninggalkan istana wapres tersebut, diungkapkannya pada konferensi pers di kediaman pribadinya di Jl Haji Bau Makassar, Minggu 22 November.
Sebagai tahap awal, JK mengaku akan membangun pembangkit tenaga hidro di tiga provinsi, yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Di Sulteng, JK akan membangun pembangkit Poso II dengan kapasitas 3 x 65 MW. "Insya Allah 2010 sudah bisa beroperasi," ungkap JK.
Sementara di Sulsel, JK mengatakan akan membangun pembangkit listrik tenaga air di Tana Toraja, tepatnya di aliran Sungai Saddang. Untuk proyek ini, JK yakin akan bisa menghasilkan daya hingga 100 MW. Besaran investasi di Tana Toraja itu menelan anggaran hingga Rp 2 triliun dengan estimasi Rp 20 miliar per MW.
"Sekarang ini sudah dalam tahap persiapan. Sementara di Sultra, saya tidak begitu paham karena itu teknis, dan Ahmad (Ahmad Kalla, red) yang paling tahu," kata JK.
Keputusan JK untuk kembali menekuni dunia bisnis dengan fokus pada sektor kelistrikan, karena dia berkeyakinan bahwa sektor lain tidak akan pernah bertumbuh, bahkan akan jalan di tempat atau malah mundur, jika krisis daya tidak teratasi.
Sebagai gambaran, dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen, pertumbuhan penduduk 1,5 persen, dan pengusaha 3 persen, maka setiap tahunnya dibutuhkan pertumbuhan energi listrik minimal 10 persen atau 3.000 MW per tahun.
Masalahnya, hingga saat ini, mesin-mesin pembangkit yang ada di tanah air saat ini, baru menghasilkan daya sekitar 26.000 MW. Itu pun, 25 persen di antaranya masih berbahan bakar solar yang menyerap pembiayaan hingga 70 persen dari total biaya operasional PLN selaku operator. Sisanya adalah gas, batubara, geothermal serta air.
"Ongkos rata-rata per KWH Rp 1.200, dan dijual Rp 700. Pada 2005 lalu, untuk daya listrik di tanah air itu menghabiskan subsidi antara Rp 60 triliun hingga Rp 90 triliun," ungkapnya.
Menyiasati berlarutnya pembengkakan subsidi tersebut, lanjutnya, tidak bisa tidak harus dilakukan penggantian mesin-mesin pembangkit berbahan bakar minyak.
Karena itu, pada 2006 lalu, dia sebagai wapres mengusulkan membangun pembangkit dengan total daya 10.000 MW secara crash program dengan menggunakan batubara. Kala itu, JK mengaku program 10.000 MW itu dapat tuntas dan beroperasi tahun ini.
Pada saat itu, JK merinci, anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp 110 triliun. Sumbernya, Rp 80 triliun pinjaman PLN dengan jaminan pemerintah, dan Rp 30 triliun dari APBN. Dia juga juga mengaku sampai empat kali berkunjung ke China untuk melobi negara tirai bambu itu agar mau membantu pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara dengan besaran daya 10.000 MW.
Sayang sekali, hal itu terkendala akibat proses penjaminan ke PLN terhambat di Menteri Perekonomian dan Keuangan.
JK menuturkan, pihaknya juga telah berupaya meminta dana dari bank-bank dalam negeri. Namun, itu tidak berlangsung mulus. Untuk di luar Jawa, misalnya, terkendala proses tender yang telat.
Program APBN untuk transmisi dan destruksi seperti trafo, ungkapnya, juga terlambat sehingga over beban dan banyak yang rusak. "Dengan beban besar tanpa cadangan, maka terjadilah pemadaman. Apalagi daya yang kita gunakan selama ini sebenarnya adalah cadangan," katanya.
JK memprediksi, pemadaman baru akan selesai pada kurun waktu 2010-2011. Dengan catatan, program 10.000 MW tahap pertama rampung, dan 10.000 MW tahap kedua dijalankan dengan melibatkan pihak swasta. (asw)
http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=74413
Post a Comment