Selama ini pahlawan nasional lebih banyak merupakan representasi atau perwakilan dari berbagai daerah.
Selama ini pahlawan nasional lebih banyak merupakan representasi atau perwakilan dari berbagai daerah. Daftar pahlawan bagai album keluarga. Bila melihat album, mata kita akan terfokus lebih dulu kepada tokoh yang kita kenal baik.
Setiap provinsi merasa mesti memiliki pahlawan. Tidak cukup daerah tingkat I, kabupaten pun berlomba mengusulkan pahlawan mereka. Ini terutama terjadi pada masa akhir Orde Baru. Setelah era reformasi, perlombaan ini menyurut. Pahlawan yang berjumlah seratusan orang itu seakan memiliki kelas. Ada yang sering disebut, ada pula yang tak pernah disinggung dalam pidato ataupun pelajaran sekolah. Beberapa waktu yang silam pernah terjadi polemik, mana yang "lebih pahlawan", Tjut Nyak Dien yang mengangkat senjata atau Kartini yang berjuang hanya dengan pena.
Kasus lain menyangkut dua saudara tiri, Ki Hajar Dewantara dan Raden Mas Suryopranoto, yang sama-sama diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1959. Tanggal 2 Mei diperingati di Tanah Air sebagai hari pendidikan nasional. Hari itu merupakan tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara, yang sebelumnya bernama Suryadi Suryadiningrat. Dia dikenang sebagai pendiri Taman Siswa, sekolah alternatif di samping sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pendapat tentang filsafat pendidikan tut wuri handayani menjadi konsep yang sering dijadikan retorika oleh pejabat pemerintah pada masa Soeharto. Ki Hajar Dewantara juga dikenal sebagai pemikir budaya. Pandangannya bahwa budaya nasional merupakan puncak-puncak dari kebudayaan daerah diterima sebagai rumusan pada masa Orde Baru.
Ki Hajar Dewantara mempunyai kakak seayah lain ibu, yaitu Suryopranoto, yang semasa kecil bernama Raden Mas Iskandar. Ayah mereka, Suryadiningrat, menderita sakit mata sewaktu kecil dan akhirnya menjadi tunanetra sehingga kehilangan kesempatan menjadi raja. Suryopranoto sebetulnya sangat menonjol sebagai pemimpin gerakan buruh yang menganjurkan pemogokan melawan penguasa kolonial. Tapi wacana tentang Suryopranoto nyaris hilang semasa Orde Baru karena pembela buruh selalu dikategorikan "kiri".
Setelah era reformasi, muncul banyak pertanyaan kritis, antara lain mengenai motivasi pahlawan. Apakah Pangeran Diponegoro berjuang melawan Belanda karena rasa nasionalisme atau karena tanahnya digusur oleh penjajah? Pahlawan lainnya yang dipertanyakan tentunya Nyonya Tien Soeharto. Apa jasanya sehingga ia diangkat sebagai pahlawan nasional?
Sementara itu, ada tokoh lain yang dicekal dalam wacana intelektual Indonesia sedemikian lama tapi kini patut dipertimbangkan untuk masuk kelas pahlawan. Di antaranya Semaoen, tokoh Serikat Islam Cabang Semarang yang dipengaruhi oleh Sneevliet yang berideologi kiri. Ia berjuang melawan kolonial Belanda dengan pikiran dan perbuatan. "Tadi saya sudah berikhtiar mengajak rakyat menjadi pinter dan kuat, supaya akhirnya kita bisa merdeka mengurus negeri kita sendiri. Ini hal sungguhlah perkara kebangsaan (Semaoen dalam Hikayat Kadiroen).
Dalam kesempatan lain dia menulis, "Memang banyak halangan dalam pergerakan! Banyak susah, banyak korban, banyak penjara dan bedil. Memang banyak siksaan dan hinaan, tetapi berani tetap bergerak keras ialah perbuatan nomor satu guna memperbaiki kehidupan dan akal budinya rakyat, sebagai besar dari manusia, terangnya memerdekakan rakyat dalam semua hal. Dan kalau saudara-saudara berbuat begini, maka tentulah akhirnya kita semua dapat kemenangan."
Ideologi perjuangannya adalah ideologi kerakyatan. "Selama kelas kapitalis masih mempunyai perkakas modal, pabrik, tanah, dsb. itu, selamanya pun rakyat jelata dan kaum buruh masih dapat diperas oleh kapitalis besar itu. Oleh sebab itu kelas rakyat jelata dan buruh mesti berikhtiar supaya alat-alat modal, pabrik mesin, tanah, dsb. itu jatuh di tangannya pemerintah yang kerakyatan yang dipilih oleh dan dari rakyat itu, supaya semua perusahaan dan perdagangan dapat diurus oleh pemerintah kerakyatan tadi" (Penuntun Kaum Buruh dari Hal Serikat Kerja, Semarang, 1920).
Semaoen lahir di Mojokerto pada 1899, putra seorang buruh kereta api yang hanya mengenyam pendidikan sekolah bumiputra kelas satu. Setelah lulus, dia bekerja sebagai juru tulis (usia 13 tahun). Pada 1914, ia masuk Serikat Islam Surabaya dan terpilih sebagai sekretaris. Pada 1915, ia bertemu dengan Sneevliet, yang sangat berperan dalam memperkenalkan Marxisme di Indonesia.
Pada 1917, Semaoen terpilih sebagai Ketua Sarekat Islam Semarang. Ia adalah pelopor pers nasional, pernah menjadi redaktur harian Sinar Djawa dan Sinar Hindia, organ SI Semarang. Ia mengorganisasi pemogokan buruh pada 1923 dan kemudian diasingkan ke Belanda. Di Eropa, Semaoen pergi ke Rusia. Di negeri tirai besi itu, Semaoen jatuh cinta kepada gadis Rusia, yang dinikahinya.
Hal yang sama dilakukan oleh Iwa Kusuma Sumantri pada 1920-an. Istri mereka adalah adik-kakak. Yang menjadi pertanyaan: apakah orang yang mengawini perempuan Rusia tidak layak jadi pahlawan? Bukankah Guruh Sukarno Putra sendiri pernah menikah dengan gadis dari sana? Ternyata Iwa diangkat juga oleh Presiden Megawati sebagai pahlawan nasional pada tahun 2002. Bagaimana dengan Semaoen?
Ada pahlawan nasional yang namanya dicoret dalam pelajaran sekolah, yaitu Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo, karena keduanya tergolong kiri. Seyogianya nama baik mereka dipulihkan dalam bidang pendidikan karena secara resmi gelar pahlawan mereka tidak pernah dicabut. Sayang sekali, pemerintah Sumatera Barat, misalnya, tidak memanfaatkan momentum peresmian bandar udara baru di Ketaping beberapa bulan lalu, misalnya, dengan memberi nama Tan Malaka International Airport. Mereka lebih menonjolkan sifat kesukuan dengan memakai nama Bandara Internasional Minangkabau.
Selain itu, patut dipertimbangkan untuk mengangkat di antara mereka yang dibuang Belanda ke Digul setelah pemberontakan pada 1926/1927 sebagai pahlawan nasional. Pemberontakan PKI yang meletus di daerah yang relatif kuat agama Islamnya, yaitu Sumatera Barat dan Banten, bukanlah gerakan orang-orang ateis. Melainkan rakyat yang berani berjuang melawan penjajah. Walau akhirnya mereka kalah.
By: Asvi Warman Adam (Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Selama ini pahlawan nasional lebih banyak merupakan representasi atau perwakilan dari berbagai daerah. Daftar pahlawan bagai album keluarga. Bila melihat album, mata kita akan terfokus lebih dulu kepada tokoh yang kita kenal baik.
Setiap provinsi merasa mesti memiliki pahlawan. Tidak cukup daerah tingkat I, kabupaten pun berlomba mengusulkan pahlawan mereka. Ini terutama terjadi pada masa akhir Orde Baru. Setelah era reformasi, perlombaan ini menyurut. Pahlawan yang berjumlah seratusan orang itu seakan memiliki kelas. Ada yang sering disebut, ada pula yang tak pernah disinggung dalam pidato ataupun pelajaran sekolah. Beberapa waktu yang silam pernah terjadi polemik, mana yang "lebih pahlawan", Tjut Nyak Dien yang mengangkat senjata atau Kartini yang berjuang hanya dengan pena.
Kasus lain menyangkut dua saudara tiri, Ki Hajar Dewantara dan Raden Mas Suryopranoto, yang sama-sama diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1959. Tanggal 2 Mei diperingati di Tanah Air sebagai hari pendidikan nasional. Hari itu merupakan tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara, yang sebelumnya bernama Suryadi Suryadiningrat. Dia dikenang sebagai pendiri Taman Siswa, sekolah alternatif di samping sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pendapat tentang filsafat pendidikan tut wuri handayani menjadi konsep yang sering dijadikan retorika oleh pejabat pemerintah pada masa Soeharto. Ki Hajar Dewantara juga dikenal sebagai pemikir budaya. Pandangannya bahwa budaya nasional merupakan puncak-puncak dari kebudayaan daerah diterima sebagai rumusan pada masa Orde Baru.
Ki Hajar Dewantara mempunyai kakak seayah lain ibu, yaitu Suryopranoto, yang semasa kecil bernama Raden Mas Iskandar. Ayah mereka, Suryadiningrat, menderita sakit mata sewaktu kecil dan akhirnya menjadi tunanetra sehingga kehilangan kesempatan menjadi raja. Suryopranoto sebetulnya sangat menonjol sebagai pemimpin gerakan buruh yang menganjurkan pemogokan melawan penguasa kolonial. Tapi wacana tentang Suryopranoto nyaris hilang semasa Orde Baru karena pembela buruh selalu dikategorikan "kiri".
Setelah era reformasi, muncul banyak pertanyaan kritis, antara lain mengenai motivasi pahlawan. Apakah Pangeran Diponegoro berjuang melawan Belanda karena rasa nasionalisme atau karena tanahnya digusur oleh penjajah? Pahlawan lainnya yang dipertanyakan tentunya Nyonya Tien Soeharto. Apa jasanya sehingga ia diangkat sebagai pahlawan nasional?
Sementara itu, ada tokoh lain yang dicekal dalam wacana intelektual Indonesia sedemikian lama tapi kini patut dipertimbangkan untuk masuk kelas pahlawan. Di antaranya Semaoen, tokoh Serikat Islam Cabang Semarang yang dipengaruhi oleh Sneevliet yang berideologi kiri. Ia berjuang melawan kolonial Belanda dengan pikiran dan perbuatan. "Tadi saya sudah berikhtiar mengajak rakyat menjadi pinter dan kuat, supaya akhirnya kita bisa merdeka mengurus negeri kita sendiri. Ini hal sungguhlah perkara kebangsaan (Semaoen dalam Hikayat Kadiroen).
Dalam kesempatan lain dia menulis, "Memang banyak halangan dalam pergerakan! Banyak susah, banyak korban, banyak penjara dan bedil. Memang banyak siksaan dan hinaan, tetapi berani tetap bergerak keras ialah perbuatan nomor satu guna memperbaiki kehidupan dan akal budinya rakyat, sebagai besar dari manusia, terangnya memerdekakan rakyat dalam semua hal. Dan kalau saudara-saudara berbuat begini, maka tentulah akhirnya kita semua dapat kemenangan."
Ideologi perjuangannya adalah ideologi kerakyatan. "Selama kelas kapitalis masih mempunyai perkakas modal, pabrik, tanah, dsb. itu, selamanya pun rakyat jelata dan kaum buruh masih dapat diperas oleh kapitalis besar itu. Oleh sebab itu kelas rakyat jelata dan buruh mesti berikhtiar supaya alat-alat modal, pabrik mesin, tanah, dsb. itu jatuh di tangannya pemerintah yang kerakyatan yang dipilih oleh dan dari rakyat itu, supaya semua perusahaan dan perdagangan dapat diurus oleh pemerintah kerakyatan tadi" (Penuntun Kaum Buruh dari Hal Serikat Kerja, Semarang, 1920).
Semaoen lahir di Mojokerto pada 1899, putra seorang buruh kereta api yang hanya mengenyam pendidikan sekolah bumiputra kelas satu. Setelah lulus, dia bekerja sebagai juru tulis (usia 13 tahun). Pada 1914, ia masuk Serikat Islam Surabaya dan terpilih sebagai sekretaris. Pada 1915, ia bertemu dengan Sneevliet, yang sangat berperan dalam memperkenalkan Marxisme di Indonesia.
Pada 1917, Semaoen terpilih sebagai Ketua Sarekat Islam Semarang. Ia adalah pelopor pers nasional, pernah menjadi redaktur harian Sinar Djawa dan Sinar Hindia, organ SI Semarang. Ia mengorganisasi pemogokan buruh pada 1923 dan kemudian diasingkan ke Belanda. Di Eropa, Semaoen pergi ke Rusia. Di negeri tirai besi itu, Semaoen jatuh cinta kepada gadis Rusia, yang dinikahinya.
Hal yang sama dilakukan oleh Iwa Kusuma Sumantri pada 1920-an. Istri mereka adalah adik-kakak. Yang menjadi pertanyaan: apakah orang yang mengawini perempuan Rusia tidak layak jadi pahlawan? Bukankah Guruh Sukarno Putra sendiri pernah menikah dengan gadis dari sana? Ternyata Iwa diangkat juga oleh Presiden Megawati sebagai pahlawan nasional pada tahun 2002. Bagaimana dengan Semaoen?
Ada pahlawan nasional yang namanya dicoret dalam pelajaran sekolah, yaitu Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo, karena keduanya tergolong kiri. Seyogianya nama baik mereka dipulihkan dalam bidang pendidikan karena secara resmi gelar pahlawan mereka tidak pernah dicabut. Sayang sekali, pemerintah Sumatera Barat, misalnya, tidak memanfaatkan momentum peresmian bandar udara baru di Ketaping beberapa bulan lalu, misalnya, dengan memberi nama Tan Malaka International Airport. Mereka lebih menonjolkan sifat kesukuan dengan memakai nama Bandara Internasional Minangkabau.
Selain itu, patut dipertimbangkan untuk mengangkat di antara mereka yang dibuang Belanda ke Digul setelah pemberontakan pada 1926/1927 sebagai pahlawan nasional. Pemberontakan PKI yang meletus di daerah yang relatif kuat agama Islamnya, yaitu Sumatera Barat dan Banten, bukanlah gerakan orang-orang ateis. Melainkan rakyat yang berani berjuang melawan penjajah. Walau akhirnya mereka kalah.
By: Asvi Warman Adam (Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Post a Comment