Rabu, 9 Desember 2009 | 00:28 WITA
PEMBANGUNAN di kawasan pusat kota kian merebak. Tidak sedikit yang menyatakan pembangunan di Kota Kupang demikian pesat. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak pusat-pusat perbelanjaan, baik dalam bentuk mal, rumah toko dan lain sebagainya.
Kondisi ini agak berbeda dengan pembangunan di kawasan pinggiran Kota Kupang. Pembangunan di kawasan pinggiran terlupakan. Atau dengan kata lain, terpinggirkan.
Beberapa daerah yang berada di kawasan pinggiran seperti Fatukoa, Naioni, Bello, Manulai II. Meski menjadi bagian dari Kota Kupang, wilayah itu lebih layak disebut kampung. Terisolir. Akses transportasi sangat sulit karena tidak ada angkutan umum. Satu-satunya kendaraan yang bisa memobilisasi warga hanyalah ojek. Warga juga sulit mengakses kesehatan dan pendidikan. Fasilitas kesehatan sangat minim, tenaga kesehatan pun jarang ditemui di puskesmas maupun puskesmas pembantu. Warga hanya mendapat pelayanan kesehatan apa adanya. Jika penyakitnya parah maka harus dibawa ke rumah sakit yang jaraknya agak jauh.
Akses pendidikan juga demikian. Untuk mengenyam pendidikan sekolah dasar, anak-anak harus rela berjalan kaki beberapa kilometer. Tentunya, dengan kondisi capek dan letih anak-anak akan tidak nyaman mengikuti kegiatan belajar mengajar. Pelayanan kebutuhan dasar warga seperti air bersih dan penerangan (listrik) juga belum terpenuhi untuk warga yang menetap di daerah pinggiran.
Kita harus jujur mengakui bahwa pembangunan daerah pinggiran Kota Kupang sangat lambat. Sangat berbeda dengan kelurahan- kelurahan yang ada di dalam kawasan kota. Tidak heran kalau warga di daerah pinggiran tidak merasakan perubahan yang berarti semenjak mereka berpisah dari Kabupaten Kupang. Padahal, setiap tahun warga selalu mengusulkan berbagai hal melalui forum musrenbang.
"Kami berharap setelah bergabung dengan Kota Kupang sentuhan pembangunan akan lebih terasa, ternyata tidak," kata Terianus Penun, Ketua RW 10, Kelurahan Naioni.
Terkait dengan kondisi yang terjadi di kawasan pinggiran kota, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang sangat diperlukan oleh penduduk kawasan pinggiran adalah, pertama, kelancaran transportasi, frekuensi cukup dan biayanya terjangkau untuk memudahkan mobilitas mereka.
Kedua, kondisi pemukiman yang baik, tergambar dari kondisi jalan lingkungan yang baik, drainase yang baik agar tidak tergenang banjir, fasilitas air bersih dan sanitasi.
Ketiga, adanya fasilitas kota yang relatif mudah menjangkaunya, yaitu fasilitas pendidikan, kesehatan, pasar dan rumah ibadah. Dengan adanya transportasi yang baik maka soal jarak yang agak jauh tidak terlalu menjadi persoalan.
Ketiga faktor pendukung ini terdapat juga di kawasan pinggiran tetapi tingkat pelayanannya tidak akan sama dengan kawasan pusat kota.
Berangkat dari kondisi ini, kita mengharapkan agar Pemerintah Kota Kupang mengarahkan fokus perhatian meningkatkan pembangunan kawasan pinggiran. Tentunya, sejalan dengan pendapat sejumlah anggota DPRD Kota Kupang juga menyuarakan agar pembangunan lebih diarahkan kepada daerah pinggiran.
Selain menghindari polemik, upaya itu juga untuk menghindari terjadinya kesenjangan pembangunan yang cukup besar antara kawasan pusat kota dan daerah pinggiran.
Semestinya, setelah mengetahui adanya kesenjangan pembangunan antara kawasan kota dan kawasan pinggiran, tentu pemerintah Kota Kupang harus menyusun program aksi untuk mengurangi kesenjangan. Sesungguhnya diperlukan political will untuk mengurangi kesenjangan pembangunan agar warga daerah pinggiran tidak merasa dianaktirikan.
Apakah program pengurangan kesenjangan ini akan muncul pada program 2010? Mari sama-sama kita nantikan. Kalau tidak ada, berarti wacana pembangunan daerah pinggiran hanya sebatas lips service eksekutif dan legislatif.*
http://www.pos-kupang.com/read/artikel/40191/mengurangi-kesenjangan-pembangunan

Post a Comment