Tiap kita berpikir ihwal kualifikasi seorang guru, kita sebenarnya sedang berharap seperti itulah kualifikasi minimal yang semestinya dimiliki seorang pemimpin: punya standar kognisi (intelektual) dan afeksi (perilaku dan sikap) di atas rata-rata.
Guru secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta, "gur-u'", yang berarti mulia, bermutu, memiliki kehebatan, dan orang yang sangat dihormati karena kewaskitaannya. Dalam khazanah Jawa Kuno dikenal sejumlah istilah yang menempel pada kata "guru": guru desa (kamitua desa yang mumpuni dalam dunia spiritual), guru hyan (guru rohani), guru loka (pejabat agama di istana), dan guru pitara (mendiang moyang yang patut dimuliakan karena kewaskitaannya).
Kata "gur-u'" kemudian bertemu dengan kata "'as", sebuah kata yang dalam bahasa Sanskerta berarti mengajar. Saat itulah kata "guru" juga bermakna mengajar. Itu juga dengan prasyarat: guru tetap harus memiliki sikap mulia seperti yang dibebankan oleh kata "gur-u'".
Seorang pengajar bisa disebut baik jika murid-muridnya berhasil mendapat nilai bagus di kelas. Tapi seorang guru yang baik selalu dituntut mampu melahirkan manusia-manusia yang baik, bukan sekadar murid yang pintar. Guru dituntut tak hanya mampu "menggarap" kognisi (rasio-logika), tapi juga afeksi (rasa, cipta, karsa, dan sikap).
Karena itu, dalam sejarah kesadaran kita atau dalam ekspektasi kita, guru mesti memiliki kualifikasi yang melampaui sekadar penguasaan pelajaran (kognisi), tapi juga memenuhi prasyarat untuk menjadi pemimpin yang baik: mampu mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang baik, dan mampu memberi teladan. Kualitas itulah yang kita rindukan dari mereka yang diberkahi sebutan pemimpin.
Tak ada yang lebih pas untuk merumuskan peran macam itu selain istilah "guru", tidak "teacher" atau "lecture". Itu sebabnya, "guru" kerap dipanjangkan sebagai "digugu dan ditiru". Jadi jangan heran jika peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari hanya ada di sini atau di tempat "guru" tak hanya dimengerti semata sebagai "teacher".
Itu pula yang menyebabkan di sini guru (pernah) diposisikan sebagai "manusia suci", semacam resi, yang selain pintar, punya laku tulus nan asketis. Saya kira inilah yang menjadi penyebab kenapa kita seperti kurang serius memikirkan kesejahteraan para guru, karena memang (pernah) tertanam kesadaran bahwa seorang guru itu hidup sederhana dan tulus. (Bandingkan risiko jadi guru dengan risiko jadi pemimpin, seperti yang pernah dinyatakan Agoes Salim: "Memimpin adalah juga menderita".)
Di sini muncul dilema. Kita sepakat, sudah sepantasnya guru mempunyai penghidupan dan penghasilan gaji yang baik. Tapi, jika guru sudah mempunyai kehidupan yang layak, taruhlah laiknya pegawai bank, kita khawatir banyak orang ingin menjadi guru karena semata tergiur penghasilannya yang memadai, bukan karena panggilan hati menjadi pendidik. Kita khawatir guru dimengerti semata sebagai profesi, yang tak ada bedanya dengan profesi sekretaris atau arsitek, misalnya.
Kita hanya perlu membaca kembali sejarah Indonesia untuk mengetahui bagaimana peran sosial dan historis para guru dalam proyek besar mencapai kemerdekaan.
Para guru di masa pergerakan, terutama mereka yang mengajar di sekolah partikelir, mempunyai peran signifikan. Banyak cerita yang bisa kita dengar ihwal peran guru-guru sekolah partikelir itu. Dari beberapa tulisan Pramoedya, misalnya, seperti dalam novelet Bukan Pasar Malam dan kumpulan cerita pendek Cerita dari Blora, kita tahu bagaimana aktivitas ayahnya di Sekolah Dasar Boedi Oetomo tidak hanya dalam mengajar murid-muridnya, tapi juga dalam organisasi pergerakan.
Pemerintah kolonial akhirnya menyadari watak subversif sekolah partikelir. Pada September 1932, dilansir Wilden Scholen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar), yang melarang beroperasinya sekolah-sekolah yang didirikan tanpa izin. Apa yang dilakukan ayah Pram bukan kasus unik. Jika kita membaca riwayat hidup para pemimpin di masa awal lahirnya Indonesia, kita akan menyadari betapa banyak di antara mereka yang ternyata seorang guru, setidaknya pernah menjadi guru.
Soekarno, semasa ditahan di Bengkulu, mengajari anak-anak di sana sejumlah mata pelajaran, dari berhitung, bahasa Belanda, hingga sejarah. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir secara intensif dan teratur menjadi guru anak-anak di lingkungan rumah tahanan mereka. Keduanya tak hanya memberi pelajaran formal, tapi juga nonformal, seperti pendidikan politik diam-diam, di antaranya dengan mengecat perahu dengan warna merah-putih dan diajari menyanyi lagu-lagu perjuangan.
Dari kelompok "kiri", Semaoen, Alimin, hingga Tan Malaka juga mempunyai pengalaman sebagai guru. Tan Malaka bahkan pernah menjadi kepala sekolah di sebuah kawasan perkebunan di Sumatera Timur dan menjadi guru nyaris di semua tempat pelariannya di luar negeri. Momen sebagai guru itu bahkan menjadi metanoia, semacam pencerahan yang tuntas, bagi Tan Malaka. Selama mengajar perkebunan kolonial, Tan Malaka menyaksikan bagaimana orang-orang pribumi yang bekerja di perkebunan itu sungguh-sungguh diperlakukan tak selayaknya manusia. Pemahaman sosial itu menyebabkan Tan Malaka menceburkan diri ke dunia pergerakan dan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia, yang lantas ditugasi mengelola sekolah partai yang masyhur sebagai Sekolah Tan Malaka.
Dari militer, Soedirman dan Nasution juga mempunyai pengalaman sama. Jenderal Soedirman selama kurang-lebih lima tahun menjadi kepala sekolah di Sekolah Dasar Muhammadiyah di Cilacap sebelum bergabung dengan Peta. Nasution pun menjadi guru di Bengkulu pada 1938 dan di Palembang pada 1939-1950 sebelum menjadi tentara KNIL. Daftar pemimpin Indonesia yang menjadi guru bisa sangat panjang jika satu per satu disebutkan di sini, seperti Ki Hadjar Dewantara, Ir Djuanda, atau Ratulangie (Daniel Dhakidae pernah menulis dengan memikat kualitas guru dalam diri Ratulangie).
Dengan inteligensi (kognisi) di atas rata-rata dan sikap hidup (afeksi) yang tulus mengabdi pada cita-cita kemerdekaan (yang sering dipantik oleh pengalaman sosial, seperti Tan Malaka), tak mengherankan jika Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan lain-lain dengan mudah bertukar tempat dari seorang guru menjadi pemimpin massa. Jika dalam ruangan mereka mengajar mata pelajaran berhitung, membaca, dan menulis, di lapangan pergerakan mereka mendidik kesadaran rakyat akan pentingnya kemerdekaan.
Dengan struktur kesadaran semacam itu, tak aneh jika di Indonesia, istilah the founding fathers dengan mudah dipertukarkan begitu saja dengan istilah "guru bangsa". Jangan heran juga jika George Washington atau Thomas Jefferson di Amerika hanya disebut sebagai the founding fathers dan tak pernah disebut "guru bangsa", karena istilah guru bangsa, sepengetahuan saya, tak tercetak dalam struktur kesadaran bangsa Amerika.
Dengan kualifikasi guru seperti yang sudah saya jelentrehkan, setiap guru yang baik sebenarnya adalah bidan yang bisa melahirkan pemimpin yang baik. Dengan alur pikir macam ini, kita bisa mengajukan pertanyaan lanjutan: jika sekarang kita mengalami krisis kepemimpinan, mungkinkah ini menandakan kita sedang mengalami krisis guru yang baik? Ataukah sedang terjadi transformasi dalam kesadaran kita ihwal arti dan posisi guru menjadi tak lebih sebagai pengajar?
By: Zen Rachmat Sugito (Penulis, tinggal di Yogyakarta)
Guru secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta, "gur-u'", yang berarti mulia, bermutu, memiliki kehebatan, dan orang yang sangat dihormati karena kewaskitaannya. Dalam khazanah Jawa Kuno dikenal sejumlah istilah yang menempel pada kata "guru": guru desa (kamitua desa yang mumpuni dalam dunia spiritual), guru hyan (guru rohani), guru loka (pejabat agama di istana), dan guru pitara (mendiang moyang yang patut dimuliakan karena kewaskitaannya).
Kata "gur-u'" kemudian bertemu dengan kata "'as", sebuah kata yang dalam bahasa Sanskerta berarti mengajar. Saat itulah kata "guru" juga bermakna mengajar. Itu juga dengan prasyarat: guru tetap harus memiliki sikap mulia seperti yang dibebankan oleh kata "gur-u'".
Seorang pengajar bisa disebut baik jika murid-muridnya berhasil mendapat nilai bagus di kelas. Tapi seorang guru yang baik selalu dituntut mampu melahirkan manusia-manusia yang baik, bukan sekadar murid yang pintar. Guru dituntut tak hanya mampu "menggarap" kognisi (rasio-logika), tapi juga afeksi (rasa, cipta, karsa, dan sikap).
Karena itu, dalam sejarah kesadaran kita atau dalam ekspektasi kita, guru mesti memiliki kualifikasi yang melampaui sekadar penguasaan pelajaran (kognisi), tapi juga memenuhi prasyarat untuk menjadi pemimpin yang baik: mampu mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang baik, dan mampu memberi teladan. Kualitas itulah yang kita rindukan dari mereka yang diberkahi sebutan pemimpin.
Tak ada yang lebih pas untuk merumuskan peran macam itu selain istilah "guru", tidak "teacher" atau "lecture". Itu sebabnya, "guru" kerap dipanjangkan sebagai "digugu dan ditiru". Jadi jangan heran jika peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari hanya ada di sini atau di tempat "guru" tak hanya dimengerti semata sebagai "teacher".
Itu pula yang menyebabkan di sini guru (pernah) diposisikan sebagai "manusia suci", semacam resi, yang selain pintar, punya laku tulus nan asketis. Saya kira inilah yang menjadi penyebab kenapa kita seperti kurang serius memikirkan kesejahteraan para guru, karena memang (pernah) tertanam kesadaran bahwa seorang guru itu hidup sederhana dan tulus. (Bandingkan risiko jadi guru dengan risiko jadi pemimpin, seperti yang pernah dinyatakan Agoes Salim: "Memimpin adalah juga menderita".)
Di sini muncul dilema. Kita sepakat, sudah sepantasnya guru mempunyai penghidupan dan penghasilan gaji yang baik. Tapi, jika guru sudah mempunyai kehidupan yang layak, taruhlah laiknya pegawai bank, kita khawatir banyak orang ingin menjadi guru karena semata tergiur penghasilannya yang memadai, bukan karena panggilan hati menjadi pendidik. Kita khawatir guru dimengerti semata sebagai profesi, yang tak ada bedanya dengan profesi sekretaris atau arsitek, misalnya.
Kita hanya perlu membaca kembali sejarah Indonesia untuk mengetahui bagaimana peran sosial dan historis para guru dalam proyek besar mencapai kemerdekaan.
Para guru di masa pergerakan, terutama mereka yang mengajar di sekolah partikelir, mempunyai peran signifikan. Banyak cerita yang bisa kita dengar ihwal peran guru-guru sekolah partikelir itu. Dari beberapa tulisan Pramoedya, misalnya, seperti dalam novelet Bukan Pasar Malam dan kumpulan cerita pendek Cerita dari Blora, kita tahu bagaimana aktivitas ayahnya di Sekolah Dasar Boedi Oetomo tidak hanya dalam mengajar murid-muridnya, tapi juga dalam organisasi pergerakan.
Pemerintah kolonial akhirnya menyadari watak subversif sekolah partikelir. Pada September 1932, dilansir Wilden Scholen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar), yang melarang beroperasinya sekolah-sekolah yang didirikan tanpa izin. Apa yang dilakukan ayah Pram bukan kasus unik. Jika kita membaca riwayat hidup para pemimpin di masa awal lahirnya Indonesia, kita akan menyadari betapa banyak di antara mereka yang ternyata seorang guru, setidaknya pernah menjadi guru.
Soekarno, semasa ditahan di Bengkulu, mengajari anak-anak di sana sejumlah mata pelajaran, dari berhitung, bahasa Belanda, hingga sejarah. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir secara intensif dan teratur menjadi guru anak-anak di lingkungan rumah tahanan mereka. Keduanya tak hanya memberi pelajaran formal, tapi juga nonformal, seperti pendidikan politik diam-diam, di antaranya dengan mengecat perahu dengan warna merah-putih dan diajari menyanyi lagu-lagu perjuangan.
Dari kelompok "kiri", Semaoen, Alimin, hingga Tan Malaka juga mempunyai pengalaman sebagai guru. Tan Malaka bahkan pernah menjadi kepala sekolah di sebuah kawasan perkebunan di Sumatera Timur dan menjadi guru nyaris di semua tempat pelariannya di luar negeri. Momen sebagai guru itu bahkan menjadi metanoia, semacam pencerahan yang tuntas, bagi Tan Malaka. Selama mengajar perkebunan kolonial, Tan Malaka menyaksikan bagaimana orang-orang pribumi yang bekerja di perkebunan itu sungguh-sungguh diperlakukan tak selayaknya manusia. Pemahaman sosial itu menyebabkan Tan Malaka menceburkan diri ke dunia pergerakan dan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia, yang lantas ditugasi mengelola sekolah partai yang masyhur sebagai Sekolah Tan Malaka.
Dari militer, Soedirman dan Nasution juga mempunyai pengalaman sama. Jenderal Soedirman selama kurang-lebih lima tahun menjadi kepala sekolah di Sekolah Dasar Muhammadiyah di Cilacap sebelum bergabung dengan Peta. Nasution pun menjadi guru di Bengkulu pada 1938 dan di Palembang pada 1939-1950 sebelum menjadi tentara KNIL. Daftar pemimpin Indonesia yang menjadi guru bisa sangat panjang jika satu per satu disebutkan di sini, seperti Ki Hadjar Dewantara, Ir Djuanda, atau Ratulangie (Daniel Dhakidae pernah menulis dengan memikat kualitas guru dalam diri Ratulangie).
Dengan inteligensi (kognisi) di atas rata-rata dan sikap hidup (afeksi) yang tulus mengabdi pada cita-cita kemerdekaan (yang sering dipantik oleh pengalaman sosial, seperti Tan Malaka), tak mengherankan jika Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan lain-lain dengan mudah bertukar tempat dari seorang guru menjadi pemimpin massa. Jika dalam ruangan mereka mengajar mata pelajaran berhitung, membaca, dan menulis, di lapangan pergerakan mereka mendidik kesadaran rakyat akan pentingnya kemerdekaan.
Dengan struktur kesadaran semacam itu, tak aneh jika di Indonesia, istilah the founding fathers dengan mudah dipertukarkan begitu saja dengan istilah "guru bangsa". Jangan heran juga jika George Washington atau Thomas Jefferson di Amerika hanya disebut sebagai the founding fathers dan tak pernah disebut "guru bangsa", karena istilah guru bangsa, sepengetahuan saya, tak tercetak dalam struktur kesadaran bangsa Amerika.
Dengan kualifikasi guru seperti yang sudah saya jelentrehkan, setiap guru yang baik sebenarnya adalah bidan yang bisa melahirkan pemimpin yang baik. Dengan alur pikir macam ini, kita bisa mengajukan pertanyaan lanjutan: jika sekarang kita mengalami krisis kepemimpinan, mungkinkah ini menandakan kita sedang mengalami krisis guru yang baik? Ataukah sedang terjadi transformasi dalam kesadaran kita ihwal arti dan posisi guru menjadi tak lebih sebagai pengajar?
By: Zen Rachmat Sugito (Penulis, tinggal di Yogyakarta)
Post a Comment