Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Anak-anak Lebih Rentan terhadap Efek Samping Pemanis Buatan

Nurhasan ramai disebut di berbagai media massa dalam beberapa bulan terakhir. Bersama timnya, peneliti Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ) ini meriset sejumlah makanan anak-anak. Hasilnya menghebohkan. Ia menemukan pemanis buatan, seperti aspartam, siklamat, dan sakarin, dalam makanan serta minuman untuk bocah tersebut.
Tak tanggung-tanggung, Nur menggelar penelitian selama dua kali. Penelitian pertama dilakukan pada Juni lalu. Hasilnya? LKJ menemukan 47 produk yang menyimpang, baik dalam penggunaan bahan maupun pencantuman informasi dalam label kemasan yang keliru.
Sayang, penelitian itu kurang bergaung. Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang paling berwenang dalam mengawasi lalu lintas makanan dan minuman tersebut, tak kunjung turun tangan.
Nurhasan dan timnya tak patah arang. Mereka kembali melakukan penelitian serupa pada Oktober lalu. Kali ini, survei dilakukan sebatas pada pencantuman informasi dalam kemasan produk.
Bukan tanpa alasan bila Nur, demikian pria 45 tahun itu akrab disapa, begitu gigih menggelar penelitian terhadap makanan anak-anak ini. Pemanis buatan dalam makanan anak itu juga berbahaya bagi kesehatan. Dalam jangka panjang, menurut Nur, pemanis buatan dapat menyebabkan kanker. "Ada sekitar 50 juta anak Indonesia. Mereka umumnya belum bisa membaca label," tutur Nur.
Penelitian ini sesungguhnya bukan hal yang baru bagi dokter lulusan Universitas Indonesia ini. Beberapa tahun lalu, dia juga menemukan kandungan penyedap rasa atau monosodium glutamate (MSG) dalam sejumlah jajanan anak-anak.
Sejak menggenggam gelar dokter, Nur lebih banyak menyumbangkan ilmunya melalui lembaga swadaya masyarakat. Sebelum menjadi peneliti di LKJ, ia bergabung dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ia juga lebih banyak menulis berbagai artikel ketimbang menjalankan praktek dokternya. "Spesialisasi saya sebetulnya jurnalistik," kata Nur diiringi tawa berderai.
Rabu siang pekan silam, di sela-sela kesibukannya yang menggunung, Nur menerima wartawan Tempo Dewi Rina, Ami Afriatni, dan fotografer Nickmatulhuda untuk sebuah wawancara khusus di kantornya di Beji, Depok. Berikut ini petikannya.

Apa hasil temuan LKJ tentang bahan berbahaya dalam makanan yang biasa dikonsumsi anak-anak?
Waktu itu, sekitar Juni hingga Juli, kami melakukan penelitian dengan mengambil sampel sejumlah makanan anak. Ada tiga hal yang diteliti. Pertama, bahan tambahan pangan yang dikandung produk itu, antara lain siklamat, sakarin, dan aspartam, yang merupakan pemanis buatan. Kedua, aspek promosinya. Ketiga, peraturannya.

Berapa banyak produk yang diteliti?
Dari 47 produk, ada 24 yang mengandung pemanis buatan dan gula murni. Padahal dalam peraturan, kalau sudah menggunakan gula, tidak boleh menggunakan pemanis buatan. Ada sembilan produk yang mencantumkan aspartam, tapi tidak mencantumkan batas maksimumnya sesuai dengan peraturan. Ada empat produk yang menggunakan pemanis buatan, tapi tidak dicantumkan dalam kemasannya. Dua produk lainnya tidak mencantumkan peringatan terhadap penderita PKU (phenyl ketone uria). Kandungan sakarin dalam satu produk lainnya mendekati batas maksimum yang dibolehkan. Bisa menimbulkan toksisitas energi.

Apa dampaknya bagi kesehatan?
Penelitian terhadap manusia memang belum ada. Tapi terhadap tikus percobaan, gabungan antara sakarin dan siklamat dalam 86 minggu bisa menyebabkan kanker kandung kemih. Perbandingannya 1 : 10. Itu penelitian di Amerika.

Apakah yang dilansir Oktober lalu itu hasil penelitian ulang?
Kami tidak melakukan survei ulang terhadap semua makanan, tapi hanya terhadap enam merek makanan ringan.

Mengapa tidak semuanya diteliti ulang?
Tidak sempat bila harus resurvey semuanya. Sebab, untuk mengambil sampling saja butuh waktu seminggu. Analisis label perlu waktu 10 hari, untuk uji lab tiga minggu. Makanya saya hanya meneliti enam jenis merek dari 47 merek yang sudah disurvei. Tujuannya untuk melihat apa saja yang sudah dikerjakan Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan).

Apakah ada perubahan dari sejumlah merek yang diteliti?
Tidak ada. Kami melihat kemasan dan isinya masih sama persis.

Metode apa yang digunakan dalam penelitian ini?
Kami membagi menjadi dua, yaitu dari produsen besar dan kecil. Kami melihat iklannya di media. Kalau mereka tidak mampu memasang iklan, berarti produsen kecil. Cara itu diberlakukan juga untuk pemeriksaan laboratorium.

Mengapa sampel penelitian ini lebih banyak dari industri besar?
Sebab, pasar industri kecil lebih sedikit. Kemampuan mereka menimbun pemanis buatan juga lebih kecil, sedangkan perusahaan besar bisa menimbun pemanis hingga berton-ton. Potensi bahayanya jauh lebih besar.

Pengujian laboratoriumnya di mana?
Di Sucofindo karena sudah terakreditasi. Pada resurvey yang terakhir hanya dilakukan pemeriksaan label dan promosi.

Bukankah pemerintah sudah mengatur penggunaan pemanis buatan ini?
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 208 dan 722 dikatakan, pemanis buatan hanya untuk penderita diabetes dan orang yang membutuhkan kalori. Begitu juga berdasarkan label. Produsen seharusnya mencantumkan peringatan terhadap penderita PKU, yaitu pasien yang tidak tahan terhadap phenylalanine (asam amino dalam protein), yang salah satu sumbernya terdapat pada aspartam. Jika phenylalanine bereaksi dengan metanol dalam tubuh penderita PKU, akan menyebabkan hiperaktif dan gangguan mental.

Apakah kandungan metanol dalam aspartam halal atau tidak?
Di Indonesia penggunaan metanol mencapai 10 persen. Di Eropa hanya 7 persen. Kami juga pernah mendesak Majelis Ulama Indonesia untuk mengkaji ulang status kehalalan metanol 10 persen pada aspartam. Kita tahu yang mengeluarkan fatwa halal hanya MUI.

Apakah aspartam memang harus dicampur dengan metanol?
Ya, dalam proses kimianya memang harus dicampur dengan metanol.

Bagaimana dengan kandungan siklamat dalam makanan? Berapa banyak penggunaannya?
Berdasarkan studi yang dilakukan Badan POM pada 2002, kandungan siklamat sudah mencapai 2,4 kali dari batas maksimum yang diperbolehkan.

Mengapa siklamat lebih disukai oleh produsen?
Sebab, siklamat tidak menimbulkan after taste. Berbeda dengan sakarin, yang meninggalkan rasa pahit. Karena itu, produsen lebih memilih siklamat.

Apakah selama ini Badan POM mengatur soal produksi pemanis buatan?
Saya kurang tahu. Tapi seharusnya diatur, dari jumlah produksi, distribusi, hingga pengawasannya. Jangan sampai ada surplus yang akhirnya masuk ke industri.

Bagaimana penggunaan pemanis buatan di luar negeri?
Di negara-negara Asia, seperti Brunei, Singapura, Malaysia, Jepang, dan Vietnam, siklamat sudah tidak digunakan sama sekali. Directive Council Uni Eropa pada 1995 menjelaskan, pemanis buatan tidak boleh digunakan untuk bayi dan anak kecil. Di Amerika, sakarin juga sempat dilarang.

Apa dampak penggunaan pemanis buatan ini pada anak-anak?
Kalau ditanya kasusnya, kami tidak tahu. Sebab, setahu saya, hingga kini belum ada kasus yang ditemukan pada manusia. Penelitian terhadap manusia juga tidak ada. Berbeda dengan penelitian terhadap obat. Namun, jika penelitian terhadap tikus saja menimbulkan kanker, kita tentu harus berhati-hati. Apalagi sudah diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan dan Surat Keputusan Kepala Badan POM.

Apakah dampaknya juga sama pada orang dewasa?
Umumnya, efek samping terhadap kesehatan sama saja. Hanya pada anak-anak lebih rentan.

Berapa lama efek samping itu akhirnya muncul?
Tidak tahu. Tapi, kalau orang yang sensitif, bisa lebih cepat. Terus terang saja, untuk melihat satu per satu memang sulit. Di dunia kedokteran juga tidak diajarkan secara khusus soal efek bahan pangan tambahan terhadap kesehatan. Makanya para dokter tidak pernah menaruh perhatian pada masalah tersebut. Tapi kembali lagi pada binatang percobaan, 68 sampai 100 minggu bisa terserang kanker.

Bagaimana kemampuan pemerintah mengatasi penggunaan pemanis buatan pada makanan anak?
Riwayat bahan tambahan pangan sudah ada sekitar 25 tahun lalu, dari pengawet hingga pemanis. Ini berarti kemampuan Badan POM untuk mengawasi masih lemah. Misalnya, jumlah pemanis buatan yang diperbolehkan di Indonesia membengkak menjadi 13 jenis berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan POM Nomor 4547. Padahal sebelumnya, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan, tadinya hanya empat. Salah satu yang baru adalah neotam. Ini lebih berbahaya.

Mengapa?
Ambang batas neotam 2 miligram sama dengan 50 miligram aspartam. Jadi aspartam masih lebih aman dibandingkan dengan neotam. Sebab, kelebihan penggunaan 1 gram aspartam tidak sama dengan kelebihan penggunaan 1 gram neotam. Belum lagi alat ukur kita yang masih dipertanyakan, ha-ha-ha....

Apakah hasil penelitian ini sudah disampaikan kepada produsen dan Badan POM?
Kami sudah mengirim surat kepada Badan POM pada pertengahan Agustus lalu. Adapun produsen, kami tidak pernah berhubungan dengan mereka.

Bagaimana tanggapan Badan POM?
Justru itu kami sudah mengirimkan dokumen ke Badan POM, tapi tidak pernah mendapat balasan. Kami tidak tahu apa yang sudah atau akan mereka lakukan. Itu persoalannya. Soal respons, memang bukan keharusan, tapi paling tidak kami tahu apa yang akan mereka lakukan.

Respons seperti apa yang diharapkan?
Kami mengharapkan respons yang lebih aktual. Bila produk tersebut harus ditarik, ya, ditarik saja. Begitu juga penertiban terhadap label. Untuk aspartam, misalnya, tidak boleh dikonsumsi oleh anak di bawah 5 tahun. Peringatan ini seharusnya dicantumkan dalam label. Begitu juga promosi makanan berhadiah yang harus ditertibkan. Dari sisi administrasi, perusahaan yang melanggar, ya, harus ditindak. Paling tidak, dieskpos sehingga masyarakat tahu Badan POM sudah melakukan tindakan yang seharusnya.

Bukankah ketika registrasi Badan POM seharusnya sudah melakukan segala macam uji terhadap makanan?
Memang. Setelah mendaftar, mereka akan diuji registrasi. Tapi apakah dijamin bahwa yang diujikan sama dengan yang dijual di pasar. Belum tentu kan.

Mengapa LKJ lebih memfokuskan penelitian ini pada makanan anak-anak?
Karena ada sekitar 50 juta anak Indonesia. Mereka umumnya belum bisa membaca label. Sementara itu, gempuran iklan luar biasa. Dari sudut kesehatan, mereka pasti lebih rentan dibanding orang dewasa. Secara psikologis penelitian ini bisa mendidik mereka untuk lebih berhati-hati.

Sebelum melakukan survei, apakah LKJ menunggu aduan dari masyarakat terlebih dulu?
Kami memang tidak melakukan penelitian berdasarkan komplain dari konsumen, karena sumber daya manusia kami juga terbatas. Biasanya penelitian dilakukan berdasarkan pertimbangan dari teman-teman di LKJ. Kami melihat isu yang relevan di masyarakat.

Apakah LKJ pernah meneliti makanan bayi?
Belum, tapi itu bahasan yang menarik. Makanan bayi banyak diberi zat tambahan. Padahal bagi bayi di bawah 6 bulan, itu tidak ada artinya karena saraf perasa mereka belum berkembang.

Berdasarkan temuan ini, apakah LKJ akan melakukan class action?
Tindakan ini dilakukan bila ada kasus, sedangkan dalam hal ini tidak ada kasusnya. Kalau dilihat pelanggaran terhadap label, misalnya, memang bisa saja. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, produsen harus memberikan informasi yang jujur kepada konsumen.
Sebelum ini, LKJ juga sudah pernah melakukan penelitian terhadap makanan anak-anak lainnya?
Sekitar empat tahun lalu kami pernah melakukan penelitian tentang penggunaan MSG pada 13 merek produk makanan anak. MSG juga termasuk ke dalam bahan tambahan pangan GRAS (generally recognized as safe), sama seperti keempat pemanis buatan. Namun, GRAS bukan berarti bisa bebas dan aman digunakan.
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

PeduliKonsumen.com

Error loading feed.

KOMPAS.com

Error loading feed.

Blog Archive

Recent Comments

    Error loading feed.

Visitors

You Say...