Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

"Not in My Backyard"

"KELUARGA kami peduli lingkungan. Saya membiasakan anak-anak membuang sampah pada tempatnya di rumah maupun di luar rumah," cerita seorang ibu mengungkapkan cara keluarganya peduli pada lingkungan melalui sebuah radio swasta di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Di sudut-sudut Jakarta atau kota-kota lainnya, salah satu ungkapan peduli lingkungan adalah "Buanglah sampah pada tempat yang telah disediakan," atau "Buanglah sampah pada tempatnya." Apakah keluarga ibu di atas sudah bisa dibilang peduli lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya? Keluarga ibu di atas memang lebih peduli lingkungan daripada banyak keluarga menengah ke atas yang masih saja seenaknya membuang bungkus makanan, bungkus permen, atau puntung rokok keluar jendela mobil mewah mereka.
Tetapi ekspresi kepedulian lingkungan tidak cukup hanya sekadar "saya sudah membuang sampah pada tempatnya." "Tapi saya kan sudah peduli lingkungan mengumpulkan sampah pada tempatnya dan saya sudah membayar retribusi sampah. Setiap hari sampah saya diangkut oleh petugas kebersihan. Tidak ada lagi sampah di rumah saya," mungkin demikian komentar Anda.
Sikap seperti itu sering disebut NIMBY. NIMBY adalah singkatan dari "Not in my backyard," atau terjemahannya, "Asal tidak di halaman saya." Anda menjaga rumah dan halaman rumah Anda bebas dari sampah. Sampah-sampah setiap hari "disingkirkan" ke luar rumah dengan membayar uang retribusi sampah. "Saya sudah membayar retribusi sampah. Jadi sampah yang sudah diangkut bukan urusan saya lagi. Rumah saya sudah bebas sampah dan saya sudah menjalankan kewajiban."
Kemudian Pemda DKI juga menjalankan sikap NIMBY. Sampah-sampah dari setiap RT/RW diangkut mobil truk sampah dibuang ke Bantar Gebang, Bekasi. Semua yang tidak diinginkan ada di Jakarta (mungkin termasuk becak) dibuang ke pinggiran Jakarta. Untuk skala yang lebih besar, Pemerintah Singapura membuang sampah-sampah yang tidak diinginkan ke wilayah Indonesia. Apakah Anda pernah membayangkan ke mana sampah-sampah yang Anda buang berakhir? Sebelum sampah Anda diangkut, sebagian sampah seperti kertas, plastik dan botol beling, diambil oleh pemulung yang mengorek-ngorek tempat sampah di muka rumah Anda. Ketika sampah diangkut gerobak sampah, sebagian kecil sampah tercecer di jalan-jalan atau di seputar tempat penampungan sementara. Karena sampah-sampah itu cukup lama dibiarkan di TPS, sebagian sampah organik (seperti sisa makanan) akan membusuk sambil mengeluarkan bau tidak sedap. Sampah-sampah kertas, plastik, logam, botol beling, diambil pemulung. Sampah yang tercecer itu terbawa angin ke tempat yang lebih jauh dan ketika hujan turun terbawa hanyut ke selokan. Jika terlalu banyak sampah, terutama sampah plastik, selokan berubah menjadi tempat sampah. Jika air selokan mengalir lancar, sampah terbawa hanyut sampai ke sungai. Sampah-sampah yang kebanyakan plastik, terbawa hanyut aliran Sungai Ciliwung dan anaknya, sampah ke pesisir utara Jakarta. Sebagian sampah tersangkut di penyaring sampah yang memang sengaja dipasang di beberapa tempat. Sisanya akan terbawa arus sungai sampah ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Sebagian besar terdampar di sebelah utara Hutan Lindung Muara Angke.
Semakin lama pesisir utara Jakarta dipenuhi sampah plastik yang tidak bisa hancur. Sebagian besar sampah akan berakhir di tempat pembuangan akhir di Bantar Gebang, Bekasi. Para pemulung akan mengambil barang-barang bekas, sampah plastik, kertas, dan sampah lainnya yang bisa dimanfaatkan kembali. Semakin lama sampah Bantar Gebang menggunung. Siapa yang bertanggung jawab atas sampah di Bantar Gebang? Pemda DKI? Atau Pemda Bekasi? Jika Anda sungguh-sungguh ingin peduli lingkungan, tanggung jawab Anda belum selesai hanya dengan membuang sampah di tempat sampah dan tertib membayar retribusi sampah yang cukup mahal setiap bulan. Jika semua orang bepikir seperti itu, bumi ini lama-kelamaan akan dipenuhi oleh sampah. Tanggung jawab lebih besar ada pada industri yang menghasilkan produk menggunakan kemasan terbuat dari plastik, misalnya industri makanan. Coba cermati sampah-sampah yang ada di bantar gebang atau sampah yang terdampar di pesisir utara Jakarta. Sampah plastik adalah jenis sampah paling banyak menumpuk di Bantar Gebang maupun di pesisir utara Jakarta. Jika dicermati lebih jauh, plastik-plastik (yang kebanyakan adalah bekas kemasan shampo, mie instan, botol mineral) ada mereknya, mulai dari Indofood sampai Aqua. Kebanyakan sampah plastik bekas kemasan berasal dari industri makanan. Perusahaan-perusahaan itu setelah memproduksi dan menjual produknya, mengolah limbah cair dan limbah padat yang dihasilkan dari proses produksi, merasa sudah menjalankan tanggung jawabnya. Mereka merasa sudah memenuhi tanggung jawab tidak mencemari lingkungan.
Itu dulu. Sekarang ada life cycle analysis yang melihat tanggung jawab industri tidak hanya pada saat proses produksi saja tetapi mulai dari pengambilan bahan baku sampai produknya selesai dikonsumsi (menjadi limbah). Tanggung jawab industri, "from cradle to grave" Indofood masih bertanggung jawab untuk menangani sampah-sampah bekas kemasan plastik produk mereka. Aqua bertanggung jawab atas sampah-sampah botol plastik bekas. Unilever bertanggung jawab atas botol dan plastik kemasan bekas shampo Sunsilk, plastik tube Pepsodent, dan produk lainnya. Artinya setiap orang bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya. Salah satu bentuk tanggung jawab Anda adalah dengan sedikit mungkin menghasilkan sampah dalam hidup ini. Bagaimana caranya? Jadilah konsumen hijau. Ada tiga prinsip konsumen hijau yang tidak bisa diubah urutannya, yaitu sedapat mungkin mengurangi konsumsi (reduce), jika tidak mungkin mengurangi konsumsi maka maksimalkan pemanfaatan sumber daya (reuse), dan jika sudah tidak mungkin memanfaatkan sumber daya berkali-kali barulah mencoba mendaur ulang (recycle). Prinsip konsumen hijau ini tidak boleh dibolak-balik urutannya. Berikut ini beberapa tips membantu mengurangi sampah yang bisa dijalankan konsumen hijau:
  1. Hindari menggunakan kemasan plastik. Gantilah kantong plastik dengan kantong kertas atau kantong kain yang bisa dipakai berulang-ulang. Jika tidak mungkin menghindari kemasan plastik, cobalah paling tidak semaksimal mungkin mengurangi penggunaan kemasan plastik. Misalnya, ketika berbelanja di pasar swalayan gunakan tas kain untuk membawa belanjaan Anda.
  2. Jangan gunakan kemasan stirofoam, selain karena stirofoam tidak bisa hancur sampai ratusan tahun lamanya. Sekarang ini banyak restoran cepat saji menggunakan wadah makanan terbuat dari stirofoam. Pilihlah restoran yang hanya menyajikan makanan di piring beling yang bisa dipergunakan berkali-kali.
  3. Pisahkan sampah rumah Anda menjadi sampah organik sisa makanan, sampah kertas bersih, sampah non-organik seperti plastik, kain nilon dan lain-lain. Sampah organik tidak perlu dibuang di tempat sampah, cukup dimasukkan ke dalam tanah di halaman Anda. Di dalam tanah sampah organik akan membusuk dan membuat tanah menjadi subur.
  4. Sampah berupa kertas, beling, plastik-plastik tertentu (jenis plastik termoplastik), bisa diberikan kepada pemulung untuk diolah kembali menjadi produk berguna.
  5. Jangan membeli produk yang kemasannya lebih banyak dibandingkan produknya.
  6. Buatlah gerakan bersih di pesisir, sekolah, tempat kerja. Kumpulkan sampah-sampah plastik sesuai dengan asal pabriknya. Kemudian sampah-sampah plastik itu dikirim ke pabrik asalnya karena sampah-sampah itu masih menjadi tanggung jawab pabrik-pabrik itu. Jika Anda menjalankan tips di atas, Anda akan heran betapa sedikitnya sampah yang Anda hasilkan.
Harry Surjadi, anggota Society of Environmental Journalists
Source: Sinar Harapan, 2 Juli 2001
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts