Sabtu, 26 Desember 2009 | 02:51 WIB
Hermas E Prabowo
China kini memiliki pembangkit listrik tenaga angin dan terus mengembangkannya. Lokasinya berada sekitar 70 kilometer arah barat daya Beijing, tepatnya di dekat Bendungan Guanting.
Pembangkit listrik tenaga angin tersebut dilengkapi 33 turbin, masing-masing memiliki kapasitas produksi 1,5 megawatt.
Soal pembangunan infrastruktur dasar untuk mendukung kegiatan industri, China memang tidak pernah main-main. Komitmen China untuk terus menumbuhkan ekonomi berbasis industri benar-benar diwujudkan.
Industri menjadi lokomotif penggerak roda perekonomian China, dan kebutuhan industri terhadap listrik harus dipenuhi.
Pembangunan konstruksi pembangkit listrik tenaga angin itu telah dilakukan pada musim panas 2007 dan Januari 2008. ”Anggaran yang dibutuhkan 540 juta yuan,” kata Deputi Direktur Pembangkit Tang Xiao pekan kedua November 2009.
Pada awal pembangunan, kapasitas produksi listrik tenaga angin 10 gigawatt. Namun, 12 tahun kemudian (2020), China menargetkan kapasitas produksi meningkat delapan kali lipat, bahkan bisa 100 gigawatt.
Dari kapasitas produksi yang ada, produksi riil pembangkit listrik tenaga angin memang baru 49,5 megawatt. Namun, pada pembangunan tahap II ditingkatkan menjadi 150 megawatt.
Tang Xiao menyatakan, konsumsi energi listrik China 4 triliun kilowatt. Dari total kebutuhan itu, 20 persen terserap untuk kota Beijing. ”Keberadaan pembangkit listrik tenaga angin ini menunjukkan kepedulian China terhadap kelestarian lingkungan,” katanya.
Peningkatan permintaan listrik tidak terelakkan, apalagi perekonomian China terus berkembang. Di sisi lain China dihadapkan pada masalah kelestarian lingkungan karena bahan baku energi di China selama ini banyak menggunakan batu bara.
Pembangkit listrik tenaga angin terbukti keandalannya. Tahun 2008 perhelatan olimpiade di Beijing, 20 persen kebutuhan listriknya dipasok dari pembangkit listrik tenaga angin.
Keberadaan pembangkit listrik tenaga angin bagi China tidak saja bukti mereka mampu memproduksi listrik dengan sumber daya ramah lingkungan, tetapi juga menunjukkan tidak ada hal yang tidak mungkin diraih apabila memiliki kemauan.
Tekanan internasional
Dalam kondisi ekonomi global sedang ambruk seperti sekarang, pertumbuhan ekonomi China tetap lebih baik. Produk manufaktur China menjelajah dunia. Negara industri maju, seperti Amerika Serikat, negara Eropa, Jepang, dan negara industri lainnya, merasa terancam oleh ekspansi produk China.
Di tengah daya beli masyarakat dunia yang tertekan akibat krisis global, produk China semakin diminati. Untuk memenuhi kebutuhan pasar, China harus menyiapkan infrastruktur dasarnya, termasuk energi listrik, yang menjadi ”nyawa” bagi mesin-mesin produksi.
Namun, China tidak melenggang dengan ”aman”. Kritik dari negara-negara maju terus dilontarkan, terutama terkait lingkungan. China adalah negara penghasil emisi karbon terbesar kedua setelah AS. Desakan agar China menurunkan emisi karbon terus dilontarkan.
Penambahan kapasitas pembangkit listrik akan memaksa China memanfaatkan batu bara, yang teknologinya mereka kuasai dan biaya produksinya murah. Namun, listrik bersumber batu bara sangat mencemari udara. Jika itu dipaksakan, China akan mendapat tekanan luar biasa dari negara-negara maju.
Data Energi Research Institute China menunjukkan, konsumsi batu bara China untuk energi mencapai 77 persen. Ini menempatkan China sebagai negara terbesar kedua yang memproduksi emisi karbon.
Peningkatan kapasitas produksi listrik berbasis batu bara jelas menimbulkan reaksi dunia internasional. China akan dianggap tak peduli terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan.
Memang, pada 2005 Pemerintah China mengeluarkan kebijakan agar semua pembangkit listrik menggunakan teknologi yang efisien. Ini dikenal dengan super critical coal fire technology. Sebanyak 553 pembangkit listrik tenaga batu bara yang tidak efisien dengan kapasitas produksi 14,4 gigawatt tahun 2007 ditutup. Itu belum cukup.
Menurut Bai Quan, peneliti di Energy Research Institute China, negeri itu ingin mengembangkan sumber energi yang ramah lingkungan. Pilihannya, pembangkit listrik tenaga angin, biomassa, dan hidro karbon.
Selain itu, dalam bidang energi photovoltaics, China penghasil listrik terbesar setelah Jepang, dengan produksi listrik 820 megawatt (2007).
Belum efisien
Bai Quan menyatakan, tahun 2010 China menargetkan peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga angin hingga 190 TW, pembangkit tenaga listrik tenaga angin 500 gigawatt, dan biomassa 5,5 gigawatt. Sepuluh tahun berikutnya, kapasitas pembangkit listrik tenaga hidro ditingkatkan jadi 300 TW dan biomassa menjadi 30 gigawatt.
China tidak main-main dalam pengembangan pembangkit listrik ramah lingkungan. Saat berkunjung ke pembangkit listrik tenaga angin bersama rombongan Lead (Leadership for Environment and Development) dalam pelatihan kepemimpinan terkait perubahan iklim global sesi internasional di Beijing November 2009, Kompas melihat pembangkit listrik milik pemerintah itu dikelola dengan baik.
Dari ruangan berukuran 10 x 10 meter, semua gerak turbin dipantau melalui layar monitor. Begitu ada masalah, sinyal akan menyala. Rata-rata tiap turbin menghasilkan 1,5 megawatt.
Meski mampu membangun pembangkit listrik tenaga angin, harga jual tarif dasar listrik masih relatif lebih mahal dari pembangkit listrik berbahan baku batu bara. Namun, dalam jangka panjang diyakini lebih murah.
Meski belum efisien, China telah memulai langkah besar dalam pembangunan pembangkit listrik terbarukan. China percaya mampu memenuhi kebutuhan energi listrik bagi industrinya. Bagaimana Indonesia?
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/26/02512855/energi.terbarukan.solusi.bagi.masa.depan
Post a Comment