Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Gerakan Kultural Kebijakan Lingkungan

KONDISI lingkungan hidup kita makin mencemaskan. Banyak tempat dan tanah yang tak lagi produktif, bahkan sebagian tak dapat ditanami lagi. Air kian tercemar dan tidak layak diminum. Udara pun terpolusi, sehingga menyesakkan napas. Tendensi kondisi ekologi yang kurang stabil semacam itu semakin runyam, tatkala banyak hutan gundul akibat kelemahan kontrol dalam proses penebangan dan reboisasi yang berjalan lamban.
Perkembangan industri berdampak besar bagi kelestarian lingkungan. Pencemaran masih menjadi persoalan pelik dalam pembangunan di bidang pelestarian lingkungan. Bahkan cenderung kian mengkhawatirkan. Perhatian pemerintah dalam menangani persoalan lingkungan nampaknya juga masih banyak menghadapi kendala. Apalagi ditengarai kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan juga makin rendah.
Mengapa ini terjadi? Bagaimana kebijakan pemerintah dalam menangani pencemaran lingkungan, juga bagaimana mengembangkan lingkungan di kawasannya?

Industrialisasi
Sedikitnya ada dua faktor penting yang ditempatkan sebagai tantangan dalam proses memelihara kelestarian lingkungan. Faktor pertama, pesatnya peningkatan jumlah penduduk. Hampir di semua belahan bumi ini populasi makin padat. Ini menambah beban bagi lingkungan, karena daya dukung sumber alam semakin tidak seimbang dengan laju tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup. Lingkungan tidak pernah berhenti dieksploitasi dengan berbagai macam cara dan argumentasi.
Faktor kedua, perkembangan industri. Sektor yang dibanggakan karena dianggap sangat andal dalam menjawab tantangan pemenuhan kebutuhan ekonomi ini, ternyata harus dibayar amat mahal karena keterkaitan dengan dampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Pesatnya perkembangan industri memberi andil besar bagi pencemaran lingkungan, fisik dan biologi.
Hasil studi di negara-negara industri memperlihatkan, bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan industri telah terjadi erosi pada tanah pertanian serta terjadinya penggaraman (slinization) pada lahan produktif. Di samping itu terjadi proses pendangkalan sungai dan danau, serta meluasnya padang pasir.
Manakala kecenderungan itu dibiarkan, bukan mustahil kelak kehidupan manusia menjadi lebih sengsara. Anak cucu kita akan menderita, karena alam tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Dalam konteks ini, minimal terdapat tiga macam pencemaran, yaitu pencemaran udara, pencemaran air, dan pencemaran daratan. Udara dikatakan tercemar apabila terjadi perubahan komposisi dari keadaan normal akibat kehadiran bahan atau zat asing tertentu. Kehadiran bahan atau zat asing tersebut bisa karena secara alamiah seperti abu, letusan gunung berapi, atau pembusukan sampah organik; bisa juga sebagai akibat ulah manusia seperti debu dari asap pabrik serta hasil pembakaran.
Air juga dikatakan tercemar apabila telah berubah dari kondisi normal. Hanya, menyatakan ketercemaran air lebih sulit daripada udara. Kesulitan itu terutama karena sesungguhnya air tidak pernah terwujud dalam keadaan benar-benar bersih. Di dalam air selalu ditemukan larutan dari unsur lain.
Para ahli biasanya menyatakan air tercemar apabila terjadi perubahan suhu, perubahan pH atau konsentrasi ion hydrogen, serta perubahan warna, bau, dan rasa. Air juga dinyatakan tercemar ketika ditemukan endapan, koloidal, bahan berlarut, adanya mikroorganisme serta meningkatnya radioaktivitas air lingkungan. Dalam kondisi demikian, air menjadi berbahaya atau tidak dapat lagi dipergunakan bagi kebutuhan sehari-hari. Air bisa berubah menjadi racun mematikan bagi orang yang menggunakannya.
Sedangkan daratan dikatakan tercemar ketika tidak mampu lagi memberikan daya dukung bagi kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pencemaran daratan itu antara lain ditandai oleh tidak difungsikannya lagi untuk bertani, beternak, atau bermukim. Sebagaimana pencemaran air, pencemaran daratan juga bisa disebabkan oleh kehadiran bahan atau zat asing secara alamiah, juga akibat ulah manusia sendiri.

Home Industry
Sebenarnya kita punya ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup yang diharapkan mampu mengatasi persoalan. Antara lain, pembangunan harus didasarkan pada wawasan lingkungan yaitu upaya secara sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam rangka pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup. Juga disebutkan, setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Kenyataannya, persoalan lingkungan terutama yang disebabkan oleh industri belum dapat diatasi secara tuntas. Beberapa alasan sering dikemukakan oleh pemerintah, yakni persoalan-persoalan yang berkaitan dengan lingkungan tidak bisa sekadar ditinjau dari faktor pencemaran, melainkan ada pertimbangan faktor lain seperti kesempatan kerja, investasi, dan kepentingan politis. Alasan ini terutama disampaikan oleh daerah yang struktur industrinya didominasi oleh home industry, sehingga persoalan pengolahan limbah, misalnya, menjadi persoalan yang relatif sulit dituntaskan.
Dalam konteks ini, pemerintah setempat biasanya menegaskan setiap industri harus mempunyai pengolahan limbah. Namun di sisi lain pengolahan limbah home industry tidaklah sederhana, karena terkait erat dengan masalah permodalan. Modal produksi sudah relatif kecil, belum lagi bila terdapat kendala seperti ketersediaan bahan, lahan, dan tenaga. Seandainya pemerintah setempat bersikeras memaksakan aturan, semua home industry dikhawatirkan gulung tikar, dan dampaknya bisa menjadi lebih panjang. Ini menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah.
Persoalan limbah juga terjadi pada industri kategori sedang dan besar. Memang agak sulit untuk menentukan apakah sebuah industri tergolong besar, sedang, atau kecil (home industry) karena kriteria itu harus memperhatikan aspek jumlah tenaga kerja, nilai investasi maupun peralatan yang dipakai secara menyeluruh.
Kelemahan yang sering terjadi karena industri sedang dan besar terkadang tidak menghitung biaya untuk pengolahan limbah dalam satuan cost production atau internal cost, sehingga cukup menyulitkan ketika diberlakukan kebijakan untuk membangun unit pengolahan limbah sendiri bagi industri sedang dan besar. Pada posisi demikian, pemerintah tetap dituntut konsisten dengan kebijakan bahwa limbah yang dihasilkan sebelum dibuang harus diolah terlebih dahulu.
Maka perlu dicarikan langkah strategis, misalnya melalui sistem pengolahan limbah terpadu. Melalui sistem ini minimal dapat ditangani kendala kelemahan atau tidak tersedianya biaya bagi industri untuk melakukan pengolahan limbah secara mandiri. Seluruh sarana penunjang dapat dipikul bersama oleh industri yang memanfaatkan, sehingga menjadi lebih ringan. Ini juga lebih membantu program pembangunan prasarana dan pengembangan kawasan.

Gerakan Kultural
Rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pelestarian lingkungan juga menjadi persoalan tersendiri. Berbagai bentuk perilaku yang mencerminkan ketidakpedulian terhadap lingkungan masih terus berlangsung dengan pelaku yang makin variatif. Tidak hanya sekelompok orang tertentu, tetapi meliputi hampir semua kalangan.
Ini bisa terjadi pada level individu rumah tangga, komunitas kecil, atau mereka yang biasa disebut sebagai perambah hutan. Bisa terjadi pula pada level organisasi seperti perusahaan. Atau bahkan pada level intelektual, seperti cendekiawan yang melontarkan ide-ide pembangunan masa depan, tetapi tidak mengagendakan masalah lingkungan yang bisa disejajarkan dengan masalah politik, ekonomi, teknologi, dan kualitas sumber daya manusia.
Penulis ingin menegaskan, membangun kesadaran pelestarian lingkungan merupakan tanggung jawab bersama, tidak tertuju pada individu dan kelompok tertentu, atau bahkan hanya tanggung jawab pemerintah.
Pemerintah perlu melakukan reorientasi paradigma pembangunan. Sekarang ini terdapat paradigma baru yang tengah dibangun dan menjadi dasar pijakan pembangunan di banyak negara, yaitu paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dipercaya untuk menggantikan paradigma lama misalnya paradigma pertumbuhan ekonomi dan paradigma yang menekankan pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Secara sederhana, pengertiannya adalah pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan dan kepentingan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pengertian ini merujuk pada World Commission on Environment and Development (WECD), sebuah komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan di bawah naungan PBB.
Definisi tersebut memuat dua konsep utama. Pertama, tentang kebutuhan yang sangat esensial untuk penduduk miskin dan perlu diprioritaskan. Kedua, tentang keterbatasan dari kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Artinya, pembangunan berkelanjutan berperspektif jangka panjang (a longer term perspective) yang menuntut adanya solidaritas antargenerasi.
Di Indonesia, pembangunan berkelanjutan ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meminimalisasi kerusakan sumber daya alam dan lingkungan. Secara implisit mengandung arti memaksimalkan keuntungan pembangunan dengan tetap menjaga kualitas sumber daya alam.
Paradigma ini akan semakin dibutuhkan seiring dengan perkembangan globalisasi terutama ketika diterapkan ISO 9000 (standar kualitas suatu barang) dan ISO 14000 (standar kualitas lingkungan). Secara sederhana di dalam ISO 14000 dipersyaratkan audit lingkungan, label lingkungan, sistem pengelolaan lingkungan dan analisis daur hidup. Bila ISO 14000 diberlakukan, suka atau tidak suka, para pengusaha harus menyesuaikan produk-produknya dengan kriteria lingkungan yang dikehendaki oleh ISO (International Standardization Organization).
Paradigma ini menuntut diterapkannya strategi gerakan kultural. Gerakan Konsumen Hijau (konsumen yang berwawasan lingkungan), misalnya, telah menjadi bagian dari kehidupan di negara-negara maju. Dalam beberapa kasus, masyarakat akan dengan kritis menolak tas plastik yang tidak bisa didaur ulang atau jaket yang terbuat dari kulit binatang yang dilindungi.
Gerakan kultural tersebut selanjutnya menyosialisasikan dan menanamkan pengertian kepada masyarakat (konsumen) untuk menggunakan produk yang tidak mengganggu kesehatan dan merusak lingkungan. Konsumen diposisikan sebagai inisiator, pemberi pengarah, pengambil keputusan, pembeli, bahkan pengguna.
Alangkah manis jika kebijakan pemerintah di bidang lingkungan diarahkan pada gerakan kultural membangun kesadaran pada kelestarian lingkungan sejak level terkecil, yaitu keluarga, lalu diharapkan mempunyai ekskalasi pemberdayaan yang melebar dan meluas. (18)

By: Ir. HM Tamzil (Wakil Bupati Kab. Semarang, mahasiswa Program Pascasarjana Undip)
Source: Suara Merdeka, 15 Februari 2003
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts