Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Reposisi Sejarah Soetan Sjahrir

Sementara Tan Malaka menjadi legenda dan misteri karena sepanjang hidupnya memang selalu nyaris berada "di bawah tanah", Soetan Sjahrir (meninggal pada 8 April 1966) tetap menjadi teka-teki, barangkali karena ia selalu berdiri tegak "di atas tanah", "di tengah pentas", dengan sikap yang tenang dan sabar di tengah arus zaman yang justru sedang tergesa-gesa dan tak sabar! Budayawan Goenawan Mohamad pernah mendeskripsikan Sjahrir persis seperti yang saya maksudkan. Sjahrir, kata Goenawan, dengan memungut analogi dari permainan bulu tangkis, "Menyerang, mengkritik, tapi pukulannya bukan smash. Dia seorang pemain rally yang pelan, cermat."
Sejarah mencatat, Sjahrir menjadi perdana menteri pertama dengan Amir Syarifuddin sebagai Menteri Pertahanan. Tapi mereka akhirnya bersimpang jalan, dan final ketika Amir makin radikal setelah kedatangan Musso pada Agustus 1948, karena Sjahrir memang tak pernah goyah oleh godaan sentimentalitas revolusioner golongan komunis yang sering, dalam kata-kata Sjahrir sendiri, "Menghancurkan dalam diri mereka sendiri jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan untuk menghargai kemanusiaan dan martabat manusia."
Sjahrir tentu belajar dari apa yang dilakukan Stalin dengan Gulag-nya. Dan itulah sebabnya ia kukuh berdiri: sosialismenya adalah sosialisme yang percaya atas martabat manusia. Itulah yang menurut dia menjadi inti "sosialisme kerakyatan", istilah yang kemudian dipelesetkan menjadi "soska" alias sosialis kanan, pelesetan yang ditujukan kepada Sjahrir yang (terutama oleh komunis dan para revolusioner dari kelompok pemuda) dinilai sebagai sosialisme malu-malu, sosialisme yang kompromistis, kebarat-baratan.
Sjahrir, tentu saja, akhirnya menjadi tak populer, tidak hanya di mata golongan kiri radikal (baik komunis maupun faksinya Tan Malaka), tapi juga di mata kebanyakan tentara (dengan wakil Soedirman) dan juga para pemuda yang tak sabar. Salah satu penyebab ketidakpopuleran Sjahrir adalah terbitnya brosur politiknya pada November 1945, "Perdjoeangan Kita". Di brosur itu, Sjahrir menguraikan situasi sosial, politik, dan kultural Indonesia. Ia tak hanya menyerang orang-orang (nasionalis) tua yang masih memelihara watak feodalistiknya, tapi juga menyerang angkatan muda yang menurut dia sama sekali tak memiliki pengertian yang jelas tentang apa yang mereka perjuangkan, selain hanya "Merdeka atau Mati! Titik".
Jika para pemuda itu, kata Sjahrir, "Mulai merasa kemerdekaan belum juga tercapai sedangkan kematian masih jauh, mereka akan terus berada dalam kebimbangan."
Di tengah heroisme angkatan muda yang merasa sebagai pihak yang paling berjasa dalam tercetusnya proklamasi, masihkah diherankan jika Sjahrir perlahan makin tak populer di angkatan muda, kelompok yang sangat menentukan itu?
Di saat-saat genting ketika Sekutu baru saja membumihanguskan Surabaya, dan saat Belanda sudah siap mengambil keuntungan dengan keterlibatan Sekutu, Sjahrir masih sempat-sempatnya menulis, "Bukan nasionalisme (yang) harus nomor satu, tapi demokrasi!" Cukup jelas: bagi mereka yang tidak cukup memiliki kesabaran revolusioner, Sjahrir adalah suara tanpa tindakan.

Konduktor Sjahrir
Tapi itu bukan berarti Sjahrir selalu berpangku tangan. Setidaknya Sjahrir cermat membaca keadaan, persisnya membaca kecenderungan dan arah politik global, yang kemudian ia implementasikan dalam sejumlah taktik dan strategi diplomasi, yang dalam beberapa tahun kemudian jelas menuai hasil "baik", jika kata "cemerlang" barangkali dinilai terlampau superlatif.
Sementara Agus Salim, dengan segenap erudisi, retorika, dan humornya yang memikat, menjadi pelaku/aktor di balik keberhasilan operasi diplomasi (terutama di Timur Tengah, khususnya Mesir), Sjahrir, dengan intuisinya membaca situasi tata mondial termutakhir, bisa disebut sebagai "konduktor yang cermat dan sabar mengelola, menjaga, dan mengatur irama pertunjukan orkestra diplomasi Indonesia di dunia internasional".
Momen simbolis Sjahrir sebagai konduktor operasi diplomasi Indonesia terjadi pada Agustus 1947, hanya berselang beberapa hari dari Agresi I Belanda. Peristiwa itu terjadi di depan Dewan Keamanan PBB di Lake Success. Di situlah Sjahrir berpidato, mewakili sebuah bangsa baru di Timur Jauh yang sedang terancam kemerdekaannya.
Sjahrir, seperti diceritakan kembali dengan baik oleh Charles Wolf Jr., memulai pidatonya dengan mengisahkan sebuah bangsa yang sudah mengenal tulisan sejak 1.500 tahun silam, yang memiliki berserat-serat sejarah emas di bawah Sriwijaya dan Majapahit, yang terbentang dari Papua di timur hingga Madagaskar di barat. Dalam pasang-surut sejarah yang sukar dirumuskan, bangsa itu mulai ditindas oleh orang-orang Eropa.
Dengan cemerlang sekaligus efektif, Sjahrir mengakhirinya dengan kata-kata, "Dalam proses itu, negeri saya kehilangan kemerdekaannya, dan jatuh dari tempatnya yang megah dahulu menjadi tanah jajahan yang lemah dan hina." Di atas mimbar di Lake Success, di hadapan Dewan Keamanan PBB, Sjahrir seakan menjadi konduktor ketika dunia internasional, perlahan tapi pasti (dan dipercepat oleh kebebalan politik Belanda), bergerak ke arah seperti yang diinginkan Sjahrir: mengutuk Belanda dan memaksa Belanda duduk di perundingan!
Apa yang dilakukan Sjahrir ketika itu mengingatkan kita pada pidato pertama kali Yasser Arafat di PBB mewakili PLO, yang dianggap sebagai representasi keinginan bangsa Palestina untuk bebas dari pendudukan Israel. Di momen itulah Palestina, seperti halnya Indonesia ketika Sjahrir berpidato, untuk pertama kalinya mendapat pengakuan secara de facto sebagai sebuah bangsa di perserawungan resmi antarnegara. Sementara Sjahrir memulai pidatonya dengan sebuah kisah, Arafat memulainya dengan memamerkan sebuah ranting zaitun yang patah, yang kata Arafat menjadi simbol keinginan merdeka bangsa Palestina yang terancam rengkah.
Di bawah juru runding Sjahrir pula Indonesia berunding dengan Belanda di Linggarjati. Dan seperti kita tahu, Sjahrir tersingkir dari kursi perdana menteri karena dinilai terlalu kompromistis dengan Belanda; hal yang sama juga terjadi pada Schermerhorn, juru runding Belanda di Linggarjati, yang seperti bisa kita baca dalam buku hariannya yang sudah diterbitkan dengan judul Schermerhorn, ternyata juga dibenci oleh banyak kalangan konservatif di Belanda karena dianggap terlalu memberikan kompromi kepada Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu pasal pokok dari kesukaran kesadaran sejarah Indonesia memposisikan Sjahrir. Sejak itu, Sjahrir selalu saja dianggap sebagai juru runding yang gagal, politikus yang dinilai terlalu kompromistis, peragu, dan terlampau berbelas kasih terhadap Barat.

Di mana Sjahrir?
Romo Mangunwijaya, dalam sebuah esainya yang begitu romantik, menyebut Sjahrir sebagai negarawan yang berpikir dalam hitungan abad, bukan warsa, apalagi bulan. Romo Mangun menyebut Sjahrir sebagai negarawan persis seperti James Freeman Clarke mendefinisikan negarawan: berbeda dengan politikus yang hanya memikirkan soal pemilu yang akan datang, negarawan justru memikirkan generasi yang akan datang.

Tapi sudah jelaskah siapa Sjahrir dan di mana ia berada dalam kesadaran sejarah kita?
Dalam epilog dari biografi Sjahrir, Politics and Exile in Indonesia, Rudolf Mrazek memberikan sebuah jawaban: "Sjahrir tetap (saja) diletakkan di tempat yang salah, dan dilupakan." Ironis tentu saja, sama ironisnya dengan bagaimana ia menjemput ajal. Dia wafat dalam status tahanan politik di Swiss. Tapi, persis di hari kematiannya, Bung Karno, orang yang paling bertanggung jawab atas penahanan Sjahrir dan mungkin juga atas sakitnya Sjahrir, ironisnya justru langsung mengangkatnya sebagai pahlawan nasional. Ironi bisa diperpanjang, mengingat Bung Karno justru akhirnya juga wafat dalam status tahanan politik.
Sjahrir mungkin punya banyak nila. Dia barangkali tipe orang yang tidak taktis. Tapi Sjahrir tentu saja tak sepenuhnya keliru. Dalam batas-batas tertentu, Sjahrir bisa jadi benar. Bukankah kedaulatan de facto dan de jure Republik Indonesia akhirnya ditangguk lewat sebuah proses perundingan (Konferensi Meja Bundar) kendati tentu saja tak memuaskan semua orang dan mengorbankan banyak orang yang antiperundingan, antara lain Amir Syarifuddin, Musso, dan Tan Malaka?
Sebagai penutup, saya petikkan kisah dari tulisan Mohamad Roem, Suka-Duka Berunding dengan Belanda. Ketika jenazah Sjahrir akan diterbangkan ke Jakarta dari Bandara Schiphol, Schermerhorn, orang yang menjadi rivalnya di Perundingan Linggarjati, dengan begitu emosional melepas kepergian Sjahrir dengan mengeluarkan kata-kata yang nyaris seperti sebuah elegi: "Pada hari ini dan di sini, orang menyadari 'bahwa Sjahrir benar!' (Sjahrir had gelijk)".

By: Zen Rachmat Sugito (Peneliti pada Riset Independen Arsip Kenegaraan, Jakarta)
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts