Para pemimpin Amerika konsisten memandang minyak sebagai masalah keamanan.
"Orang Amerika kecanduan minyak, yang sering diimpor dari paruh dunia yang tak stabil," kata Presiden George Walker Bush dalam pidato kenegaraannya di depan Kongres Amerika Serikat, Selasa pekan lalu.
Pemecahannya, kata Bush dengan yakin, adalah mengembangkan teknologi yang mampu menciptakan sumber-sumber energi alternatif yang lebih bersih, lebih murah, dan lebih layak. Menurut Bush, negara yang rakus minyak itu telah menghabiskan US$ 10 miliar sejak 2001 untuk pengembangan energi ini.
Janji semacam ini tidaklah baru. Presiden Richard Nixon pada 1971 juga pernah menjanjikan Amerika akan berswasembada energi pada 1980. Pada 1979, Presiden Jimmy Carter berbual-bual bahwa negeri itu "tak akan pernah lagi memakai lebih banyak minyak asing daripada yang kita lakukan pada 1977".
Meski janji para presiden tersebut sudah hampir empat dekade usianya, ketergantungan Amerika pada minyak tetap saja tinggi. Pada 1973, negara adidaya itu mengisap 17,3 juta barel minyak per hari. Kini, angka itu mencapai 20,6 juta barel minyak per hari. Persentase minyak impor juga meningkat lebih tajam pada periode ini, dari hampir 35 persen ke 60 persen.
Amerika adalah negara penghasil minyak terbesar, tapi juga konsumen terbesar. Pada 2002, misalnya, Amerika memproduksi 9 juta barel minyak per hari. Jumlah ini hampir separuh produksi negara-negara di Timur Tengah yang mencapai 21,5 juta barel per hari, tapi lebih besar dari produksi Eropa Barat, yang mencapai sekitar 7 juta barel per hari.
Tapi di tahun yang sama Amerika adalah negara konsumen terbesar dengan mengkonsumsi sekitar 19,7 juta barel per hari. Jumlah ini melebihi total konsumsi negara-negara Eropa Barat, yang 14,8 juta barel per hari, dan mendekati total konsumsi negara-negara Asia dan Oseania, yang 21,53 juta barel per hari.
Bush juga mengatakan bahwa rencananya dengan teknologi baru itu akan, "Menolong kita mencapai tujuan lain: mengganti lebih dari 75 persen impor minyak kita dari Timur Tengah pada 2025."
Menurut data Departemen Energi Amerika Serikat, impor minyak mentah Amerika dari Teluk Persia--meliputi Bahrain, Iran, Irak, Kuwait, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab--mencapai rata-rata 2,5 juta barel per hari pada 2004 dan 2,3 juta barel per hari pada 2005. Jumlah itu sekitar 20 persen total impor Amerika. Sedangkan 40 persennya diimpor dari negara-negara OPEC.
Meskipun memaksakan pelarangan dan embargo, pemerintah Amerika hanya punya sedikit kemampuan untuk mencegah perusahaan-perusahaan membeli minyak dari negara lain.
Pejabat-pejabat Gedung Putih mengakui bahwa rencana mereka itu seharusnya tak perlu mengurangi impor dari Timur Tengah karena penentuannya sesuai dengan kondisi pasar dan bukan keputusan Amerika.
Bagaimanapun pasar minyak dunia itu saling bergantung. Walaupun seandainya Amerika Serikat berhenti membeli minyak dari negara-negara di Timur Tengah, gangguan dalam aliran minyak Timur Tengah ke negara-negara lain akan berdampak pada harga di Amerika.
Namun, secara diplomatis, ambisi Bush untuk mengganti 75 persen impor minyak dari Timur Tengah itu telah membuat Arab Saudi, penyuplai minyak utama Amerika di Teluk Persia, agak tersinggung. Pangeran Turki al-Faisal, Duta Besar Arab Saudi untuk Washington, mengatakan bahwa dia akan menanyakan kepada pemerintah Bush, "Apa yang sebenarnya dia maksud dengan berkata begitu?"
Sementara itu, para anggota senat di Capitol Hill tak begitu antusias menanggapi rencana Bush ini. Orang-orang Demokrat mengatakan bahwa Bush telah menentang target-target pengurangan minyak asing dalam anggaran energi tahun lalu, Adapun kaum Republiken mempertanyakan kepraktisan dari pemanfaatan etanol dan energi alternatif lainnya.
Editorial New York Times pada Rabu pekan lalu menulis bahwa ketergantungan berlebihan Amerika terhadap minyak telah menjadi bencana bagi kebijakan luar negerinya. Hal itu telah memperlemah pengaruh internasional dan memberi kekuasaan pada negara yang salah.
Media besar di Amerika itu mencontohkan soal permintaan Bush agar bangsa-bangsa di dunia tak boleh mengizinkan rezim Iran membuat senjata nuklir. Namun, seruan itu membentur tembok tebal, mengingat betapa tergantungnya bangsa-bangsa tersebut terhadap minyak Teheran.
Michael Klare, pengarang Blood and Oil: The Dangers and Consequences of America's Growing Dependency on Imported Petroleum, dalam sebuah diskusi tentang bukunya itu di Carnegie Council, New York, pada 2004 memaparkan bahwa bagi pemimpin Amerika, minyak adalah soal ekonomi dan keamanan.
Direktur Five College Program in Peace and World Securities di Hampshire College, Amherst, Amerika Serikat, itu menyatakan bahwa para pemimpin Amerika secara konsisten memandang minyak sebagai masalah keamanan yang harus dilindungi dengan kekuatan senjata bila perlu.
Inilah, katanya, fondasi doktrin Truman, Eisenhower, penerapan doktrin Nixon di Timur Tengah, dan secara eksplisit terlihat pada doktrin Carter, yang mengidentifikasi minyak Teluk Persia sebagai kepentingan vital Amerika.
Presiden berikutnya, Ronald Reagan, kata Klare, menerapkan doktrin Carter itu dengan mengibarkan kembali bendera tanker Kuwait selama perang Iran-Irak dan menggunakan angkatan lautnya untuk mengawal tanker Kuwait keluar-masuk Teluk Persia, yang berujung pada pertengkaran dengan Iran dan mendasari permusuhan Iran dengan Amerika.
Hal ini diteruskan oleh Presiden Bush senior pada 1990 dengan mengirimkan tentaranya untuk melindungi minyak Arab Saudi dan Kuwait. "Sejarawan mendatang akan menyimpulkan bahwa perang Irak pada 2003 tak lebih dari lanjutan dari perang yang dimulai pada 1990," kata Klare.
Politik minyak ini diperluas oleh Presiden Bush junior dengan mengglobalkan doktrin Carter ini dengan menerapkannya pada semua kawasan tempat Amerika menggantungkan kebutuhan minyaknya.
Laut Kaspia menjadi kawasan pertamanya. Ada penasihat militer Amerika di Republik Georgia yang membantu tentara Georgia melindungi jalur pipa minyak dari Laut Kaspia ke Ceyhan di Turki. Basis militer permanen Amerika dibangun di Azerbaijan dan Kazakhstan, melengkapi pendahulunya di Uzbekistan dan Kirgizstan.
Amerika Latin kemudian juga menjadi perhatian. Tentara Amerika memberi perlindungan yang sama di Kolombia untuk menjaga pipa Cano-Limon yang mengambil minyak dari tambang timur ke timur laut menuju laut Karibia.
Tampaknya, ke mana pun mata memandang, tentara Amerika ada di sana untuk menjamin pasokan minyaknya aman. IWANK | WASHINGTON POST | NEW YORK TIMES | ENERGY.GOV
Post a Comment