Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Katakan Tidak untuk Transgenik

Semakin langkanya sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia mendorong manusia memacu alam untuk berproduksi secara cepat hingga di luar kemampuan alamiahnya.

Semakin langkanya sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia mendorong manusia memacu alam untuk berproduksi secara cepat hingga di luar kemampuan alamiahnya. Pemerkosaan alam ini bisa beragam bentuknya. Salah satunya rekayasa untuk menghasilkan makhluk hidup baru yang lebih dikenal sebagai transgenik (genetically modified organism/GMO), yang lebih "produktif" bagi manusia.
Bagaimana rekayasa dilakukan? Kita mudah membayangkan jika terjadi kawin silang antara ayam kate dan ayam hutan yang menghasilkan ayam bekisar. Tapi bayangkanlah kawin silang antara tomat dan ikan.
Tentu persilangan tomat dan ikan bukan dengan mempertemukan organ reproduksi keduanya, melainkan dengan pencampuran gen. Caranya dengan mengubah DNA (asam deoksiribonukleat) suatu makhluk hidup. DNA yang merupakan satu set informasi dan instruksi lengkap yang diperlukan makhluk hidup untuk tumbuh, mempertahankan hidup, dan berkembang biak ini dipotong dan disisipi dengan DNA makhluk hidup lain.
Pencampuran tomat dan ikan diharapkan menghasilkan tomat yang tahan dingin sehingga bisa awet disimpan melebihi waktu normalnya. Tomat tersebut dimasuki gen ikan flounder yang tahan dingin, bahkan bisa hidup di lautan sedingin es.
Pemindahan gen dilakukan dengan menggunakan bakteri atau virus yang bertindak sebagai kurir untuk menyerang sel induknya. Penggambaran proses ini seperti menggunakan "pistol gen" dalam menembak sel sasaran. Tapi tak satu ahli rekayasa pun dapat memastikan tembakan gen tersebut mengenai rantai yang mana dalam sebuah DNA.
Selain hasilnya tak bisa diprediksi dengan pasti, rekayasa ini menghasilkan gen yang tak memiliki kestabilan inheren dalam susunannya. Menurut Dr Mae Wan Ho, ahli genetika dari Universitas Terbuka Inggris, sejauh ini tidak ada data genetik molekuler yang menunjukkan stabilitas garis keturunan dari tanaman transgenik. Artinya, susunan gen buatan cenderung terpisah-pisah dan bergabung secara salah, bahkan dengan potongan materi genetis lain. Dengan demikian, hasilnya menjadi tidak dapat diduga.
Berbagai kesalahan tersebut akan sangat mungkin untuk terus bertambah dan memberikan efek yang tak terencana dan sangat acak. Hal ini berbeda dengan kombinasi alami yang stabil dan tetap dari gen-gen yang telah hidup bersama dalam semua makhluk hidup di dunia ini selama berjuta-juta tahun.
Makanan transgenik tentu seratus persen berbeda dengan makanan alami. Perekayasaannya sangat berbeda dengan pengolahan makanan, misalnya buah menjadi anggur atau ketela menjadi tape. Dalam pengolahan alami ini, semua dikerjakan oleh alam. Meskipun ada penambahan ragi/jamur oleh manusia, jamur yang memiliki ciri alamiah membusukkan atau mengurai fisik makhluk hidup itu yang bekerja. Tak ada sedikit pun "tembak-menembak" gen atau campur tangan manusia dalam mengubah struktur inti makhluk hidup tersebut.
Sedangkan rekayasa genetika dilakukan di laboratorium dengan menggunakan tabung percobaan dan campur tangan ahli. Teknologi buatan manusia kental di dalamnya. Keterlibatan virus atau bakteri sebagai kurir juga atas paksaan manusia. Sehingga makanan transgenik mengandung DNA dari spesies yang sama sekali berbeda, misalnya serangga, hewan, bakteri, dan virus. Secara otomatis, DNA tersebut akan ikut masuk ke dalam tubuh kita jika dikonsumsi. Padahal DNA tambahan tersebut hanya diperlukan untuk tumbuhan tersebut, bukan untuk tubuh kita. Misalnya agar tahan hama, tahan dingin, dan awet.
Teknologi rekayasa genetika ini baru berumur kurang dari 30 tahun, sehingga belum bisa diketahui benar apakah seratus persen aman atau bahkan sangat berbahaya. Tapi banyak ditemukan potensi bahaya tersebut.
Kita bisa belajar dari yang terjadi di AS. Pada 1989, sebuah epidemi penyakit baru dan langka terjadi di negara yang paling serius mengembangkan teknologi rekayasa genetika ini.
Gejala yang dialami para korban adalah nyeri otot yang parah dan tingginya jumlah sel darah putih. Selanjutnya, mereka mengalami kelumpuhan, masalah saraf, serangan jantung kronis, kulit bengkak dan pecah-pecah, gangguan kekebalan diri, dan kepekaan terhadap cahaya. Jumlah penderitanya sangat fantastis. Dalam beberapa bulan, 5.000 orang dirawat di rumah sakit, 37 meninggal, dan 1.500 cacat tetap (Amankah? Yang Perlu Anda Ketahui tentang Makanan Hasil Rekayasa Genetik, YLKI, 2002).
Semula, ahli medis menyebut ada gangguan darah yang menyakitkan dan fatal. Namanya sindrom eosinophilia-myalgia. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa semua korban pernah mengkonsumsi makanan tambahan yang mengandung asam amino L-tryptophan. Riset kemudian mempersempit kemungkinan dan mengarah ke sejumlah tryptophan transgenik yang diproduksi Showa Denko, yang saat itu merupakan perusahaan kimia terbesar ketiga di Jepang.
Fakta di atas menunjukkan bahwa teknologi transgenik berpotensi menimbulkan jenis penyakit baru bagi manusia. Selain itu, efek sampingan dari mengkonsumsi makanan transgenik juga banyak macamnya, misalnya memperbesar pengaruh dan potensi alergi.
Tapi mengapa masih saja ada yang mengembangkan dan banyak negara yang menaja transgenik? Hal ini tentu tak bisa dipisahkan dengan adanya bisnis besar yang mengalirkan dana sangat besar pula. Pada 1999 saja bisnis produk transgenik menghasilkan tak kurang dari US$ 2 triliun. Tentu tahun ini jauh lebih besar dari angka itu. Sedangkan bisnis ini hanya dikuasai segelintir perusahaan, di antaranya Monsanto, Aventis, dan DuPont.
Bisnis ini sangat menguntungkan, apalagi perusahaannya memproteksi diri dengan hak kekayaan intelektual atas temuannya. Dalam pembiakan alami, kapan pun dan di mana pun, biota bisa melakukan regenerasi dengan alat reproduksinya, tapi biota transgenik tidak bisa. Hanya produsen bersangkutan yang bisa menyediakan benih tersebut--setelah direkayasa di laboratoriumnya. Sehingga, sekali petani menanam kedelai transgenik dari Monsanto, misalnya, ia akan selamanya bergantung pada Monsanto.
Indonesia merupakan salah satu dari 20 negara tujuan ekspor terbesar gandum transgenik AS (Consumers International, 2003). AS dan Kanada, yang menyuplai 90 persen kebutuhan jagung dunia, juga sangat protransgenik, dan Indonesia juga salah satu negara tujuan ekspornya. Jangan kaget pula jika di pasar kita hanya menemukan kedelai Amerika, yang hampir bisa dipastikan juga produk transgenik, sedangkan kedelai lokal kita hampir lenyap dari pasar.
Pertanyaan selanjutnya: apakah mungkin di zaman global ini kita menghindari makanan tak alami tersebut? Ataukah teknologi ini sudah merupakan mimpi buruk yang menjadi kenyataan?

By: As'ad Nugroho (Direktur Program Lembaga Konsumen Jakarta)
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

PeduliKonsumen.com

Error loading feed.

KOMPAS.com

Error loading feed.

Blog Archive

Recent Comments

    Error loading feed.

Visitors

You Say...