Minggu, 08 November 2009 10:05 WIB
JAKARTA--MI: Pemerintah diminta dalam Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu ke- II dan jangka lima tahun juga fokus pada kedaulatan energi yang menjadi faktor utama pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak hanya semata soal pasokan listrik.
Demikian diungkapkan pengamat ekonomi dari UGM Revrisond Baswir, serta Sekjen Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA)Yuna Farhan di Jakarta, Minggu (8/11).
Revrisond menjelaskan, masalah kedaulatan energi di Indonesia identik dengan kegagalan pemerintah baik di masa lalu maupun saat ini dalam mengelola sumber energi mulai dari migas, listrik, maupun sumber daya air.
Kedaulatan energi . menurut dia, harus menjadi isu strategis dengan mengagendakan pengembangan kemandirian energi jangka menengah dan panjang, dengan penggalakan effisiensi dan eksplorasi, pengembangan kapasitas instruktur lokal untuk mengurangi ketegantungan terhadap asing.
Revrisond mengemukakan kedaulatan energi sulit akan tercapai jika masalah dasar seperti UU Penanaman Modal yang mengatur soal investasi asing, UU Kelistrikan, UU Migas dan UU SDA masih belum merepresentasikan kemandirian pengelolaan sektor-sektor energi.
Dari sisi legislasi masih sulit diharapkan, karena UU yang ada saat ini sangat proasing sehingga "mengebiri" hak-hak rakyat atas eksplorasi dan ekspoitasi sumber daya energi yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.
Ia menjelaskan, ketentuan kewajiban produsen dalam memasarkan hasil eksplorasi dan ekploitasi yang hanya hingga maksimal 25 persen untuk keperluan dalam negeri membuat industri nasional berhadapan dengan ekonomi biaya tinggi.
Menurut catatan, cadangan minyak Indonesia diperkirakan sekitar 3,9 miliar barel dengan cadangan potensial 4,4 miliar barel, atau total mencapai 8,4 miliar barel.
Sementara itu, cadangan gas alam diperkirakan 106,01 triliun kaki kubik dengan cadangan potensial 58,98 triliun kaki kubik. Dengan persediaan migas sebesar itu, Indonesia bisa menjadi pemasok 0,4 persen minyak dunia dan 1,7 persen kebutuhan gas dunia.
Akibatnya, tidak masuk akal produksi migas Indonesia harus memenuhi kontrak ekspor ke luar negeri seperti Jepang, China dan sejumlah negara besar lainnya sementara industri dalam negeri harus terpuruk karena ketiadaan pasokan.
Karena itu ujar Revrisond, dalam kondisi seperti itu, pemerintah seharusnya tidak berkutat pada jargon program 100 hari, tetapi bagaimana mampu membalikkan keadaan sehingga sektor energi menjadi basis peningkatan kesejahteraan rakyat yang berazas keadilan. (Ant/OL-02)
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/11/08/104556/4/2/Kedaulatan-Energi-harus-Jadi-Fokus-Jangka-Panjang
Post a Comment