Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Bom Waktu Tarif Dasar Listrik

Tidak seperti biasanya pemerintah berbaik hati kepada masyarakat konsumen. Lazimnya, pemerintah rajin menyuntikkan pil pahit, yaitu kenaikan tarif/harga komoditas publik. Namun, via harian ini (Rabu, 6 Juni 2007), pemerintah mengabarkan sebaliknya, tidak akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL) hingga 2009. Untuk menutup kekurangan biaya operasi dan pertumbuhan permintaan listrik sebesar 6,6 persen, pemerintah akan menambah subsidi yang semula Rp 25 triliun menjadi Rp 39 triliun. Wah, benar-benar surprise!
Jelas, ini merupakan happy ending, setidaknya bagi konsumen dengan daya tersambung 450 volt ampere (VA). Untuk sementara mereka boleh bertempik-sorak dengan woro-woro ini. Siapa, sih, yang tidak senang jika tarif/harga tidak dinaikkan? Apalagi untuk energi listrik, yang saat ini nyaris menjadi kebutuhan pokok, terutama bagi masyarakat perkotaan.
TDL dalam konteks makroekonomi juga mempunyai pengaruh signifikan. Sedikit saja TDL dinaikkan, konon laju inflasi akan segera menggeliat naik. Kata para ekonom, kenaikan TDL 30 persen akan mempengaruhi laju inflasi sebesar 2-4 persen. Pantas, setiap kali wacana kenaikan TDL digulirkan, reaksi publik terasa begitu kentara.
Dalam skala jangka pendek, keputusan penundaan kenaikan TDL-- mengacu pada kemampuan membayar konsumen listrik--itu terasa tepat. Setidaknya, hasil studi PT PLN dengan Lembaga Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor (2005) membuktikan hal tersebut. Hasil survei itu merekomendasikan agar daya tersambung 450 VA, yang merupakan mayoritas pelanggan PLN, sebaiknya tidak dinaikkan. Atau bisa saja dinaikkan jika penggunaan energi listriknya lebih dari 60 kWh per bulan. Sementara itu, daya terpasang di atas 900 VA bisa dikenakan kenaikan TDL, dengan perincian 900 VA (2,8-6 persen), 1.300 VA (6-6,2 persen), 2.200 VA (5-15 persen), dan R2/R3 bisa dikenai kenaikan TDL 6-25 persen.
Meskipun demikian, penundaan kenaikan TDL ini jangan buru-buru diberi apresiasi berlebihan, bahkan patut dicurigai. Mengapa, sih, pemerintah menggunakan pendulum 2009 sebagai dasar penundaan? Pasti ada "udang" di balik penundaan itu, yaitu kepentingan politik jangka pendek demi mulusnya pelaksanaan Pemilihan Umum 2009. Penundaan itu bukan karena pemerintah berbaik hati dan ingin melindungi kepentingan masyarakat konsumen, melainkan murni untuk "mengamankan" kepentingan para politikus (termasuk Presiden Yudhoyono) yang masih mempunyai syahwat politik untuk bertengger di puncak kekuasaan. Ingat, pemerintah hanya "menunda", bukan membatalkan. Tegasnya, sikap baik hati pemerintah kepada konsumen listrik hanyalah sementara alias semu. Pasca-Pemilu 2009, akan terjadi "balas dendam" kenaikan TDL oleh pemerintah (yang baru).
Lebih dari itu, janji peningkatan jumlah subsidi sebagai bentuk public service obligation (PSO) prakteknya sering tidak terealisasi (janji kosong). Manajemen PT PLN sering mengeluh cashflow-nya terganggu karena dana subsidi dari pemerintah belum/tidak digelontorkan. Kasus seperti ini tak hanya menimpa manajemen PT PLN, tapi juga BUMN lain yang masih mengemban misi sosial, misalnya PT Kereta Api (PT KAI). pemerintah menjanjikan akan memberikan dana PSO kepada PT KAI sebesar Rp 450 miliar (2006), tapi faktanya yang digelontorkan hanya 40 persennya.
Ingkar janjinya pemerintah dalam pemberian subsidi jelas merupakan bentuk "penganiayaan" terhadap masyarakat, baik itu konsumen listrik yang sudah tersambung maupun bahkan calon konsumen listrik yang masih dalam daftar tunggu (waiting list). Dampaknya jelas, ketika TDL tidak dinaikkan dan di sisi lain pencairan subsidi pemerintah tersendat/tidak dicairkan, kinerja PT PLN dalam melayani konsumen menurun drastis.
Mau bukti? Dalam beberapa kunjungan ke lapangan, misalnya di wilayah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, penulis menemukan banyak kasus bahwa PT PLN wilayah (cabang) tidak mampu lagi memberikan akses sambung baru kepada calon konsumen. Sekalipun pemerintah daerah setempat menggratiskan mesin pembangkit, PT PLN tetap menolaknya karena tidak sanggup menyuplai "logistik" (baca: bahan bakar minyak) mesin pembangkit tersebut. Anehnya, dalam kasus di Kupang (NTT), ketika PT PLN wilayah NTT "terpaksa" menerima pemberian mesin pembangkit, ee..., setahun kemudian Pemerintah Provinsi NTT malah minta jatah "bagi untung". "Lha, bagi untung dari mana. Ketika kami menerima mesin pembangkit dari Sampean, itu artinya kami membayar kerugian," kata petinggi PT PLN wilayah NTT.
Bukti lain, kini manajemen PT PLN tidak lagi "bersemangat" menerapkan tingkat mutu pelayanan (TMP). PT PLN di berbagai daerah tidak lagi meng-update data TMP, yang seharusnya selalu diperbarui setiap tiga bulan. Padahal, menurut Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2002 tentang Harga Jual Listrik yang disediakan oleh PT PLN dan SK Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (Dirjen LPE) Nomor 114 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan Tingkat Mutu Pelayanan, TMP wajib dideklarasikan per tiga bulan dan, jika PT PLN melanggar ketentuan tersebut, PT PLN wajib dikenai sanksi, yaitu berupa pemberian kompensasi kepada konsumen. Pemerintah juga setali tiga uang, tidak konsisten lagi memonitor pelaksanaan TMP tersebut. Terbukti, eksistensi Pengawas Independen Pelaksanaan Tarif Dasar Listrik (PIP-TDL), yang salah satu tugasnya mengawal pelaksanaan TMP, hanya berusia seumur jagung, dilikuidasi oleh sang Dirjen LPE (Yogo Pratomo).
Terlepas dari naik-tidaknya TDL, pemerintah seharusnya melakukan langkah-langkah radikal untuk mendesain sektor ketenagalistrikan di Indonesia agar lebih berkesinambungan, misalnya melakukan elaborasi terlebih dulu terhadap formula TDL. Sebab, hingga kini formula TDL masih menimbulkan silang-sengkarut antar-stakeholders ketenagalistrikan. Bahkan formulasi milik pemerintah dengan PT PLN pun tidak pernah "akur". Jika formulasinya sudah ideal dan disepakati semua stakeholders, pemerintah bisa menentukan benchmarking tarif ketenagalistrikan, sebagaimana tarif listrik di negara lain. Rasanya tidak adil (tidak mungkin) jika TDL secara terus-menerus "dipenjara" (disandera) demi kepentingan stabilitas politik jangka pendek.
Bahkan pemerintah mesti melakukan review secara menyeluruh terhadap sistem ketenagalistrikan di Indonesia, sehingga melahirkan sistem ketenagalistrikan yang lebih efisien. Selama ini pendapatan PT PLN terkuras habis, selain untuk konsumsi BBM, dipicu oleh tidak efisiennya sistem ketenagalistrikan itu sendiri. Pemerintah harus mampu menjadikan mesin-mesin pembangkit milik PT PLN tidak hanya bergantung pada bahan bakar minyak atau bahkan batu bara. Kedua komoditas ini, selain tren harganya akan makin mahal, pasokannya menipis, dan sangat korosif bagi lingkungan global. Sumber pemicu masih tingginya biaya pokok penyediaan tenaga listrik di Indonesia adalah akibat ketergantungan mesin-mesin pembangkit PT PLN pada kedua komoditas tersebut. Siapa lagi yang harus membayar ongkos kemahalan tersebut kalau bukan kita: konsumen!

By: Tulus Abadi (anggota Pengurus Harian YLKI)
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts