Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Malpraktik dan Tanggung Jawab Korporasi

Labels:
Dalam beberapa tahun belakangan ini yang dirasakan mencemaskan oleh dunia perumahsakitan di Indonesia adalah meningkatnya tuntutan dan gugatan malpraktik (dengan jumlah ganti rugi yang semakin hari semakin spektakuler), utamanya sejak diberlakukannya UU no.8/1999 tentang perlindungan konsumen. Apakah UU itu yang menjadi pemicu berubahnya masyarakat kita menjadi masyarakat yang semakin gemar menuntut (litigious society) ataukah karena ada sebab lain, belum ada konfirmasi yang patut dipercaya. Namun yang jelas, situasi dunia perumahsakitan kita sekarang ini amat mirip dengan krisis malpraktik (malpractice crisis) yang pernah melanda Amerika Serikat sekitar 40 tahun yang lampau, yaitu sejak rumah sakit (RS) tidak lagi dianggap kebal terhadap segala bentuk gugatan. Sebelumnya, RS dianggap sebagai lembaga sosial kebal hukum berdasarkan doctrine of charitable immunity, sebab pertimbangannya, menghukum RS membayar gantirugi sama artinya dengan mengurangi assetnya, yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuannya untuk menolong masyarakat banyak.
Perubahan paradigma tersebut terjadi sejak kasus Darling vs Charleston Community Memorial Hospital (1965), yakni kasus mula pertama yang mempersamakan institusi RS sebagai person (subjek hukum) sehingga oleh karenanya dapat dijadikan target gugatan atas kinerjanya yang merugikan pasien. Pertimbangannya antara lain karena banyak RS mulai melupakan fungsi sosialnya serta dikelola sebagaimana layaknya sebuah industri dengan manajemen modern, lengkap dengan manajemen risiko. Dan dengan manajemen risiko tersebut maka sudah seharusnya apabila RS mulai menempatkan gugatan ganti rugi sebagai salah satu bentuk risiko bisnisnya serta memperhitungkannya untuk dipikul sendiri risiko itu (risk financing retention) ataukah akan dialihkan kepada perusahaan asuransi (risk financing transfers) melalui program asuransi malpraktik.
Situasi krisis yang mencemaskan tersebut jelas tidak menguntungkan bagi pengelolaan dan pengembangan RS dan oleh karenanya perlu diwaspadai. Tetapi yang paling penting bagi setiap pengelola dan pemilik RS adalah memahami lebih dahulu bahwa sebelum gugatan malpraktik dapat dibuktikan maka setiap sengketa yang muncul antara health care receiver dan health care provider baru boleh disebut sebagai konflik akibat adanya ketidaksesuaian logika atas sesuatu masalah; utamanya atas terjadinya adverse event (injury caused by medical management rather than the underlying condition of the patient). Menurut Winardi (1994), konflik diartikan sebagai ketidaksesuaian paham atas situasi tentang pokok-pokok pikiran tertentu atau karena adanya antagonisme-antagonisme emosional. Maka berbagai konflik yang melanda dunia perumahsakitan kita sekarang ini tidak harus dipandang sebagai hal yang luar biasa sehingga tidak perlu disikapi secara tidak proporsional. Dilihat dari sisi positifnya justru konflik atau sengketa dapat meningkatkan kreatifitas, inovasi, intensitas upaya, kohesi kelompok serta mengurangi ketegangan.
Dunia perumahsakitan juga harus merasa risih dan bersikap jujur karena pada kenyataannya masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam melaksanakan tatakelola klinik yang baik (good clinical governance), disamping belum secara sempurna mampu memenuhi prinsip-prinsip dalam merancang sistem pelayanan kesehatan yang lebih aman (safer health care system) guna mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi terjadinya adverse events.
Konflik itu sendiri sebetulnya hanya akan terjadi kalau ada prakondisi atau predisposing factor, misalnya berupa adverse events (yang pada hakekatnya merupakan kesenjangan antara harapan pasien ketika memilih RS dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya upaya medis). Sedangkan trigger factors-nya antara lain karena adanya perbedaan persepsi, komunikasi ambigius atau gaya individual yang bisa datang dari pihak dokter sendiri (arogan, ketus, enggan memberikan informasi dan sebagainya) atau dari pihak pasien (misalnya chronic complainer atau sikap temperamental). Tarif yang tinggi juga dapat menjadi pemicu munculnya klaim atas pelayanan yang kurang sempurna. Dari pengalaman saya sebagai kosultan di salah satu RS swasta diperoleh temuan bahwa tidak jarang pemicunya justru datang dari penilaian spekulatif yang bersifat negatip atas terjadinya adverse events dari teman sejawat dokter (yang barangkali saja ingin mengambil keuntungan, misalnya agar oleh pasien dianggap lebih hebat atau lebih pandai).
Mengenai perbedaan persepsi, biasanya disebabkan keidakmampuan pihak pasien untuk memahami logika medis bahwa upaya medis merupakan upaya yang penuh uncertainty dan hasilnya pun tidak dapat diperhitungkan secara matematis karena sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar kontrol dokter untuk mengendalikannya; misalnya daya tahan tubuh, mekanisme pertahanan tubuh, jenis dan tingkat virulensi penyakit, stadium penyakit, kualitas obat, respon individual terhadap obat (sebagai sebagai konsekuensi belum ditemukannya obat-obatan farmakogenomik yang sesuai dengan konstitusi genetik tiap-tiap pasien) serta kepatuhan pasien dalam mengikuti prosedur dan nasehat dokter serta perawat. Banyak masyarakat menyangka bahwa upaya medis yang dilakukan dokter merupakan satu-satunya variabel yang dapat mempengaruhi kondisi kesakitan pasien sehingga parameternya, kalau upaya tersebut sudah benar menurut logika mereka tidak seharusnya pasien meninggal dunia, bertambah buruk kondisinya atau malahan muncul problem-problem baru. Pada kenyataannya upaya medis yang terbaik dan termahal sekalipun belum tentu dapat menjamin kesembuhan, demikian pula sebaliknya. Bahkan tidak jarang dokter melakukan kesalahan diagnosis dan dengan sendirinya diikuti kesalahan terapi, tetapi justru pasien dapat sembuh (berkat mekanisme pertahanan tubuhnya sendiri). Oleh sebab itu tidaklah salah jika ada sementara ahli yang menyatakan “medicine is a science of the uncertainty, an art of the probability”.
Pemahaman yang kurang memadai tentang hakekat upaya medis tersebut masih diperparah lagi oleh minimnya pemahaman mengenai hukum; misalnya tentang bentuk perikatan yang terjadi menyusul disepakatinya hubungan terapetik (yang konsekuensinya memunculkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak). Tidak banyak masyarakat yang faham bahwa perikatan yang terjadi antara health care receiver dan health care provider merupakan inspanning-verbintenis (perikatan upaya) sehingga konsekuensi hukumnya, RS tidak dibebani kewajiban untuk mewujudkan hasil (berupa kesembuhan), melainkan hanya dibebani kewajiban melakukan upaya sesuai standar (standard of care); yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis yang mencerminkan telah diterapkannya ilmu, ketrampilan, pertimbangan dan perhatian yang layak sebagaimana yang dilakukan oleh dokter pada umumnya dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula (Hubert Smith). Dengan tingkat kualitas seperti itu diharapkan mampu menyelesaikan problem kesehatan pasien, namun jika pada kenyataannya harapan tersebut tidak terwujud atau bahkan terjadi adverse events atau risiko medis, tidak serta merta dokter atau RS harus dipersalahkan.

Adverse Event dan Malpraktik
Banyak kalangan LSM menengarai adanya sesuatu yang tak beres yang menyebabkan gugatan pasien lewat jalur hukum selalu kandas di pengadilan. Mereka acapkali menuding sebagai penyebabnya adalah karena tidak adilnya keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (yang anggotanya terdiri dari para dokter) serta keberpihakan keterangan saksi ahli (yang notabene diambil dari sejawatnya sendiri) sehingga menyesatkan hakim. Namun dari amatan saya secara sepintas, justru kualitas dari gugatan itu sendirilah yang kabur (obscure libel) karena tidak didukung oleh logika medis dan logika hukum yang benar sehingga amat wajar apabila keputusan pengadilan hampir selalu memenangkan RS atau dokter. Saya katakan demikian karena nampaknya mereka telah menggeneralisasi setiap adverse event sebagai malpraktik. Mestinya setiap adverse event dianalisis lebih dahulu (mengingat tidak semua adverse events identik dengan malpraktik) dan sesudah itu barulah dipilah apakah kasus tersebut merupakan kasus pidana, perdata ataukah kecelakaan (misadventure).
Dalam kasus pidana maka menjadi kewajiban Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan dipenuhinya unsur pidana yang terdiri atas perbuatan tercela (actus reus) dan sikap batin yang salah (mens rea) yang melatar-belakangi perbuatan tercela tersebut. Apabila terbukti bersalah maka tanggungjawab hukumnya (criminal resposibility) selalu bersifat individual dan personal sehingga tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Perlu ditambahkan disini bahwa di berbagai negara yang menganut Common Law System pada awalnya memasukkan malpraktik sebagai tort (civil wrong againsts a person or properties) sehingga tidak ada pidana bagi dokter yang melakukan malpraktik melainkan gugatan ganti rugi. Namun kecenderungan internasional akhir-akhir ini mulai ada upaya-upaya (walaupun kasusnya masih sangat jarang) untuk mempidanakan dokter, utamanya atas kasus malpraktik yang mengakibatkan kematian. Kecenderungan tersebut tentunya dapat menambah keyakinan LSM disini yang selama ini lebih suka membawa kasus malpraktik ke peradilan pidana, apalagi tindakan seperti itu dimungkinkan mengingat adanya Psl 359 KUHP yang merupakan pasal keranjang sampah.
Sedangkan dalam kasus perdata, yang harus membuktikan adalah pihak penggugat (pasien) mengingat “siapa yang mendalilkan (bahwa dokter bersalah) maka dialah yang membuktikan”. Untuk itu penggugat harus membuktikan adanya keempat unsur D dari malpraktik; yaitu (D)uty, (D)ereliction of duty, (D)amages dan (D)irect causation betweem dereliction of duty and damages. Tentunya yang paling sulit bagi penggugat ialah membuktikan unsur D yang terakhir (Direct causation), namun pembuktian unsur itu beserta 3 unsur lainnya dari malpraktik menjadi tidak diperlukan lagi manakala ditemukan fakta yang mampu berbicara sendiri (misalnya ditemukannya gunting atau pinset di dalam perut pasien) sehingga dapat diberlakukan doktrin Res Ipsa Loquitur (the thing speaks for itself) yang secara otomatis membuktikan adanya malpraktik. Adapun mengenai tanggunggugatnya (civil liability) dapat ditanggung sendiri oleh dokter yang bersangkutan atau dalam kondisi tertentu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan ajaran tanggung-renteng (doctrine of vicarious liability).
Contoh kasus paling gamblang yang menggambarkan kekurangcermatan pihak pasien dalam menuntut dan menggugat adalah kasus dilaporkannya dokter ke polisi disertai pengajuan gugatan ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang ditolong kelahirannya dengan vacuum extractie menderita komplikasi kelumpuhan otot leher. Juga kasus dilaporkannya dokter ke polisi karena terjadinya Steven Johnson syndrome akibat obat (yang seringkali mustahil dapat diramalkan sebelumnya). Betul pada kedua kasus itu ada damage, tetapi persoalannya, adakah unsur dereliction of duty yang secara langsung telah mengakibatkan damage tersebut?
Dari penelitian yang dilakukan oleh Institute of Medicine diperoleh gambaran bahwa sekitar 2,9 % sampai 3,7 % dari pasien rawat inap mengalami adverse event, berupa:
  • Perpanjangan hospitalisasi
  • Cacat saat meninggalkan RS
  • Cacat tetap
  • Adverse drug event
  • Infeksi luka
  • Meninggal dunia
Sekitar 70 % dari adverse event tersebut di atas disebabkan oleh error (diagnostic, treatment, preventive and others) yang dapat dicegah sehingga disebut preventable adverse event dan hanya sekitar 27,6 % dari preventable adverse event yang dapat dikatagorikan sebagai malpraktik (negligence atau culpa). Jadi kalau dihitung-hitung sebenarnya sangat kecil sekali bagian dari adverse event yang dapat dihubungkan dengan malpraktik, sedangkan selebihnya merupakan adverse event yang tidak termasuk pelanggaran hukum; baik yang bersifat error of commission (melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan) maupun error of omission (tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan).
Agaknya apa yang diuraikan di atas sejalan dengan teori Perrow (the Perrow’s Normal Accident Theory) yang menyatakan bahwa:
  1. Dalam sistem tertentu, kecelakaan tidak dapat dihindari sama sekali.
  2. Dalam industri yang komplek dan berteknologi tinggi maka kecelakaan merupakan hal yang normal.
Perlu disadari bahwa pelaksanaan layanan kesehatan di RS merupakan pekerjaan yang sulit, rumit dan komplek serta memerlukan bantuan teknologi (metode, alat dan obat-obatan). Maka dalam kaitannya dengan upaya keselamatan pasien, The National Patient Safety Foundation menyimpulkan bahwa:
  1. Keselamatan pasien (patient safety) diartikan sebagai upaya menghindari dan mencegah adverse event (adverse outcome) yang disebabkan oleh proses layanan serta meningkatkan mutu outcome.
  2. Keselamatan pasien tidak hanya tertumpu pada orang (person), peralatan atau departemen saja, tetapi juga interaksi dari berbagai komponen dan sistem.
Hal-hal tersebut di atas seyogyanya difahami lebih dahulu oleh pasien dan pengacaranya sebelum memutuskan menggugat, disamping perlu pula memahami logika hukum sebagaimana disebutkan di bawah ini, yaitu:
  1. Hubungan terapetik antara pasien dan RS merupakan hubungan kontraktual dan oleh karenanya semua azas dalam berkontrak berlaku, utamanya azas utmost of good faith (iktikad baik).
  2. Perikatan yang timbul sebagai konsekuensi hubungan terapetik merupakan jenis perikatan dimana RS hanya dibebani kewajiban oleh hukum untuk memberikan upaya yang benar (inspanning atau effort), bukan hasil (resultaat atau result).
  3. Adverse event yang terjadi tidak secara otomatis merupakan bukti adanya malpraktik.
  4. Pembuktian malpraktik menghendaki adanya unsur 4 D (Duty, Dereliction of duty, Damage dan Direct causation between damage and dereliction of duty) atau kalau tidak harus ada fakta yang benar-benar dapat berbicara sendiri (Res Ipsa Loquitur).
  5. Kesalahan diagnosis tidak dapat dikatakan malpraktik sepanjang dokter, dalam membuat diagnosis telah memenuhi ketentuan dan prosedur. Perlu dipahami oleh masyarakat bahwa bagian dari pekerjaan dokter yang paling sulit adalah menegakkan diagnosis, sementara peralatan diagnostik (yang paling canggih sekalipun) hanyalah bersifat mengurangi angka kesalahan saja. Maka tidaklah aneh jika kesalahan diagnosis di Amerika tetap tinggi (sekitar 17 %). Satu hal yang paling penting adalah apakah kesalahan diagnosis itu terjadi karena kecerobohan dalam melakukan prosedur diagnosis atau tidak.
  6. Dokter dapat dituntut pidana apabila tindakannya memenuhi rumusan pidana beserta unsur-unsurnya (mens rea dan actus reus).
  7. Tanggungjawab pidana (criminal responsibility) selalu bersifat individual dan personal serta tidak dapat dialihkan kepada pihak lain (baik individu maupun korporasi).
  8. Dokter juga boleh digugat jika pasien menderita kerugian akibat ingkar janji atau karena tindakannya yang melawan hukum (onrechtmatige-daad).
  9. Tanggunggugat (civil liability) atas terjadinya malpraktik yang dilakukan oleh dokter dapat dialihkan berdasarkan doktrin tanggung-renteng (doctrine of vicarious liability).

Ganti Rugi Akibat Malpraktik
Dalam melaksanakan pengabdiannya, tidak selamanya RS dapat memberikan hasil sebagaimana diharapkan semua pihak. Adakalanya layanan tersebut justru menimbulkan malapetaka; seperti cacat seumur hidup, lumpuh, buta, tuli atau bahkan meninggal dunia. Namun RS tidak perlu merasa khawatir sebab sepanjang yang dilakukannya sudah benar (sesuai standar yang berlaku) maka adverse events yang terjadi hanya bisa dianggap sebagai bagian dari risiko medik atau sebagai sesuatu yang tak mungkin dihindari, sehingga RS tidak seharusnya bertanggunggugat atas kerugian yang dialami pasien, materiel maupun immateriel. Lain halnya apabila adverse events terjadi karena error yang benar-benar dapat dikaitkan dengan malpraktik; baik yang bersifat kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) maupun kealpaan (negligence).
Ganti rugi oleh UU Kesehatan, dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas sesuatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non-fisik. Kerugian fisik adalah kerugian karena hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, yang dalam bahasa hukum disebut kerugian materiel. Sedangkan kerugian non-fisik adalah kerugian yang berkaitan dengan martabat seseorang, yang dalam bahasa hukumnya disebut kerugian immateriel. Pertanyaan sekarang ialah, siapakah yang harus bertanggunggugat atas timbulnya kerugian itu? Dokter, RS, yayasan ataukah ketiga-tiganya?
Untuk dapat menjawab pertanyaan-prtanyaan di atas perlu dipahami lebih dahulu tentang:
  1. Jenis tanggunggugat.
  2. Pola hubungan terapetik yang terjadi.
  3. Pola hubungan kerja antara dokter dan RS.
Mengenai jenis tanggunggugat (menurut hukum perdata) dikenal ada banyak macamnya, antara lain:
- Contractual liability
Tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual.
Dalam kaitannya dengan hubungan terapetik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health care provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil (result). Karena itu dokter hanya bertanggunggugat atas upaya medik yang tidak memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikatagorikan sebagai civil malpractice.

- Liability in tort
Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum orang lain saja tetapi juga yang berlawanan dengan kesusilaan yang baik dan berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad, 31 Januari 1919).
Konsep liability in tort ini sebetulnya berasal dari Napoleontic Civil Code Art.1382, yang bunyinya: “Everyone causes damages through his own behavior must provide compensation, if at least the victim can prove a causal relationship between the fault and damages”. Konsep ini sejalan dengan Psl 1365 KUH Perdata yang bunyi lengkapnya: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Dengan adanya tanggung gugat ini maka RS atau dokter dapat digugat membayar ganti rugi atas terjadinya kesalahan yang termasuk katagori tort (civil wrong against a person or properties); baik yang bersifat intensiona atau negligence. Contoh dari tindakan RS atau dokter yang dapat menimbulkan tanggunggugat antara lain membocorkan rahasia kedokteran, eutanasia atau ceroboh dalam melakukan upaya medik sehingga pasien meninggal dunia atau menderita cacat.

- Strict liability
Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability without fault) mengingat seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa; baik yang bersifat intensional, recklessness ataupun negligence. Tanggung gugat seperti ini biasanya berlaku bagi product sold atau article of commerce, dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya risiko tersebut.
Di negara-negara Common Law, produk darah dikatagorikan sebagai product sold sehingga produsen yang mengolah darah harus bertanggunggugat untuk setiap transfusi darah olahannya yang menularkan virus hepatitis atau HIV.

- Vicarious liability
Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan medik maka RS (sebagai employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai subordinate (employee). Lain halnya jika tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending physician) sehingga kedudukannya setingkat dengan RS.
Doktrin vicarious liability ini sejalan dengan Psl 1367, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

Jadi dapat tidaknya RS menjadi subjek tanggung-renteng tergantung dari pola hubungan kerja antara tenaga kesehatan dengan RS, dimana pola hubungan tersebut juga akan ikut menentukan pola hubungan terapetik dengan pihak pasien yang berobat di RS tersebut.
Mengenai pola hubungan terapetik antara health care provider dan health care receiver dapat dirinci sebagai berikut:
- Hubungan pasien-RS
Hubungan seperti ini terjadi jika pasien sudah dewasa dan sehat akal, sedangkan RS hanya memiliki dokter yang bekerja sebagai employee. Para pihaknya adalah pasien dan RS, sementara dokter hanya berfungsi sebagai employee (subordinate dari RS) yang bertugas melaksanakan kewajiban RS.
Hubungan hukum seperti ini biasanya berlaku di sarana kesehatan milik pemerintah yang dokter-dokternya digaji secara tetap dan penuh, tidak didasarkan atas jumlah pasien yang telah ditangani ataupun kuantitas dan kualitas tindakan medik yang dilakukan dokter.

- Hubungan penanggung pasien-RS
Pola hubungan ini terjadi jika pasien masih anak-anak atau tidak sehat akal sehingga menurut hokum Perdata tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Para pihaknya adalah penanggung pasien (orang tua atau keluarga yang bertindak sebagai wali) dan RS.

- Hubungan pasien-dokter
Pola ini terjadi jika pasien sudah dewasa dan sehat akal (berkompeten), dirawat di RS yang dokter-dokternya bekerja bukan sebagai employee melainkan sebagai mitra (attending physician). Para pihaknya adalah pasien dan dokter, sementara posisi RS hanyalah sebagai tempat yang menyediakan fasilitas (penginapan, makan dan minum, perawat atau bidan serta sarana medik dan nonmedik). Konsepnya seolah-olah dokter menyewa fasilitas RS untuk digunakan merawat pasiennya.
Pola seperti ini banyak dianut oleh RS swasta yang dokter-dokternya mendapatkan penghasilan berdasarkan perhitungan jumlah pasien serta kuantitas dan kualitas tindakan medik yang dilakukannya. Jika dalam satu bulan tidak ada seorang pasienpun yang dirawat maka dalam bulan itu dokter tidak memperoleh penghasilan apa-apa. Hubungan kerja seperti ini menempatkan dokter pada kedudukan yang sama derajat dengan RS, bukan subordinate dari RS.

- Hubungan penanggung pasien-dokter
Pada prinsipnya pola ini seperti pola butir (c), hanya saja karena pasien masih anak-anak atau tidak sehat akal maka para pihaknya adalah penanggung pasien (orang tua atau wali) dan dokter.

Sedangkan mengenai hubungan kerja antara dokter dan RS terdapat beberapa pola, antara lain:
  • Dokter sebagai employee
  • Dokter sebagai attending physician (mitra)
  • Dokter sebagai independent contractor
Masing-masing dari pola-pola hubungan tersebut di atas akan sangat menentukan apakah RS atau dokter yang harus bertanggunggugat sendiri (direct liability) terhadap kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dokter dan sejauh mana pula tanggunggugat dokter tersebut dapat dialihkan kepada pihak RS berdasarkan doctrine of vicarious liability?

Corporate Liability dan Vicarious Liability
Pada awal sejarahnya, RS tidak lebih dari sekedar institusi (penerima sumbangan dari para dermawan) yang hanya menyediakan makanan dan tempat tidur bagi pasien yang memerlukan rawat inap. Dengan diramaikannya RS oleh kehadiran para dokter mitra ternyata mampu memberikan pengaruh yang luar biasa besar bagi peningkatan kualitas layanan. Sekarang keadaannya sudah benar-benar berubah secara dramatis. RS kini tidak hanya menyediakan makanan dan penginapan saja, melainkan juga berbagai macam tenaga profesional guna menunjang fungsi; meliputi fungsi layanan keperawatan terampil dan profesional, diagnosis dan terapi spesialistik, pre dan post-operative care dan masih banyak lagi layanan lainnya. Tidak cukup sampai di situ saja, sebab masing-masing RS juga terus berlomba meningkatkan dan mengembangkan diri menjadi institusi dengan layanan total dan komprehensif. Namun konsekuensinya tidak hanya kualitas layanan medik, penunjang medik dan layanan umum saja yang meningkat, tetapi juga kemungkinan munculnya lebih banyak lagi corporate liability (tanggunggugat korporasi) serta vicarious liability (tanggung-renteng) akibat kesalahan yang dilakukan oleh subordinate RS.

*
Corporate Liability
Agak sulit sebenarnya membedakan antara corporate liability dengan vicarious liability, sebab dalam situasi tertentu corporate liability dapat saja ditafsirkan sebagai vicarious liability. Konsep corporate liability itu sendiri sesungguhnya dikembangkan dari pemahaman bahwa RS merupakan artificial entity yang dapat melakukan perbuatan hukum, melalui individu yang tergabung di dalamnya yang bertindak untuk dan atas namanya sehingga RS dapat menjadi subjek langsung dari corporate liability manakala employee, non-employee staff, administrative personnel atau regular employees gagal mengimplementasikan kebijakan RS yang pantas; misalnya gagal menerapkan kebijakan pencegahan infeksi nosokomial atau gagal mencegah dokter yang tidak berkompeten untuk tidak menangani pasien.
Meskipun tidak selalu benar, corporate liability dapat diterapkan manakala RS tidak melakukan langkah-langkah manajerial yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap bidang-bidang tertentu di bawah ini, yaitu:
  • Hospital equipment, supplies, medication and food
  • Hospital environment
  • Safety procedures
  • Selection and retention of employees and conferral of staff privileges
  • Responsibilities for supervision of patient care

* Vicarious Liability
Pada umumnya RS tidak bertanggunggugat atas kesalahan dokter non-organik (non-employee physician) yang hanya memanfaatkan fasilitas RS untuk merawat pasiennya sendiri (staff privileges). Mereka bertanggunggugat secara mandiri atas kesalahan yang telah merugikan pasiennya. Meskipun bertanggunggugat secara mandiri namun kesepakatan dengan pihak RS dapat saja dibuat untuk misalnya bersama-sama menanggung ganti rugi berdasarkan proporsi yang disetujui oleh kedua belah pihak apabila dokter kalah di pengadilan. Tanpa kesepakatan khusus maka non-employee physician (misalnya dokter mitra) pada umumnya bertanggunggugat secara mandiri.
Di bawah doctrine of vicarious liability, RS (meskipun sebagai artificial entity tidak melakukan kesalahan apa-apa) juga dapat bertanggunggugat atas kesalahan dokter organik yang bekerja di institusi tersebut. Doktrin ini sejalan dengan Pasal 1367 KUH Perdata, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
Untuk dapat diberlakukan doctrine of vicarious liability diperlukan prakondisi seperti tersebut di bawah ini, yaitu:

- Harus ada direct (economic) relationship.
Maknanya, antara dokter dan pihak RS harus terjalin dalam suatu hubungan yang bersifat ekonomi; misalnya hubungan master-servant atau employer-employee.
Sebagai bukti adanya direct (economic) relationship antara lain: adanya gaji tetap, kewenangan RS mengontrol, memberi sanksi serta adanya kewenangan mengangkat dan memberhentikan dokter.

- Tindakan dokter harus berada dalam lingkup tugas dan tanggungjawabnya.
Artinya, tindakan (yang merugikan pasien) yang dilakukan oleh dokter harus berada di dalam lingkup tugas dan tanggungjawab yang diberikan oleh RS pemberi kerja berdasarkan hubungan yang telah terjalin.
Jika dokter melakukan tindakan di luar lingkup tugas dan tanggungjawabnya (misalnya di luar clinical previlige yang diberikan oleh Direktur atas rekomendasi Panitia Kredensial dari Komite Medik) maka kerugian akibat kesalahannya harus ditanggung sendiri.

Konsep pengalihan tanggunggugat kepada RS (dalam kedudukannya sebagai master atau employer) antara lain didasarkan pada pemikiran:
  • Untuk memberikan jaminan kepada pasien yang dirugikan bahwa ia pasti akan dapat menemukan pihak tergugat yang punya kemampuan membayar (solvent defendant atau deeper pocket).
  • Untuk memberikan umpan balik kepada pihak manajemen RS agar memiliki rasa tanggungjawab yang lebih besar lagi dalam mengelola dan mengontrol para dokter supaya mau melakukan layanan medik yang lebih baik agar tidak terjadi kerugian pada pasien.

Pertanyaan yang muncul sekarang ialah “siapakah yang seharusnya menjadi target (subyek) dari tanggung-renteng tersebut”? Institusi RS ataukah justru badan hukum yang menjadi pemilik RS?
Meskipun pada hakekatnya tidak ada bedanya apabila yang menjadi subjek dari vicarious liability adalah RS atau badan hukum pemilik RS sebab pembebanan ganti rugi kepada RS dengan sendirinya juga akan mengurangi asset badan hukum yang menjadi pemiliknya, demikian pula sebaliknya. Namun dilihat dari sisi yuridis-formal mungkin jawaban dari pertanyaan di atas menjadi sangat penting agar supaya masing-masing pihak saling memahami posisinya masing-masing, disamping untuk menghindari kemungkinan terjadinya gugatan salah alamat. Untuk itu menurut hemat saya perlu memperhatikan beberapa hal:
  • Konsep dasar bahwa dalam ajaran vicarious liability harus ada direct (economic) relationship antara dokter yang melakukan kesalahan dengan pihak yang menjadi subjek dari tanggung-renteng.
Siapa subjek tersebut? Jawabannya sudah bisa ditebak, yakni tergantung dari siapa sebenarnya yang memberi kerja, memberhentikan, membayar, mengontrol dan mengawasi kinerja dokter yang bersangkutan. RS atau badan hukum yang menjadi pemilik RS?
  • UU tentang badan hukum yang terkait.
Dalam kaitannya dengan yayasan, sepanjang bentuk RS merupakan kegiatan usaha yayasan (yang dilaksanakan oleh pelaksana dan diangkat oleh organ pengurus yayasan) maka yang akan menjadi subjek tanggungrenteng adalah yayasan yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan UU Yayasan, organ pengurus bertanggungjawab sepenuhnya atas kepengurusan yayasan, baik untuk kepentingan maupun tujuan yayasan, serta mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai azas persona standi in judicio. Ini berarti bahwa organ pengurus mewakili yayasan dalam melakukan gugatan ataupun digugat. Barangkali demikian pula untuk RS yang merupakan amal usaha perkumpulan.
Tetapi lain halnya apabila RS berbentuk PT yang didirikan oleh yayasan atau oleh perkumpulan maka tanggungrentengnya bukan pada yayasan atau perkumpulan tersebut, melainkan pada RS (yang dalam hal ini diwakili oleh direksi). Tanggungjawab yayasan atau perkumpulan (sebagai pemegang saham) hanyalah sebatas saham yang dimilikinya dan samasekali tidak meyentuh kekayaan lain dari yayasan atau perkumpulan yang memiliki PT tersebut.
 
Maret 15, 2008
By: dr.Sofwan Dahlan, SpPF(K), Dosen Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata Semarang
Source: www.hukum-kesehatan.web.id
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts