Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Siapa Untung, Siapa Buntung

Labels: ,
Warga, aktivis LSM, pegawai rumah sakit, dan menteri pun ikut memprotes.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) awal pekan ini meminta Mahkamah Agung (MA) membatalkan peraturan daerah tentang perubahan status sejumlah rumah sakit umum daerah (RSUD) di Jakarta menjadi perseroan.Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan, perubahan status rumah sakit itu mengancam hak masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan. Alasannya, status perseroan akan mengubah rumah sakit menjadi lembaga komersial yang sekadar mencari untung.
Dampak dari perubahan status ini, menurut Tulus, rumah sakit akan menaikkan tarif secara signifikan. "Akibatnya, masyarakat miskin kehilangan kesempatan mendapat layanan kesehatan," kata Tulus kemarin.
Tulus mengatakan, secara hukum, upaya komersialisasi rumah sakit milik pemerintah daerah ini bertentangan dengan Pasal 34 ayat 3 UUD 1945. Pasal ini mengatur ketentuan agar negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas umum yang layak.
Selain itu, menurut Tulus, privatisasi RSUD berlawanan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Pasal 22 huruf f undang-undang ini menyebutkan, salah satu kewajiban pemerintah daerah adalah menyediakan fasilitas kesehatan. "Sebelum menjadi perseroan saja, banyak kebijakan RSUD yang memangkas hak masyarakat mendapatkan layanan kesehatan," katanya.
Perubahan status badan hukum rumah sakit itu tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 2004 tentang perubahan status Yayasan Rumah Sakit Haji Jakarta, Perda Nomor 14 Tahun 2004 tentang perubahan status RSUD Cengkareng, dan Perda Nomor 15 Tahun 2004 tentang perubahan status RSUD Pasar Rebo. Rencananya, setelah ketiga rumah sakit itu, akan menyusul perubahan status RSUD Budi Asih, RSUD Duren Sawit, RSUD Koja, dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Fatmawati.
Ketua Komisi E DPRD DKI Dani Anwar mengatakan, dengan status perseroan, RSUD diharapkan memberi layanan profesional. "Selama ini, layanan rumah sakit cenderung semaunya," kata Dani. Dengan status perseroan itu, kata Dani, dokter dan karyawan RSUD terikat aturan perusahaan dan sewaktu-waktu bisa terkena sanksi dari direksi.
Selain itu, menurut Dani, status perseroan meringankan anggaran daerah. Selama ini, RSUD menerima subsidi dari anggaran daerah. "Jadi subsidi untuk rumah sakit bisa dipindahkan untuk membantu orang sakit," kata Dani, yang terlibat dalam pembahasan ketiga perda itu ketika menjadi Ketua Komisi B pada periode lalu.
Namun, menurut anggota Komisi B DPRD DKI Slamet Nurdin, perubahan status RSUD tidak sepenuhnya menanggalkan unsur subsidi dari anggaran daerah. Menurut Slamet, RSUD hanya mempunyai hak mencari untung dengan memainkan tarif di kelas II hingga kelas very important person (VIP). "Sedangkan kelas III masih mendapat subsidi dari pemerintah," katanya. Subsidi ini datang lewat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK-Gakin) sebesar Rp 100 miliar. Dengan model ini, menurut Slamet, RSUD tetap bisa mencari untung untuk memberi layanan profesional, sekaligus memberi layanan kepada masyarakat miskin.
Hanya, perubahan status ini menyimpan masalah kepegawaian. Dengan status perseroan, pegawai rumah sakit daerah harus kehilangan fasilitas yang selama ini dinikmati dari status pegawai negeri sipil. Para pegawai ini akan menjadi pegawai kontrak yang diperpanjang setiap tahun. "Meskipun gaji mereka naik 15 persen, mereka resah," kata Slamet.
Status pegawailah yang membuat barisan karyawan rumah sakit menolak perubahan status perseroan, seperti yang dilakukan karyawan RSUD Pasar Rebo beberapa waktu lalu. Reaksi karyawan rumah sakit ini juga memancing reaksi Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Menteri tidak menyetujui upaya privatisasi RSUD Pasar Rebo. Menurut Siti, privatisasi akan membuat RSUD Pasar Rebo komersial dan mengabaikan masyarakat miskin.
Gubernur DKI Sutiyoso sempat berang atas pernyataan Menteri itu. Gubernur menuding Menteri Siti Fadilah tidak menguasai masalah. "Menteri itu kan menteri baru," kata mantan Panglima Kodam Jaya ini. Menurut Sutiyoso, privatisasi RSUD Pasar Rebo dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat miskin. Caranya melalui subsidi silang yang akan diperoleh rumah sakit. Apalagi, kata Sutiyoso, pemerintah DKI masih menyediakan subsidi keluarga miskin sebesar Rp 100 miliar. "Jadi apa yang diragukan dengan perubahan status ini?" tanya Sutiyoso. Yang masih diragukan, Pak Gubernur, adalah kepastian warga miskin bakal menerima pelayanan kesehatan layak dan murah.

By: Multazam/Suryani Ika Sari
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts