Dokter adalah salah satu unsur dari tenaga kesehatan dan orang sakit yang meminta bantuan dokter untuk membantu mengobati penyakit yang dideritanya adalah pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan (TK) dengan pasien adalah hubungan antar manusia yang selalu diliputi oleh sifat-sifat kemanusiaaan yang tidak pernah sempurna. Mengharapkan kesempurnaan dalam membina hubungan antar manusia adalah suatu yang mustahil, namun memperkecil ketidaksempurnaan untuk mendekati sempurna adalah kewajiban dari para pihak.
Terdapat bermacam-macam bentuk hubungan antara TK dan pasien, antara lain hubungan medik, hubungan hukum. TK dan pasien dalam hubungan medik kedudukannya tidak seimbang, lain dengan hubungan hukum, diasumsikan kedudukan keduanya sederajat.
TK dengan kepandaian dan keterampilan yang didapat di lembaga pendidikan formal adalah seorang pakar di bidangnya (profesional), akan berupaya semaksimal mungkin (ikhtiar) membantu pasien untuk mengobati sakit yang diderita, karena pasien adalah orang awam dalam bidang pengobatan penyakit.
Selain itu antara TK dan pasien terdapat pola hubungan yang paternalistik, yakni TK akan berupaya semaksimal mungkin sebagai bapak yang baik, untuk kesembuhan pasien dan pasien akan berbuat sebagai anak yang baik, mematuhi nasihat dari TK.
Selanjutnya hubungan antara TK dan pasien, menurut hukum adalah hubungan hukum antara subyek hukum dengan subyek hukum, untuk melakukan jasa pelayanan kesehatan dan terbentuk perikatan (verbintenis). Tujuan dari hubungan hukum ini adalah upaya membantu mengobati pasien dari penyakit yang dideritanya. Terdapat hak dan kewajiban yang timbal balik antara TK dan pasien dan kedudukan keduanya sederajat.
Tubuh manusia mempunyai keunikan yang sangat komplek, yang terdiri dari badan dan jiwa (fisik dan psikis), keduanya adalah dua sisi dari sebuah mata uang, yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, sehingga apa yang diartikan dengan kesehatan, adalah keadaan sehat baik fisik maupun psikis.
Upaya pengobatan yang dilakukan oleh TK, sebatas kemampuan “manusia biasa” (bukan manusia luar biasa) dengan keterbatasannya sebagai manusia, yang berupaya mengobati penyakit pasien, baik fisik mau pun psikis berdasarkan kepandaian yang didapat dari pendidikan formal dan pengalaman, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Seperti diketahui, kesembuhan pasien tidak hanya tergantung dari faktor TK saja, juga tergantung dari sangat banyak faktor lainnya, selain juga faktor pasien sendiri, juga pada ketersediaan alat-alat penunjang kedokteran dan obat-obatan. Tidak mungkin TK mengobati pasien hanya berbekal kepandaiannya semata, kepandaian/keterampilan TK hanya dapat mendiagnosis penyakit yang diderita pasien dan kemudian menentukan terapi, sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada.
Mengharapkan kesempurnaan seperti diungkapkan di atas adalah mustahil, namun kadang-kadang pengharapan pasien kepada TK sedemikian besar, sehingga pasien menganggap TK adalah manusia super yang serba bisa, yang selalu dapat mengobati penyakit pasien dan bekerja tanpa kesalahan/kelalaian dan tanpa risiko.
Risiko selalu dapat terjadi dalam setiap tindakan medik, bahkan sekecil apa pun juga tindakan medis, selalu mengandung risiko. Kadang-kadang memang sulit untuk membedakan apakah “kegagalan” sembuhnya pasien, karena risiko yang terjadi atau kesalahan/kelalaian dari TK, terlebih lagi bagi pasien, yang awam dalam bidang kedokteran. Sehingga pasien yang awam selalu menganggap “kegagalan” menjadi sembuh sebagai kesalahan/kelalaian tindakan medik (malpraktik).
Malpraktik Medik
Istilah malpraktik adalah istilah yang umum, tentang kesalahan yang dilakukan oleh profesional dalam menjalankan profesinya. Namun akhir-akhir ini, kalau dibicarakan mengenai malpraktik, pasti yang dibicarakan adalah tentang kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh TK terhadap pasien. Malpraktik yang dilakukan oleh TK, dikenal sebagai malpraktik medik (medical malpractice).
Seorang advokat pun dapat melakukan malpraktik, bahkan ekstrimnya, seorang imam pun dapat melakukan malpraktik, karena advokat dan imam, dalam melakukan pekerjaannya dapat digolongkan sebagai profesional.
Kamus Hukum Blacks Law Dictionary menyebutkan pengertian dari malpractice adalah: “Any professional misconduct or unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct.”
Pengertian malpraktik secara umum di atas menyebutkan adanya kesembronoan (professional misconduct) atau ketidakcakapan yang tidak dapat diterima (unreasonable lack of skill) yang diukur dengan ukuran yang terdapat pada tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikkan pada setipa situasi dan kondisi di dalam komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan keahlian rata-rata.
Secara khusus tentunya dikenal adanya medical malpractice, yang dimaksudkan dengan medical malpractice adalah: “In medical malpractice litigation, negligence is the predominant theory of liability. In order to recover for negligent malpractice, the plaintiff must establish the following elements: (1) the existence of the physician’s duty to the plaintiff, usually based upon the physician-patient relationship; (2) the applicable standard of care and its violation; (3) a compensable injury; and (4) a causal connection between the violation the standard of care and the harm complained of."
Malpraktik medik dalam proses pengadilan memerlukan penentuan tentang kelalaian dalam teori pertanggungjawaban hukum. Kemudian pertanggungjawaban hukum selalu menuntut dipenuhinya unsur-unsur dari perbuatan melanggar hukum, yang dimulai dengan adanya kewajiban dokter terhadap pasien di dalam hubungan dokter-pasien; adanya cedera yang dapat dimintakan ganti ruginya; adanya hubungan kausal antara pelanggaran terhadap standar pelayanan dan kerugian yang dituntut.
Untuk mendapatkan pengertian lebih jelas mengenai malpraktik medik, perlu pula diberikan pengertian tentang “maltreatment” yang dikaitkan dengan TK yang “memegang pisau”, yaitu “in reference to the treatment of his patient by a surgeon, this term signifies improper or unskillful treatment; it may result either from ignorance, neglect, or willfulness; but the word does not necessarily imply that the conduct of the surgeon, in his treatment of the patient, is either willfully or grossly careless.”
Dimaksudkan dengan maltreatment adalah pemberian pelayanan pengobatan dan perawatan yang tidak pantas atau yang tidak dilakukan dengan keterampilan. Hal ini dapat saja dilakukan karena kesembronoan, kelalaian atau kesengajaan.
Ukuran dari terjadinya professional misconduct atau unreasonable lack of skill tersebut di atas, adalah yang dikenal dengan ukuran (standar) profesi. Selanjutnya untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik tentang malpraktik medik, maka perlu pula digambarkan tentang apa yang dikenal sebagai “standard of care”, yaitu: “In law of negligence, that degree of care which a reasonable prudent person should exercise in same or similar circumstances. If a person’s conduct falls below such standard, he may be liable in damages for injuries or damages resulting from his conduct. In medical, legal, etc., malpractice cases a standard of care is applied to measure a competence of the professional. The traditional standard for doctors is that he exercise the “average degree of skill, care and diligence exercised by members of the same profession, practicing in the same or a similar locality in the light of the present state of medical and surgical science”. With increased specialization, however, certain courts have disregarded geographical considerations holding that in the practice of a board-certified medical or surgical specialty, the standard should be that of a reasonable specialist practicing medicine or surgery in the same special field.”
Pengertian tentang standard of care, menyebutkan adanya derajat pemeliharaan dari orang yang hati-hati akan diberikan dalam situasi dan konsisi yang sama. Apabila profesional memberikan pelayanan di bawah standar, maka profesional harus memberikan ganti rugi atas cedera yang diakibatkannya. Selain itu para profesional juga dituntut untuk memenuhi ukuran keterampilan rata-rata sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang umum.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan umum yang memberikan pengertian dari malpraktik medik, yakni apabila seorang dokter tidak dapat menyembuhkan pasien sebagai perbuatan malpraktik. Bahkan lebih parah lagi, apabila seorang pasien meninggal dunia, di dalam proses pengobatan di rumah sakit, maka telah terjadi malpraktik medik.
Jelas di dalam malpraktik terdapat unsur yang sangat penting adalah adanya kelalaian (negligence), yang seringkali pula disalahartikan. Pengertian negligence menurut Black Law Dictionary cukup rinci, dan untuk mendapatkan pengertian yang menyeluruh akan dikutip seluruhnya: “The omissions to do something which a reasonable man, guided by those ordinary considerations which ordinary regulate human affairs, would do, or the doing of something which a reasonable and prudent man would not do. Negligence is the failure to use such a care as a reasonable prudent and careful person would use under similar circumstances; it is the doing of some act which a person of ordinary prudence would have done under similar circumstances or failure to do what a person or ordinary prudence would have done under similar circumstances. Conduct which fall below the standard establish by law for the protection of others against unreasonable risk of harm; it is a departure from the conduct expectable of a reasonably prudent person under like circumstances. The term refers only that legal delinquency which result whenever a man fails to exhibit the care which ought to exhibit, whether it be slight, ordinary, or great. It is characterized chiefly by inadvertence, thoughtlessness, inattention, and the like, “wantonness” or ” recklessness” id characterized by willfulness. The law of negligence is founded or reasonable conduct or reasonable care under all circumstances of particular case. Doctrine of negligence rest on duty of every person to exercise due care in his conduct toward others from which injury may result.”
Jelas untuk dapat menentukan adanya malpraktik medik yang menimbulkan tanggungjawab medik, maka unsur utamanya adalah adanya kelalaian (negligent). Kelalaian dalam arti yang umum adalah adanya kekurang hati-hatian yang dilakukan dalam situasi dan kondisi yang sama. Apabila pasien tidak dapat menentukan kekurang hatian-hatian yang bagaimana yang dilakukan oleh TK, maka tidak ada kasus.
Pengertian kelalaian seperti yang dikutip dari Blacks Law Dictionary, secara panjang lebar merumuskan apa yang dimaksudkan dengan kelalaian secara umum. Terdapat masih sangat banyak pengertian khusus mengenai kelalaian dikaikan dengan bidangnya masing-masing.
Gugatan Malpraktik Medik
Sebelumnya telah diuraian tentang malpraktik medik dan unsur utama dari pertanggungjawaban medik, perlu adanya penentuan tentang adanya kelalaian. Kemudian kalau pasien dapat menentukan adanya kelalaian, maka untuk dapat mengajukan gugatan jelas harus ada dasar hukumnya, yang dijadikan sebagai dasar gugatan. Hukum Perdata Indonesia, masih tetap memakai Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) sebagai hukum positif.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang gugatan, maka perlu pula digambarkan tentang hubungan hukum yang melahirkan perikatan. Terdapat dua macam perikatan menurut Pasal 1233 KUHPer, yaitu “perikatan yang lahir dari perjanjian” dan “perikatan yang lahir dari undang-undang”.
Kemudian mengenai jenis perikatan yang relevan untuk digambarkan, tidak diatur oleh Undang-undang, namun dikemukakan oleh para pakar ilmu hukum Belanda, diakui sebagai doktrin hukum, tentang dua macam perikatan dilihat dari prestasi yang harus diberikan, yaitu “perikatan ikhtiar” (inspanning verbeintenis) dan “perikatan hasil” (resultaat verbintenis).
Hubungan TK dan pasien, pada dasarnya memberikan prestasi berupa ikhtiar, yaitu upaya semaksimal mungkin, hanya beberapa perikatan yang timbul mendasarkan prestasi hasil, sebagai misal bedah kosmetik, tentunya harus mendasarkan kepada hasil yang dijanjikan, lain lagi dalam hal bedah rekonstruksi, maka hasilnya juga berupaya semaksimal mungkin.
Seperti dituliskan di atas, bahwa malpraktik medik mensyaratkan adanya kelalaian/kesalahan, sehingga gugatan juga mensyaratkan adanya kelalaian/kesalahan. Tujuan dari gugatan adalah untuk mendapatkan ganti rugi, sehingga dasar gugatan dapat dilakukan dengan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Jelas untuk menggugat berdasarkan wanprestasi, pertama-tama hanya dapat dilakukan apabila ada perjanjian, kemudian hasilnya harus tertentu. Sedangkan seperti dituliskan di atas, menurut doktrin hukum perikatan, perikatan yang timbul hampir kebanyakan adalah perikatan ikhtiar, yakdi prestasinya berupa “upaya semaksimal mungkin”, bukan “hasil tertentu”.
Perbedaan antara perikatan ikhtiar dan perikatan hasil adalah pada perikatan ikhtiar prestasinya berupa ikhtiar (upaya semaksimal mungkin), sulit untuk ditentukan ukurannya, sedangkan pada periktan hasil, prestasinya berupa hasil tertentu yang dapat diukur. Akibatnya, pada perjanjian antara TK dan pasien yang jadi dasar dari perikatan ikhtiar, maka prestasinya sulit untuk diukur, kalau pretasinya sulit diukur, maka sulit untuk menggugat TK dengan dasar wanprestasi (ingkar janji), kalau TK telah cukup berikhtiar, maka telah dipenuhi prestasi yang diperjanjikan.
Dengan perkataan lain, meski pun ada perjanjian atau tidak ada perjanjian antara TK dan pasien, maka dasar hukum dari gugatan terhadap TK adalah apa yang dikenal dengan perbuatan melanggar hukum (PMH) yang diatur di dalam pasal 1365 KUHPer.
Pasal 1365 KUHPerdt: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salah menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Unsur-unsur dari ketentuan yang ada di dalam pasal 1365 KUHPer, adalah: ada perbuatan melanggar hukum, ada kesalahan, ada kerugian, ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian.
Sedangkan yang dimaksud dengan PMH menurut pasal 1365 KUHPer adalah:
Kemudian pasal 1366 KUHPer menentukan: “Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebebkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Ketentuan pasal 1365 KUHPer menyebutkan adanya kesalahan (schuld), sedangkan pasal 1366 KUHPer menentikan adanya kelalaian (nalatigheid). Jadi, apakah perbuatan itu disengaja, atau pun karena kalalaian/kurang hati-hati, asalkan menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ganti rugi.
Dengan perkataan lain:
Tuntutan Malpraktik Medik
Pidana secara harfiah artinya hukuman (straf), Hukum pidana artinya Hukum tentang hukuman. Sistem Hukum Pidana membagi dua macam perbuatan yang dapat dipidana, yaitu pelanggaran dan kejahatan. Suatu perbuatan dapat dituntut dengan pidana (hukuman), apabila memenuhi unsur-unsur yang ditentukan oleh Hukum Pidana.
Kemudian di dalam hukum pidana sebuah asas yang ditetapkan di dalam KUHP adalah sangat penting, yaitu asas “nullum delictum poena sina sanctie”. Artinya tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Jadi menurut asas ini, kalau tidak diatur telah melanggar ketentuan hukum, maka perbuatan itu tidak dapat dihukum, meski pun akibat perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Seharusnya dalam tindakan medik, perbuatan TK yang dapat dipidana, adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian berupa catat badan yang permanen atau kematian. Apabila kerugian itu dapat diperbaiki, dalam arti tidak menimbulkan bekas, maka TK tidak dapat dituntut pidana.
Perasaan tidak menyenangkan, penderitaan, tidak sembuh dan banyak lainnya, bukan dasar untuk memidanakan TK. Namun di Indonesia hal ini menjadi kabur, karena itu dijadikan dasar pengaduan pasien. Terutama “tidak sembuh” tidak dapat dijadikan dasar tuntutan, karena prestasi TK adalah berupaya semaksimal mungkin, dan faktor kesembuhan pasien, bukan hanya karena faktor TK.
Dasar tuntutan terhadap TK harus jelas, luka berat yang mengakibatkan cacat dan kematian saja yang pantas untuk dihukum, selama masih terjadi pemulihan, maka TK tidak dapat dituntut.
Kiat Menghadapi Gugatan/Tuntutan Malpraktik
Sehubungan gugatan/tuntutan ada di bidang hukum, maka penulisan ini hanya hal-hal yang menyengkut tentang hukum. Seringkali, TK karena rutinitas menjalankan pekerjaan, yang menjadi pekerjaan yang diulang-ulang, menjadi kurang hati-hati. Kekurang hati-hatian ini, dapat berakibat fatal, karena kelalaian kecil saja dapat berakibat besar.
TK dapat menggunakan beberapa ketentuan dari lembaga hukum yang dapat membantu TK dalam mengurangi kemungkinan digugat/dituntut oleh pasien. Kemudian di luar dari itu terdapat beberapa hal yang perlu juga diperhatikan oleh TK.
Terdapat bermacam-macam bentuk hubungan antara TK dan pasien, antara lain hubungan medik, hubungan hukum. TK dan pasien dalam hubungan medik kedudukannya tidak seimbang, lain dengan hubungan hukum, diasumsikan kedudukan keduanya sederajat.
TK dengan kepandaian dan keterampilan yang didapat di lembaga pendidikan formal adalah seorang pakar di bidangnya (profesional), akan berupaya semaksimal mungkin (ikhtiar) membantu pasien untuk mengobati sakit yang diderita, karena pasien adalah orang awam dalam bidang pengobatan penyakit.
Selain itu antara TK dan pasien terdapat pola hubungan yang paternalistik, yakni TK akan berupaya semaksimal mungkin sebagai bapak yang baik, untuk kesembuhan pasien dan pasien akan berbuat sebagai anak yang baik, mematuhi nasihat dari TK.
Selanjutnya hubungan antara TK dan pasien, menurut hukum adalah hubungan hukum antara subyek hukum dengan subyek hukum, untuk melakukan jasa pelayanan kesehatan dan terbentuk perikatan (verbintenis). Tujuan dari hubungan hukum ini adalah upaya membantu mengobati pasien dari penyakit yang dideritanya. Terdapat hak dan kewajiban yang timbal balik antara TK dan pasien dan kedudukan keduanya sederajat.
Tubuh manusia mempunyai keunikan yang sangat komplek, yang terdiri dari badan dan jiwa (fisik dan psikis), keduanya adalah dua sisi dari sebuah mata uang, yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, sehingga apa yang diartikan dengan kesehatan, adalah keadaan sehat baik fisik maupun psikis.
Upaya pengobatan yang dilakukan oleh TK, sebatas kemampuan “manusia biasa” (bukan manusia luar biasa) dengan keterbatasannya sebagai manusia, yang berupaya mengobati penyakit pasien, baik fisik mau pun psikis berdasarkan kepandaian yang didapat dari pendidikan formal dan pengalaman, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Seperti diketahui, kesembuhan pasien tidak hanya tergantung dari faktor TK saja, juga tergantung dari sangat banyak faktor lainnya, selain juga faktor pasien sendiri, juga pada ketersediaan alat-alat penunjang kedokteran dan obat-obatan. Tidak mungkin TK mengobati pasien hanya berbekal kepandaiannya semata, kepandaian/keterampilan TK hanya dapat mendiagnosis penyakit yang diderita pasien dan kemudian menentukan terapi, sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada.
Mengharapkan kesempurnaan seperti diungkapkan di atas adalah mustahil, namun kadang-kadang pengharapan pasien kepada TK sedemikian besar, sehingga pasien menganggap TK adalah manusia super yang serba bisa, yang selalu dapat mengobati penyakit pasien dan bekerja tanpa kesalahan/kelalaian dan tanpa risiko.
Risiko selalu dapat terjadi dalam setiap tindakan medik, bahkan sekecil apa pun juga tindakan medis, selalu mengandung risiko. Kadang-kadang memang sulit untuk membedakan apakah “kegagalan” sembuhnya pasien, karena risiko yang terjadi atau kesalahan/kelalaian dari TK, terlebih lagi bagi pasien, yang awam dalam bidang kedokteran. Sehingga pasien yang awam selalu menganggap “kegagalan” menjadi sembuh sebagai kesalahan/kelalaian tindakan medik (malpraktik).
Malpraktik Medik
Istilah malpraktik adalah istilah yang umum, tentang kesalahan yang dilakukan oleh profesional dalam menjalankan profesinya. Namun akhir-akhir ini, kalau dibicarakan mengenai malpraktik, pasti yang dibicarakan adalah tentang kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh TK terhadap pasien. Malpraktik yang dilakukan oleh TK, dikenal sebagai malpraktik medik (medical malpractice).
Seorang advokat pun dapat melakukan malpraktik, bahkan ekstrimnya, seorang imam pun dapat melakukan malpraktik, karena advokat dan imam, dalam melakukan pekerjaannya dapat digolongkan sebagai profesional.
Kamus Hukum Blacks Law Dictionary menyebutkan pengertian dari malpractice adalah: “Any professional misconduct or unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct.”
Pengertian malpraktik secara umum di atas menyebutkan adanya kesembronoan (professional misconduct) atau ketidakcakapan yang tidak dapat diterima (unreasonable lack of skill) yang diukur dengan ukuran yang terdapat pada tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikkan pada setipa situasi dan kondisi di dalam komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan keahlian rata-rata.
Secara khusus tentunya dikenal adanya medical malpractice, yang dimaksudkan dengan medical malpractice adalah: “In medical malpractice litigation, negligence is the predominant theory of liability. In order to recover for negligent malpractice, the plaintiff must establish the following elements: (1) the existence of the physician’s duty to the plaintiff, usually based upon the physician-patient relationship; (2) the applicable standard of care and its violation; (3) a compensable injury; and (4) a causal connection between the violation the standard of care and the harm complained of."
Malpraktik medik dalam proses pengadilan memerlukan penentuan tentang kelalaian dalam teori pertanggungjawaban hukum. Kemudian pertanggungjawaban hukum selalu menuntut dipenuhinya unsur-unsur dari perbuatan melanggar hukum, yang dimulai dengan adanya kewajiban dokter terhadap pasien di dalam hubungan dokter-pasien; adanya cedera yang dapat dimintakan ganti ruginya; adanya hubungan kausal antara pelanggaran terhadap standar pelayanan dan kerugian yang dituntut.
Untuk mendapatkan pengertian lebih jelas mengenai malpraktik medik, perlu pula diberikan pengertian tentang “maltreatment” yang dikaitkan dengan TK yang “memegang pisau”, yaitu “in reference to the treatment of his patient by a surgeon, this term signifies improper or unskillful treatment; it may result either from ignorance, neglect, or willfulness; but the word does not necessarily imply that the conduct of the surgeon, in his treatment of the patient, is either willfully or grossly careless.”
Dimaksudkan dengan maltreatment adalah pemberian pelayanan pengobatan dan perawatan yang tidak pantas atau yang tidak dilakukan dengan keterampilan. Hal ini dapat saja dilakukan karena kesembronoan, kelalaian atau kesengajaan.
Ukuran dari terjadinya professional misconduct atau unreasonable lack of skill tersebut di atas, adalah yang dikenal dengan ukuran (standar) profesi. Selanjutnya untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik tentang malpraktik medik, maka perlu pula digambarkan tentang apa yang dikenal sebagai “standard of care”, yaitu: “In law of negligence, that degree of care which a reasonable prudent person should exercise in same or similar circumstances. If a person’s conduct falls below such standard, he may be liable in damages for injuries or damages resulting from his conduct. In medical, legal, etc., malpractice cases a standard of care is applied to measure a competence of the professional. The traditional standard for doctors is that he exercise the “average degree of skill, care and diligence exercised by members of the same profession, practicing in the same or a similar locality in the light of the present state of medical and surgical science”. With increased specialization, however, certain courts have disregarded geographical considerations holding that in the practice of a board-certified medical or surgical specialty, the standard should be that of a reasonable specialist practicing medicine or surgery in the same special field.”
Pengertian tentang standard of care, menyebutkan adanya derajat pemeliharaan dari orang yang hati-hati akan diberikan dalam situasi dan konsisi yang sama. Apabila profesional memberikan pelayanan di bawah standar, maka profesional harus memberikan ganti rugi atas cedera yang diakibatkannya. Selain itu para profesional juga dituntut untuk memenuhi ukuran keterampilan rata-rata sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang umum.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan umum yang memberikan pengertian dari malpraktik medik, yakni apabila seorang dokter tidak dapat menyembuhkan pasien sebagai perbuatan malpraktik. Bahkan lebih parah lagi, apabila seorang pasien meninggal dunia, di dalam proses pengobatan di rumah sakit, maka telah terjadi malpraktik medik.
Jelas di dalam malpraktik terdapat unsur yang sangat penting adalah adanya kelalaian (negligence), yang seringkali pula disalahartikan. Pengertian negligence menurut Black Law Dictionary cukup rinci, dan untuk mendapatkan pengertian yang menyeluruh akan dikutip seluruhnya: “The omissions to do something which a reasonable man, guided by those ordinary considerations which ordinary regulate human affairs, would do, or the doing of something which a reasonable and prudent man would not do. Negligence is the failure to use such a care as a reasonable prudent and careful person would use under similar circumstances; it is the doing of some act which a person of ordinary prudence would have done under similar circumstances or failure to do what a person or ordinary prudence would have done under similar circumstances. Conduct which fall below the standard establish by law for the protection of others against unreasonable risk of harm; it is a departure from the conduct expectable of a reasonably prudent person under like circumstances. The term refers only that legal delinquency which result whenever a man fails to exhibit the care which ought to exhibit, whether it be slight, ordinary, or great. It is characterized chiefly by inadvertence, thoughtlessness, inattention, and the like, “wantonness” or ” recklessness” id characterized by willfulness. The law of negligence is founded or reasonable conduct or reasonable care under all circumstances of particular case. Doctrine of negligence rest on duty of every person to exercise due care in his conduct toward others from which injury may result.”
Jelas untuk dapat menentukan adanya malpraktik medik yang menimbulkan tanggungjawab medik, maka unsur utamanya adalah adanya kelalaian (negligent). Kelalaian dalam arti yang umum adalah adanya kekurang hati-hatian yang dilakukan dalam situasi dan kondisi yang sama. Apabila pasien tidak dapat menentukan kekurang hatian-hatian yang bagaimana yang dilakukan oleh TK, maka tidak ada kasus.
Pengertian kelalaian seperti yang dikutip dari Blacks Law Dictionary, secara panjang lebar merumuskan apa yang dimaksudkan dengan kelalaian secara umum. Terdapat masih sangat banyak pengertian khusus mengenai kelalaian dikaikan dengan bidangnya masing-masing.
Gugatan Malpraktik Medik
Sebelumnya telah diuraian tentang malpraktik medik dan unsur utama dari pertanggungjawaban medik, perlu adanya penentuan tentang adanya kelalaian. Kemudian kalau pasien dapat menentukan adanya kelalaian, maka untuk dapat mengajukan gugatan jelas harus ada dasar hukumnya, yang dijadikan sebagai dasar gugatan. Hukum Perdata Indonesia, masih tetap memakai Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) sebagai hukum positif.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang gugatan, maka perlu pula digambarkan tentang hubungan hukum yang melahirkan perikatan. Terdapat dua macam perikatan menurut Pasal 1233 KUHPer, yaitu “perikatan yang lahir dari perjanjian” dan “perikatan yang lahir dari undang-undang”.
Kemudian mengenai jenis perikatan yang relevan untuk digambarkan, tidak diatur oleh Undang-undang, namun dikemukakan oleh para pakar ilmu hukum Belanda, diakui sebagai doktrin hukum, tentang dua macam perikatan dilihat dari prestasi yang harus diberikan, yaitu “perikatan ikhtiar” (inspanning verbeintenis) dan “perikatan hasil” (resultaat verbintenis).
Hubungan TK dan pasien, pada dasarnya memberikan prestasi berupa ikhtiar, yaitu upaya semaksimal mungkin, hanya beberapa perikatan yang timbul mendasarkan prestasi hasil, sebagai misal bedah kosmetik, tentunya harus mendasarkan kepada hasil yang dijanjikan, lain lagi dalam hal bedah rekonstruksi, maka hasilnya juga berupaya semaksimal mungkin.
Seperti dituliskan di atas, bahwa malpraktik medik mensyaratkan adanya kelalaian/kesalahan, sehingga gugatan juga mensyaratkan adanya kelalaian/kesalahan. Tujuan dari gugatan adalah untuk mendapatkan ganti rugi, sehingga dasar gugatan dapat dilakukan dengan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Jelas untuk menggugat berdasarkan wanprestasi, pertama-tama hanya dapat dilakukan apabila ada perjanjian, kemudian hasilnya harus tertentu. Sedangkan seperti dituliskan di atas, menurut doktrin hukum perikatan, perikatan yang timbul hampir kebanyakan adalah perikatan ikhtiar, yakdi prestasinya berupa “upaya semaksimal mungkin”, bukan “hasil tertentu”.
Perbedaan antara perikatan ikhtiar dan perikatan hasil adalah pada perikatan ikhtiar prestasinya berupa ikhtiar (upaya semaksimal mungkin), sulit untuk ditentukan ukurannya, sedangkan pada periktan hasil, prestasinya berupa hasil tertentu yang dapat diukur. Akibatnya, pada perjanjian antara TK dan pasien yang jadi dasar dari perikatan ikhtiar, maka prestasinya sulit untuk diukur, kalau pretasinya sulit diukur, maka sulit untuk menggugat TK dengan dasar wanprestasi (ingkar janji), kalau TK telah cukup berikhtiar, maka telah dipenuhi prestasi yang diperjanjikan.
Dengan perkataan lain, meski pun ada perjanjian atau tidak ada perjanjian antara TK dan pasien, maka dasar hukum dari gugatan terhadap TK adalah apa yang dikenal dengan perbuatan melanggar hukum (PMH) yang diatur di dalam pasal 1365 KUHPer.
Pasal 1365 KUHPerdt: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salah menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Unsur-unsur dari ketentuan yang ada di dalam pasal 1365 KUHPer, adalah: ada perbuatan melanggar hukum, ada kesalahan, ada kerugian, ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian.
Sedangkan yang dimaksud dengan PMH menurut pasal 1365 KUHPer adalah:
- adanya perbuatan yang melanggar undang-undang, ketertiban dan kesusilaan
- adanya perbuatan yang melanggar hak orang lain
- adanya perbuatan yang tidak memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi.
Kemudian pasal 1366 KUHPer menentukan: “Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebebkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Ketentuan pasal 1365 KUHPer menyebutkan adanya kesalahan (schuld), sedangkan pasal 1366 KUHPer menentikan adanya kelalaian (nalatigheid). Jadi, apakah perbuatan itu disengaja, atau pun karena kalalaian/kurang hati-hati, asalkan menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ganti rugi.
Dengan perkataan lain:
- apabila terjadi kesalahan/kelalaian, namun tidak menimbulkan kerugian, tidak dapat digugat ganti rugi
- begitu pula apabila terdapat kerugian, namun tidak terdapat kesalahan/kelalaian, maka tidak dapat digugat ganti rugi
- di samping itu, ada kerugian, ada kesalahan/kelalaian, naumn tidak ada hubungan sebab akibat, maka itu pun tidakn dpat digugat ganti rugi
- keempat unsur dari PMH harus dipenuhi.
Tuntutan Malpraktik Medik
Pidana secara harfiah artinya hukuman (straf), Hukum pidana artinya Hukum tentang hukuman. Sistem Hukum Pidana membagi dua macam perbuatan yang dapat dipidana, yaitu pelanggaran dan kejahatan. Suatu perbuatan dapat dituntut dengan pidana (hukuman), apabila memenuhi unsur-unsur yang ditentukan oleh Hukum Pidana.
Kemudian di dalam hukum pidana sebuah asas yang ditetapkan di dalam KUHP adalah sangat penting, yaitu asas “nullum delictum poena sina sanctie”. Artinya tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Jadi menurut asas ini, kalau tidak diatur telah melanggar ketentuan hukum, maka perbuatan itu tidak dapat dihukum, meski pun akibat perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Seharusnya dalam tindakan medik, perbuatan TK yang dapat dipidana, adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian berupa catat badan yang permanen atau kematian. Apabila kerugian itu dapat diperbaiki, dalam arti tidak menimbulkan bekas, maka TK tidak dapat dituntut pidana.
Perasaan tidak menyenangkan, penderitaan, tidak sembuh dan banyak lainnya, bukan dasar untuk memidanakan TK. Namun di Indonesia hal ini menjadi kabur, karena itu dijadikan dasar pengaduan pasien. Terutama “tidak sembuh” tidak dapat dijadikan dasar tuntutan, karena prestasi TK adalah berupaya semaksimal mungkin, dan faktor kesembuhan pasien, bukan hanya karena faktor TK.
Dasar tuntutan terhadap TK harus jelas, luka berat yang mengakibatkan cacat dan kematian saja yang pantas untuk dihukum, selama masih terjadi pemulihan, maka TK tidak dapat dituntut.
Kiat Menghadapi Gugatan/Tuntutan Malpraktik
Sehubungan gugatan/tuntutan ada di bidang hukum, maka penulisan ini hanya hal-hal yang menyengkut tentang hukum. Seringkali, TK karena rutinitas menjalankan pekerjaan, yang menjadi pekerjaan yang diulang-ulang, menjadi kurang hati-hati. Kekurang hati-hatian ini, dapat berakibat fatal, karena kelalaian kecil saja dapat berakibat besar.
TK dapat menggunakan beberapa ketentuan dari lembaga hukum yang dapat membantu TK dalam mengurangi kemungkinan digugat/dituntut oleh pasien. Kemudian di luar dari itu terdapat beberapa hal yang perlu juga diperhatikan oleh TK.
- Pemerintah melalu Permenkes no. 585/1989 telah menetapkan aturan tentang persetujuan tindakan medik dan di dalam UU No. 29/2004 tentang praktik kedokteran, juga diatur beberapa ketentuan tentang persetujuan tindakan medik. TK harus menggunakan lembaga informed consent secara maksimal, pasien diberi informasi yang benar dan adekuat, kemudian pasien dalam memberikan persetujuan setelah benar-benar mengerti informasi yang diterima. Pekerjaan ini sangat membosankan, namun ini adalah salah satu cara untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Masalah yang timbul adalah kalau informasi terlalu banyak menyebabkan pasien menjadi takut, ini bukan menjadi masalah TK, untuk menghindari kemungkinan salah paham.
- Selain informed consent, yang perlu dipenuhi dan menjadi keharusan pula untuk mencatat dengan benar dan rinci seluruh proses tindakan medik di dalam rekam medik dan berkas pemerikasaan penunjang pasien dikumpulkan dengan baik, sehingga pada waktunya apabila ada gugatan/tuntutan dari pasien, maka berkas rekam medik dapat digunakan sebagai alat bukti yang berisi proses tindakan medik.
- TK harus bekerja sesuai dengan standar profesi medik, bertindak teliti dan hati-hati. Kemudian selalu menambah pengetahuan baik secara formal mau pun informal.
- Selain itu, perlu menghargai hak-hak pasien yang lainnya selain informasi, persetujuan, dan rekam medik, yaitu rahasia kedokteran dan mendapatkan second opinion.
- Hal lain yang perlu pula disiapkan oleh TK, adalah mengerti dan mengetahui tentang hukum pada umumnya, khususnya tentang hukum kesehatan. Mempelajari hukum secara formal tentunya paling baik, namun secara informal pun cukup. Buta sama sekali terhadap hukum, sangat tidak bijaksana.
- Akhirnya, kalau menghadap gugatan/tuntutan hukum, jangan bertindak sendiri, perlu kebijaksaaan dalam memilih siapa yang jadi pembela. Gugatan/tuntutan tidaklah mungkin dihadapi TK tanpa bantuan pihak yang mengerti hukum.
Post a Comment