Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Demitologisasi Pahlawan tanpa Tanda Jasa

Idiom guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa lambat laun akan kehilangan roh mitologisasinya.

Idiom guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa lambat laun akan kehilangan roh mitologisasinya. Guru sebagai tenaga teknis bidang pendidikan semakin diperhatikan oleh pemerintah dan banyak kalangan. Rancangan Undang-Undang Guru yang tengah digodok pemerintah dan akan segera diajukan ke DPR bahkan menempatkan posisi dan profesi guru menjadi terhormat. Guru pegawai negeri sipil (PNS) akan diusulkan menerima gaji dua kali lipat dari PNS non-guru sebagai imbalan atas pengabdiannya dalam mencerdaskan bangsa.
Sayang, RUU Guru juga mendapatkan kritik keras dari berbagai kalangan, mengingat ada nuansa diskriminasi antara guru PNS dan guru swasta. Dalam RUU Guru, pihak yang dihargai lebih tinggi adalah guru PNS. Padahal guru swasta--guru yang bekerja di institusi pendidikan swasta dan belum berstatus PNS--juga berjasa besar dalam upaya pencerdasan generasi bangsa. Mengapa justru standar kesejahteraan guru swasta tidak dimasukkan ke RUU Guru atau setidaknya negara men-support alokasi anggaran untuk kesejahteraan mereka?
Mengikisnya roh mitologisasi guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa sebenarnya kini telah terjadi dan kian kuat. Profesi guru tidak lagi merupakan profesi yang murni mengabdi pada kepentingan edukasi, didaktika, dan pencerdasan sosial masyarakat. Profesi guru kini juga menjadi bagian dari arus liberalisasi pendidikan atau kapitalisme pendidikan. Guru menjadi instrumen dari pembiakan materi-materi pengetahuan yang prokepentingan modal dan bukan kepentingan kemanusiaan. Di sisi lain, selama Orde Baru--disadari atau tidak--guru menjadi aparatur ideologi kekuasaan untuk mendistribusikan pengetahuan dan kebenaran doktrin developmentalisme kepada generasi muda bangsa. Guru menjadi bagian dari pemutarbalikan kebenaran otentik sosial.
Sekarang lebih menyedihkan--diakui atau tidak--banyak guru yang justru menjadikan sekolah sebagai ladang bisnis pribadi atau kelompok melalui jual-beli nilai, kursus privat, komersialisasi buku pelajaran, atau pembengkakan anggaran ekstrakurikuler.
Sementara itu, segelintir guru yang menduduki jabatan struktural, dari kepala sekolah sampai kepala dinas pendidikan, juga banyak yang terjebak dalam praktek korupsi, baik korupsi legal atas nama komisi jabatan maupun korupsi ilegal dalam segala hal. Mulai "bisnis" kursi penerimaan siswa baru hingga penyunatan dana pembangunan fisik sekolah.

***

Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa telah mengalami metamorfosis menjadi guru sekaligus agensi kapitalisme pendidikan. Mengapa demikian? Ada tiga alasan penulis menyebut bahwa guru telah mengalami demitologisasi dari pahlawan menjadi agensi kapitalisme pendidikan.
Pertama, mayoritas guru di Indonesia bukanlah sosok pemikir progresif yang memiliki kerangka pemahaman ideologis kerakyatan. Selama 32 tahun di zaman Orde Baru hingga sekarang, guru di Indonesia hanyalah instrumen penyebar pengetahuan kekuasaan yang antirakyat dan antikemanusiaan. Guru tidak memiliki kebebasan kreatif sebagai pendidik. Guru menjadi bagian dari kultur birokrasi yang feodalistis dan antipublik.
Kedua, mayoritas guru di Indonesia dididik dan dibesarkan dalam paradigma sosial yang konservatif. Akibatnya, apa yang diajarkan kepada para murid hanyalah berupa transfer pengetahuan, bukannya transformasi kesadaran sosial.
Terakhir, mayoritas guru di Indonesia adalah pengabdi kepentingan pemerintah dan bukan kepentingan bangsa. Mayoritas guru di Indonesia menganggap mereka bekerja kepada pemerintah dan bukan kepada masyarakat atau "rakyat". Prinsip monoloyalitas Korps Pegawai RI semasa Orde Baru sampai sekarang masih menjiwai cara pandang para guru di Indonesia.
Maka tidak mengherankan apabila kualitas pendidikan di Indonesia adalah kualitas pabrikan yang berfungsi memproduksi tenaga kerja yang dibutuhkan bagi arus kapitalisasi industri dan bukan melahirkan pengabdi nilai kemanusiaan. Mayoritas guru sekarang justru berpikir developmentalistik dengan mengajari para murid hakikat kesuksesan hidup yang semu, sehingga akhirnya tercetak imajinasi para murid untuk menjadi orang yang kaya secara materi tapi miskin hati dan nurani.
Guru di Indonesia sebagai agensi kepentingan modal dan liberalisasi pendidikan tidak memiliki sikap tegas terhadap kondisi dunia pendidikan. Saat ini dunia pendidikan memang tidak ramah terhadap masyarakat miskin. Sekolah hanya untuk orang kaya yang mampu membayar biaya pendidikan. Para guru mendapatkan tunjangan kesejahteraan pribadi dari surplus mahalnya biaya pendidikan tersebut.
Sebuah fakta, saat ini, banyak sekolah, terutama yang berlabel sekolah unggulan, yang menetapkan dana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) yang begitu besar. Adapun 70 persen pos pengeluaran APBS dipakai untuk kesejahteraan guru dan birokrat sekolah. Di Semarang, Jawa Tengah, misalnya, ada sebuah sekolah menengah pertama unggulan yang memiliki APBS per tahun Rp 1,9 miliar dan Rp 998 juta di antaranya habis untuk gaji guru. Dengan demikian, apakah itu bukan berarti guru mendapatkan tunjangan kesejahteraan dari hasil "pemerasan" uang siswa yang dilegitimasi kepentingan komersialisasi pendidikan?

***

Dalam arus komersialisasi pendidikan sekarang ini, diperlukan guru-guru progresif yang mengabdi pada nilai kemanusiaan. Sosok guru seperti Tan Malaka pada 1920-an yang mendirikan Sekolah Ra'jat bagi pribumi miskin atau sosok guru pemikir semacam KH Dewantara tidak banyak jumlahnya di negeri ini. Padahal sosok guru semacam merekalah yang akan melahirkan generasi bangsa yang cerdas, humanis, dan berideologi nasionalisme.
Untuk bisa menjadi guru yang progresif, mayoritas guru di Indonesia--yang selama 32 tahun terdidik oleh ideologi developmentalisme Orde Baru--harus belajar tentang "ideologi" perubahan sosial. Para guru di Indonesia harus mengasah hati nuraninya pada realitas kemanusiaan. Para guru di Indonesia harus sadar bahwa mereka bekerja untuk masyarakat, bukan kekuasaan, sehingga naluri kritisisme sosial mereka harus tumbuh dan berkembang setiap waktu.
Jika tidak mau dianggap sebagai kelompok "priayi" karena sebentar lagi berpenghasilan jauh di atas standar kesejahteraan para pekerja lain--gaji guru dalam RUU Guru dua kali lipat gaji PNS non-guru dengan upah buruh industri--para guru di Indonesia harus meninggalkan watak feodalistisnya dan benar-benar berjiwa demokratis. Para guru dituntut menjadi agen perubahan masyarakat ke arah kondisi yang egalitarian. Para guru di Indonesia jangan sampai sekadar menjadi robot birokrasi negara yang hanya menjalankan fungsi sebagai aparatus ideologis dengan mentransfer kesadaran palsu kepada siswa. Guru adalah pilar pengembang wacana alternatif pendidikan, yakni pendidikan yang antikomersialisasi dan pendidikan yang berwatak humanis. Selain itu, pendidikan yang dikembangkan tersebut menempatkan nilai kebenaran-keadilan sebagai tuntunan tertinggi.
Semoga para guru lekas menyadarinya sebelum "sadar" bahwa mereka terjebak menjadi agen proyek liberalisasi pendidikan, yang menjadikan sekolah sebagai komoditas yang diperjualbelikan.

By: Ari Kristianawati (Pegiat Perhimpunan Citra Kasih, Surakarta)
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts