Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Pertanian Organik: Pertanian Masa Depan yang (Jangan) Diragukan

Perkembangan pertanian organik di Indonesia dewasa ini cukup pesat. Ini merupakan salah satu pertanda positif bahwa pertanian organik mulai mendapat tempat di hati masyarakat, baik produsen maupun konsumen. Namun di sisi lain, kendala pengembangan pertanian organik di Indonesia juga masih besar, bahkan lebih besar dibandingkan laju perkembangannya. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, sehingga tak heran jika sampai kini pertanian masih menjadi wacana marjinal dan diragukan kemungkinannya sebagai pertanian masa depan yang menjanjikan.

Faktor Penunjang Pertanian Organik
Perkembangan pertanian organik di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan pertanian organik dunia, bahkan dapat dikatakan sebagai trigger factor bagi gerakan pertanian organik lokal. Ini adalah karena tingginya permintaan produk organik di negara-negara maju. Prof Ulrich Hamm dan Johannees Michelsen, PhD, dalam karyanya “Analysis of the organic food market in Europe” (2000) menyebutkan tingginya permintaan produk organik di negara-negara maju dipicu oleh (1) menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2) dukungan kebijakan pemerintah nasional, (3) dukungan industri pengolahan pangan, (4) dukungan pasar konvensional (supermarket menyerap 50% produk pertanian organik), (5) adanya harga premium di tingkat konsumen, (6) adanya label generik, (7) adanya kampanye nasional pertanian organik secara gencar.
Upaya diatas masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan permintaan pertanian organik dunia mencapai 15-20% pertahun dengan pangsa pasar mencapai US$ 100 juta (FG. Winarno, 2001). Namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0,5-2% dari keseluruhan produk pertanian. Meski di Eropa penambahan luas areal pertanian organik terus meningkat dari rata-rata dibawah 1% (dari total lahan pertanian) tahun 1987, menjadi 2-7% di tahun 1997 (tertinggi di Austria mencapai 10,12%), namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Desmond Jolly, From Cottage Industry to Conglomerates: The Transformation of the US Organic Food Industry, 2000). Inilah kemudian yang memacu permintaan produk pertanian organik dari negara-negara berkembang.
Selain faktor di atas, perkembangan pertanian organik di Indonesia juga didorong oleh munculnya keadaran konsumen akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan, khususnya di kalangan kelas menengah perkotaan. Sebagian lagi, didorong oleh kampanye dan advokasi aktivis LSM baik dalam isu lingkungan maupun pendampingan petani. Di kalangan petani sendiri mulai muncul kesadaran untuk menerapkan pertanian organik, terutama di basis yang didampingi LSM atau area yang belum tersentuh kebijakan Revolusi Hijau. Namun demikian, pemicu ini tetaplah masih bersifat marjinal dibanding faktor di atas.

Pertanian Organik, Malthusianisme dan Reduksionisme
Di balik kabar baik mengenai pertanian organik sebagaimana disebut di muka, secara obyektif masih banyak kendala dalam pengembangannya. Bahkan, kendala ini masih lebih besar dan kuat dibanding kemajuannya. Secara faktual pelaku pertanian organik masih sangat sedikit di seluruh dunia, yakni kurang dari 2 % terhadap seluruh pelaku pertanian yang ada. Dengan kata lain, pertanian organik masih merupakan kegiatan marjinal.
Kendala yang ada jika ditilik lebih jauh, ada yang berakar dari kesangsian mengenai kemampuan pertanian organik dalam memecahkan persoalan pemenuhan pangan dan keberlanjutan kehidupan. Argumen pertama yang biasa mengemuka adalah anggapan bahwa produktivitas pertanian organik rendah sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan yang terus meningkat. Argumen kedua, pertanian organik dianggap sebagai pertanian masa lalu yang tidak produktif dan di tingkat tertentu anti teknologi. Argumen ketiga, pertanian organik tidak layak secara ekonomis dan karenanya tidak menguntungkan.
Kesangsian pertanian organik tidak mampu menyelesaikan persoalan kebutuhan pangan sudah menjadi perdebatan lama. Menurut para birokrat, akademisi dan pengambil keputusan publik, pertanian organik secara teknis dianggap tidak mampu memberikan produktivitas hasil yang tinggi, sehingga tidak bisa menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi manusia. Jika dilihat lebih dalam, pemikiran ini beranjak dari ‘kekuatiran Malthusian’ yang menganggap bahwa pertambahan manusia lebih cepat daripada laju pangan. Kekuatiran inilah yang mendasari pencarian teknologi yang mampu melipatgandakan hasil pangan dan pertanian.
Namun, teknologi yang berkembang kemudian justru teknologi yang menjadikan produktivitas sebagai tujuan utama pertanian, dengan mangabaikan tujuan lain. Hal ini nampak jelas, dalam program revolusi hijau, dimana selain hasil yang tinggi, faktor lingkungan, kenekaragaman hayati, konservasi dan keselamatan keberlanjutan pertanian diabaikan.
Fritjof Capra, fisikawan dunia, dalam bukunya The Turning Point (1986), menyebut reduksionisme sebagai biang kerusakan dunia, yang gemar memilah-milah persoalan dalam bagian-bagian kecil. Reduksionisme berakar dari pemikiran Descartes, filsuf Perancis, yang menemukan pendasaran matematika atas logika, yang kemudian cenderung memandang segala sesuatu secara linier dan terpilah-pilah. Inilah yang melahirkan rasionalisme (buta) yang melihat segala sesuatu secara material-fisik saja. Paradigma Cartesian inilah yang menjadi mainstream ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang hingga hari ini.
Dalam konteks pertanian, reduksionisme ini terlihat dalam Revolusi Hijau, Gunawan Wiradi, pakar agraria Indonesia, dalam sebuah seminar pertanian organik di Klaten (1999), mencontohkan bagaimana reduksionisme ini muncul sebagai paradigma dasar revolusi hijau. Para pemikir revolusi hijau, hanya memandang produktivitas sebagai tujuan tunggal, maka apa yang dikatakan sebagai ‘hama’, ‘gulma’ dan tanaman lain selain tanaman utama sah saja dimusnahkan (dianggap musuh) bila dianggap mengganggu pencapaian hasil tanaman utama. Begitu juga dalam pemakaian input, yang hanya membatasi pada pemakaian unsur N, P, K sebagai makanan utama tanaman. Akibat paradigma yang eksploitatif, yang memandang pertanian sebagai ‘medan perang’ untuk memenangkan produksi pangan, adalah kerusakan lingkungan, merosotnya keanekaragaman hayati lokal, pencemaran lingkungan, air dan udara, serta ketergantungan secara sistematis petani terhadap ‘pihak luar’.
Pemujaan produktivitas yang berlebihan dengan meletakkan benih unggul, pupuk dan pestisida sebagai determinan kunci pada gilirannya melupakan bahwa persoalan pangan bukan semata soal produktivitas, tetapi juga soal manajemen institusi menyangkut distribusi, pengairan, inovasi teknologi lain dsb. Amartya Sen, ekonom India penerima nobel, dalam satu stusi kasusnya di tahun 1980-an menemukan satu daerah di India mengalami kelaparan hebat, tetapi di daerah lain berkelimpahan pangan. Terbukti kelaparan, menurutnya, bukan soal sekedar kelangkaan pangan (karena teknologi rendah), tetapi juga soal kepemilikan dan akses terhadapnya .
Syarifuddin Karama, staf ahli Menteri Pertanian RI, dalam Seminar Standarisasi Pertanian Organik di Bogor Juli 2001, pernah menyebutkan adanya inefisiensi pengelolaan irigasi Indonesia. Efektivitas pengairan di Indonesia hanya sekitar 15% pada musim hujan, dan 4% pada musim kemarau. Sementara di India, baik musim hujan dan kemarau efektivitasnya mencapai 40%. Dengan pengairan tersebut, produksi jagung per ha di India mencapai 10 ton, sedang ubi kayu mencapai 60 ton per ha. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 4 ton/ha untuk jagung dan 15 ton/ha untuk ubi kayu. Jelas, perbaikan manejemen irigasi mampu meningkatkan produktivitas tanpa harus mengubah perlakuan pemupukan.
Penemuan system rice of intensification (SRI) oleh Henri de Lauline, seorang Jesuit di Madagaskar, ternyata mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi hingga mencapai 8 ton per ha, bahkan diantaranya ada yang mampu mencapai 10-15 ton per ha. SRI tidak mensyaratkan benih unggul atau pemupukan intensif, tetapi lebih menekankan pada perlakuan transplantasi bibit, jarak tanam, dan waktu pengairan yang tepat berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kehidupan tanaman padi (ECHO Development Note, Issue 70, Januari 2001). Artinya,inovasi teknologi seperti ini mampu mengatasi pesimisme Malthusian.

Pertanian Organik Antiteknologi?
Argumen bahwa pertanian organik adalah pertanian masa lalu, yang tradisional, subsisten dan tidak produktif, berakar dari cara pandang modernisme yang juga adalah anak dari Cartesianisme. Sekarang ini ada tuduhan, bahwa kearifan tradisional (pertanian cara lama) adalah anti teknologi (modern), sehingga menganjurkan pertanian organik seolah identik dengan anti teknologi dan menghambat kemajuan. Bahwa dalam praktek pertanian tradisional (pertanian organik) ada faktor inefisiensi adalah hal yang wajar. Tetapi, mengabaikan faktor kearifan lokal, budaya dan tujuan non produktivitas adalah solusi yang tidak bijak.
Perlu diluruskan juga, bahwa pertanian organik tidak anti teknologi. Pertanian organik juga bukan pertanian jaman baheula dan mau kembali ke tradisi kuno. Namun, pertanian organik adalah pertanian yang berangkat dari paradigma holistik dalam memandang alam semesta. Dalam cara pandang ini manusia menjadi bagian dari alam dan tujuan terbesar dari praksis pertanian adalah untuk keberlanjutan alam semesta. Pemenuhan pangan adalah bagian intrinsik dalam keberlanjutan alam semesta itu sendiri. Dalam kerangka ini, pengembangan teknologi haruslah mengindahkan segala aspek kehidupan dalam keseimbangan dan keberlanjutan alam semesta. Tradisi lama atau kearifan lokal dirujuk dalam pertanian organik, lebih karena sumbangannya dalam paradigma holistik yang menghargai keselarasan alam, dibandingkan karena teknologinya.
Pandangan ini berbeda dengan cara pandang antroposentrisme, yang menjadikan manusia sebagai sentral kehidupan, bahkan mengatasi alam. Seolah manusia adalah ciptaan tertinggi yang punya kuasa menentukan hidup matinya alam semesta dan kehidupan. Sebagaimana reduksionisme, antroposentrisme menjadi paradigma mainstream umat manusia sekaligus merupakan faktor penyulit pengembangan pertanian organik.

Pertanian Organik Tidak Menguntungkan?
Argumentasi lain menyangkut pesimisme keuntungan akan pertanian organik yang dianggap tidak menguntungkan. Memang pada tahap awal dan dalam jangka pendek, pertanian organik akan memberikan hasil kurang optimal dibanding budidaya konvensional. Faktornya, adalah karena kerusakan ekosistim dan agro-chemis tanah yang mesti diperbaiki dalam bentuk organik. Maka jika dikombinasikan pemakaian pupuk organik, pengendalaian organisme pengganggu tanaman secara baik, dengan inovasi teknologi (seperti SRI, misalnya) yang tepat akan mampu memberikan hasil yang relatif sama. Yang pasti, dalam jangka panjang pertanian organik memberikan jaminan akan kualitas tanah dan ekosistem lokal yang lebih baik. Pengalaman Yayasan Bina Sarana Bakti, di Cisarua telah membuktikan hal ini setelah 15 tahun bergelut di bidang pertanian organik.
Sebenarnya, argumentasi ekonomis bersumber pada paham reduksionisme juga. Ukurannya adalah kuantifikasi yang bersifat logis dan material. Profit atau keuntungan menjadi determinan pokok. Dalam pemahaman ini sebenarnya para pengusaha tidak (harus) peduli bahwa usahanya ramah lingkungan atau tidak, karena yang penting baginya adalah untung. Jadi, seandainya dalam hitung-hitungan ekonomis pertanian organik memang menjanjikan keuntungan, maka pengusaha tak akan ragu-ragu masuk ke dalamnya.
Ilustrasi dalam bagian pertama tulisan ini telah mengindikasikan hal ini. Ketika permintaan meningkat maka ‘potential dollar’ akan membayanginya, sehingga pengusaha akan berlomba memenuhinya. Kelangkaan barang dalam ilmu ekonomi akan diikuti dengan kenaikan harga. Produk pertanian organik menjadi produk eksotis yang dicari. Inilah daya tarik mode dan trend pertanian dunia sekarang ini. Jelas, apabila dapat memenuhi kriteria dan standar produk organik, dalam ekspor yang kosong itu maka jelas profit akan diperoleh.
Jadi, keraguan bahwa pertanian organik tidak menguntungkan secara teknis kini, dapat diretas dengan adanya premium price di tingkat konsumen, utamanya di negara-negara maju. Maka tidak mengherankan jika sekarang mulai bermunculan pengusaha pertanian organik skala besar di Indonesia, seperti Maforina, milik Syarifuddin Karama. Bahkan tidak sedikit yang merupakan pemain asing seperti Forest Trade (Amerika) di Sumatra dan Maharishi Global Trading (Belanda) di Sulawesi. Sebenarnya, disini juga membuktikan bahwa pertanian organik tidak semata soal teknologi bukan?
Namun, bagaimanapun juga di mata para birokrat, akademisi dan pengambil kebijakan politik pertanian, pertanian organik masih merupakan permata yang terselimuti kabut. Tak pernah kelihatan kilapnya. Diragukan kadar (logam) kemuliaannya.

Kekuatan Bisnis Jadi ancaman
Meskipun para birokrat, peneliti dan pengambil keputusan politik pertanian masih sangsi akan mode pertanian organik, tapi secara nyata pertanian ini mulai bermunculan. Pemicu utamanya adalah keuntungan ekonomis. Bisnis pertanian ini makin banyak dilirik pihak swasta karena menyimpan keuntungan besar (pangsa pasar yang cukup besar).
Di sini bisnis pertanian organik sama saja dengan bisnis lainnya. Yang dicari tetap keuntungan Soal lingkungan menjadi sehat adalah ‘bonus’ alias unintended consequences. Memang dalam hal ini ‘bonus’nya bernilai lebih, karena tidak saja menyerap lapangan kerja baru tapi juga merehabilitasi lingkungan. Dengan demikian bisnis pertanian organik memberikan kredit poin tersendiri. Apakah dengan demikian bisnis ini tidak perlu dicermati?
Akan tetapi perlu diwaspadai bahwa salah satu watak bisnis kapitalistis adalah mencari profit yang sebesar mungkin. Sehingga jika ada peluang segala cara akan menjadi sah/benar. Kecenderungan ini tampak pada pemilik-pemilik modal besar yang secara perlahan mulai menggusur atau mencaplok usaha-usaha kecil.
Gejala demikian sudah tampak pada sektor pertanian organik. Konglomerat Setiawan Djodi misalnya, telah mendirikan Bio-Kantata, sebuah perusahaan pupuk organik di Pasuruan, Jawa Timur. Perusahaan ini bekerjasama dengan kelompok petani, dengan dukungan pupuk dari perusahaan dan menjamin pasarnya, untuk membudidayakan padi organik. Dalam kerjasama ini petani diuntungkan. Kini, perusahaan ini mulai menjalin jaringan kerjasama dengan berbagai kelompok tani di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Contoh lain adalah ketika di California awalnya pertanian organik diusahakan oleh petani dalam skala kecil dan dijual ke pedagang dan retail kecil independen. Namun sekarang, Wild Oats, perusahaan ritel besar yang dengan perlahan mulai mengambil alih peran pedagang kecil, maka kini ritel tersebut telah memiliki tak kurang dari 105 supermarket produk organik di seluruh California (Jolly, 2000). Para pedagang kecil jika mau bertahan harus bergabung ke Wild Oats. Tak terasa telah terjadi marjinalisasi industri kecil produk organik oleh konglomerat besar. Pada gilirannya, kejadian ini tidak saja menyebabkan struktur pasar yang tidak bersaing sempurna (kompetitif) tetapi juga memperlebar jurang distribusi pendapatan kesejahteraan.
Tampaknya tidak ada yang aneh dengan pola diatas. Di sini awalnya petani cukup diuntungkan, lingkungan juga menjadi sehat. Tetapi, akan petani selamanya diuntungkan? Ketika suatu perusahaan mengelola sarana produksi, mengkoordinir budidaya dan memasarkan hasil (menguasai hulu sampai hilir) pasti memiliki kekuatan yang dominan dalam pengambilan keputusan. Petani kemudian hanya menjadi pelaksana teknis dari agribisnis perusahaan tersebut dan kembali masuk ke pola PIR-nya perkebunan. Petani menjadi tergantung, karena input dan pasarnya telah dijamin. Tanpa sadar, petani akan menjadi buruh di lahannya sendiri.
Mungkin kesejahteraan petani lebih baik, tetapi situasi ini tidak merubah kondisi petani dari ketergantungan terhadap pihak luar. Sekali lagi, demokrasi ekonomi menjadi utopia dalam kenyataan ini.
Kondisi diatas menyiratkan kekuatiran bahwa pertanian organik ke depan (mungkin) hanya akan menyelesaikan persoalan ekologi, tetapi tidak membebaskan petani. Situasinya menjadi tidak berbeda dengan era revolusi hijau, yang membedakan dulu tergantung pada perusahaan input kimia, sekarang pada perusahaan input organik. Selain itu, demokrasi ekonomi juga semakin sulit manakala perusahaan raksasa menguasai hulu hingga hilir seluruh rantai bisnis.

By: Indro Surono & Fendi Koto
Source: RantauNet

0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts