Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Listrik dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dengan tujuan untuk (1) meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta (2) mendorong peningkatan kegiatan ekonomi berkelanjutan, Pasal 3 ayat (1) UU Ketenagalistrikan 2002 (UU No. 20/2002) menentukan bahwa penyediaan tenaga listrik terjamin dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar.

Dengan tujuan untuk (1) meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta (2) mendorong peningkatan kegiatan ekonomi berkelanjutan, Pasal 3 ayat (1) UU Ketenagalistrikan 2002 (UU No. 20/2002) menentukan bahwa penyediaan tenaga listrik terjamin dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar. Jumlah yang cukup dan kualitas yang baik di satu sisi disandingkan dengan harga yang wajar pada sisi lainnya. Keduanya menjadi kepentingan yang timbal balik, baik bagi pelaku usaha (PLN) dan konsumen.
Menurut UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), pelaku usaha berhak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan. Sebaliknya, ia wajib menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku. Sedangkan konsumen berhak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkannya sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan disertai kewajiban untuk membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
Paradigma pelayanan Dari segi obyek transaksi, terdapat dua hal sentral dalam hubungan antara pelaku usaha dan konsumen jasa tenaga listrik, yaitu (1) kuantitas dan kualitas tenaga listrik, serta (2) harga yang wajar. Dua hal tersebut sering menjadi akar permasalahan penyediaan dan penjualan jasa tenaga listrik. Bukan hal baru memang. Tengok, misalnya, problem perhitungan meteran listrik yang hingga sekarang masih diwarnai pengaduan konsumen. Belum lagi masalah dugaan pencurian tenaga listrik. Analog dengan pencurian tenaga listrik, bila konsumen membayar kuantitas tenaga listrik lebih atau bahkan jauh dari yang seharusnya dibayarkannya, apakah itu juga bukan dugaan pencurian uang konsumen?
Begitu juga masalah-masalah teknis yang pada dasarnya bersifat mikro, seperti meteran listrik (alat pembatas dan pengukur/APP atau KWH meter) dapat menjadi batu sandungan hubungan pelaku usaha dan konsumen. Segel hilang atau kurang, walaupun tak ada pengaruhnya terhadap perputaran piringan pada meteran listrik, sering menjadi perdebatan dalam proses penyelesaian sengketa antara PLN dan konsumen.
Untuk memenuhi kewajibannya terhadap pelaku usaha pun, konsumen masih harus menjumpai masalah. Tawaran kemudahan pembayaran melalui bank, yang biasanya dibayarkan melalui loket-loket pembayaran yang telah ditetapkan PLN atau kantor pelayanan PLN setempat, masih menyisakan kekecewaan konsumen. Pelayanan on line di bank menjadi terhambat karena gangguan teknis komputer, meskipun pembayaran dilakukan masih dalam waktunya (in time) belum sampai pada waktunya (on time) sesuai dengan ketentuan batas waktu pembayaran setiap bulannya.
Ketika konsumen kembali ke loket pembayaran PLN terdahulu ditolak dengan alasan, "Biasanya, kan, bayar di bank!" Dengan langkah kecewa sambil menggendong si kecil, konsumen menuju ke kantor pelayanan setempat. Akhirnya terbayar juga setelah antre hampir 1 jam, walaupun saat pembayaran masih tanggal muda! Harap dicermati, kemudahan pembayaran tidak identik dengan pembayaran di bank. Estimasi yang berlebihan bila beranggapan masyarakat konsumen kita sudah bank-minded, tetapi juga keliru bila menilai bank tidak dibutuhkan konsumen.
Ke depan, dengan UU Ketenagalistrikan 2002, keluhan-keluhan (pengaduan-pengaduan) konsumen menjadi salah satu prioritas untuk diminimalisasi dengan "paradigma pelayanan" yang diusungnya (Pasal 33). Coba simak intisari ketentuan tersebut. Pertama, tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang berlaku wajib disediakan. Kedua, pelayanan yang sebaik-baiknya diberikan kepada masyarakat dengan memperhatikan hak-hak konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen. Terakhir, keselamatan ketenagalistrikan wajib diperhatikan.
Tak dapat dibayangkan jika kasus padamnya listrik (black-out) di sebagian besar Jawa-Bali delapan tahun lalu (13 April 1997) terulang kembali! Bandingkan dengan hampir 57 juta warga Italia hidup tanpa listrik pada Minggu dini hari pukul 03.25 waktu setempat setahun silam (28 September 2003). Sekitar 30 ribu penumpang 100 kereta api terperangkap di stasiun-stasiun sistem angkutan bawah tanah karena matinya eskalator. Jalan-jalan dilanda kekacauan akibat matinya lampu pengatur lalu lintas. Pesawat telepon tak berfungsi. Sedangkan rumah-rumah sakit terpaksa menyalakan generatornya sendiri agar tetap beroperasi (Kompas, 29 September 2003).
Sebagai peringatan, tragedi itu bukan untuk dilupakan, namun untuk diingat agar tidak terulang kembali. Kemenangan PLN pada waktu itu hingga di Pengadilan Tinggi (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 15 Januari 1998 No. 134/Pdt/1997/PN Jaksel) semakin membentuk opini publik bahwa konsumen harus dilindungi UUPK. Kelahiran UUPK pada 1999 disusul revisi UU Ketenagalistrikan (sekarang UU Ketenagalistrikan 2002) mungkin salah satu bukti keseriusan "paradigma pelayanan" pada tataran kebijakan yang masih harus dibuktikan keseriusannya.
Sementara itu, instrumen penyelesaian sengketa konsumen yang tersedia bukan sekadar pelengkap penderita untuk hanya tampil sebagai aksesori pengakuan hak konsumen untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut (Pasal 4 butir e UUPK), tetapi perlu dibuktikan eksistensinya untuk mendorong kepatuhan (compliance) pelaku usaha pada UUPK.
Secara riil eksistensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) tidaklah selalu berhubungan dengan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Peran BPSK untuk melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha (Pasal 52 butir c UUPK), termasuk klausula baku yang dikeluarkan PT PLN (persero) boleh jadi salah satu fungsi strategis BPSK untuk menciptakan keseimbangan kepentingan-kepentingan pelaku usaha dan konsumen. Jadi, tidak hanya klausula baku yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan swasta, tapi juga perusahaan-perusahaan milik negara.
BPSK yang seharusnya sudah ada di setiap daerah kota dan/atau kabupaten ternyata hingga kini baru ada di 7 kota (Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar). Ironisnya, tak satu pun BPSK itu ada di DKI Jakarta.
Fungsi strategis BPSK lainnya sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu konsiliasi, mediasi dan arbitrase, masih sekadar pilot project di 7 kota besar yang hingga kini masih terbatas akses informasi tentang kiprahnya. Padahal, dalam pandangan Daniel S. Lev (1990), konsiliasi yang lazim dilakukan di seluruh Indonesia merupakan sifat budaya hukum Indonesia.
Idealnya, BPSK berperan memperkecil makna perselisihan dan memperbesar kesinambungan hubungan pelaku usaha dan konsumen. Hasilnya? Menang-menang (win--win solution), bukan menang-kalah (win-lose solution). Tentu saja hasilnya lain dengan pengadilan. Namanya saja penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Eksistensi BPSK harus difasilitasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah/kota di seluruh Indonesia. Bukankah banyak pajak dan retribusi dipungut dari pelaku usaha (PLN) dan konsumen?

Yusuf Shofie SH, MH
(Dosen Hukum Perlindungan Konsumen dan Advokat YLKI)
Source: www.korantempo.com

0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts