'Kopiku kental, rokokku mantap. Pria Punya Selera…' Iklan ini termasuk salah satu iklan rokok yang kerap nongol di TV. Namun karena iklan ini dan iklan rokok lainnya, pelaku usaha pelanggar iklan rokok pun disomasi. Bukan lantaran pria macho di iklannya, melainkan karena iklan rokok itu dinilai melangggar UU. Apa sanksinya?
Somasi kepada pelaku usaha pelanggar iklan rokok itu diberikan karena maraknya pelanggaran yuridis iklan rokok di semua media periklanan, baik di media cetak, elektronik, maupun media luar rumah.
Berdasarkan PP No. 81 tahun 1999, semua iklan rokok di TV dilarang. Namun, karena orang TV memprotesnya, muncul PP No.38 Tahun 2000 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Dalam PP yang baru ini, iklan rokok di TV hanya boleh ditayangkan pukul 21.30 hingga 05.00.
Penayangan iklan rokok pada malam hari ini bertujuan agar tidak ditonton anak-anak. Namun kenyataannya, iklan rokok banyak diputar pada jam tayang utama (prime time) antara pukul 19.00-21.00. Bahkan, pertandingan tinju di TV pada pagi hari (09.00-12.00) biasanya disponsori oleh perusahaan rokok.
TV tidak dapat menolak iklan rokok karena belanja iklan rokok di TV tergolong gede, kategori kelas kakap-lah... Sementara di sisi lain, produsen rokok tentu tidak mau bila iklannya ditayangkan pada malam hari karena jelas pemirsanya sedikit. Nah, di sinilah tidak klopnya dengan UU yang ada.
Iklan rokok di media cetak juga melanggar ketentuan. Aturannya, iklan rokok di majalah atau koran tidak boleh menggambarkan produk dan yang diperbolehkan hanya logo perusahaannya saja. Namun, aturan ini bagi produsen juga menyulitkan karena bagaimana menampilkan iklan produk dengan logo perusahaan saja?
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) bukannya tinggal diam. Namun, para produsen maupun pelaku usaha periklanan agaknya tetap "membandel" dan menerabas ketentuan yang ada. Buktinya, berdasarkan pemantauan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Februari-Maret 2000, 57 % iklan di media melanggar aturan. Meskipun menurun, pada Oktober-November 2000 iklan rokok yang melanggar aturan mencapai 37%.
Somasi terbuka
Karena teguran tidak juga digubris, Tim Advokasi Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Merokok pun mensomasi semua pelaku usaha periklanan. Tidak tanggung-tanggung, 11 lembaga menyokong Tim Advokasi ini.
Lembaga yang menyokong Tim Advokasi ini, antara lain: YLKI, Komnas Penanggulangan Masalah Merokok, Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok, Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Stroke Indonesia, IDI, PGRI, Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, Yayasan Asma Anak Indonesia, dan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia.
Tim Advokasi ini memberikan somasi terbuka melalui iklan di koran. Somasi terbuka ini ditujukan kepada semua pelaku usaha di bidang periklanan. Pertama, seluruh pemimpin redaksi/penanggung jawab stasiun televisi swasta di Jakarta.
Kedua, seluruh pemimpin redaksi/penanggung jawab media massa di Indonesia. Ketiga, seluruh direktur/penanggung jawab biro iklan di Indonesia. Keempat, seluruh direktur utama/penanggung jawab produsen rokok di Indonesia.
Tim Advokasi meminta para pelaku usaha bidang periklanan ini agar segera mematuhi UU atau tata krama di bidang periklanan. Caranya, dengan menghentikan seluruh iklan rokok di semua media yang telah melanggar UU dan etika periklanan. Para pelaku ini diminta mematuhi somasi paling lama akhir 2001.
Menurut Tulus Abadi, Koordinator Tim Somasi, tujuan dari somasi terbuka ini merupakan pemberdayaan dengan target esadaran dari para pelaku usaha periklanan. "Jika dalam 14 hari tidak ada respons, kami akan melakukan langkah hukum, baik pidana maupun perdata, serta mekanisme yang berlaku (class action)," cetusnya kepada hukumonline.
Tulus menjelaskan bahwa somasi terbuka ini disampaikan sebagai conditio sine quanon. Pasalnya, institusi pemerintah dan institusi organisasi yang mempunyai otoritas untuk memantau dan menertibkan iklan rokok yang bermasalah tidak mampu melaksanakan kewajibannya secara sungguh-sungguh.
Sanksi
Para pelaku usaha periklanan, yaitu pengiklan (produsen), perusahaan iklan, dan media (cetak dan elektronik) tentu tidak dapat begitu saja menganggap angin lalu somasi ini. Dalam Pasal 20 Undang Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) disebutkan bahwa pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Ketiga pelaku itu dapat dipertanggungjawabkan secara tanggung renteng. Masalahnya, siapa dari para pelaku itu yang harus bertanggung jawab menurut Pasal 20 UUPK tersebut?
Siapa yang paling bertanggung jawab akan diputuskan di pengadilan nanti? Bisa saja penanggung jawabnya adalah yang menyetujui konsep iklan. Bisa juga penanggung jawabnya akan tindakan administratif pada media yang menyiarkan iklan yang menyesatkan. Sayangnya, UUPK tidak memuat masalah tindakan administratif.
Dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f UUPK dinyatakan: "melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan". Masalahnya, kita belum menerbitkan UU tentang perilaku periklanan.
Ketentuan pelaku periklanan, sejauh ini diatur dalam pasal 17 (1) UUPK, pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang, antara lain: memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan atau jasa.
Sanksi bagi para pelaku usaha yang melanggar Pasal 17 (1) ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar. Sanksi yang terdapat di Pasal 62 UUPK ini lebih berat dibandingkan sanksi yang terdapat di PP No. 81 Tahun 1999 dengan denda Rp100 juta.
Bagi para pelaku usaha pelanggar iklan rokok ini, sanksi Rp2 miliar itu mungkin dianggap terlalu ringan. Namun lebih penting dari itu, somasi terbuka ini janganlah dianggap "angin lalu" saja. Somasi ini akan menjadi ujian bagi UUPK untuk menjerat para pelaku usaha yang mengabaikan UU. Ini baru berselera!
Source: www.hukumonline.com, 19/3/2001
Somasi kepada pelaku usaha pelanggar iklan rokok itu diberikan karena maraknya pelanggaran yuridis iklan rokok di semua media periklanan, baik di media cetak, elektronik, maupun media luar rumah.
Berdasarkan PP No. 81 tahun 1999, semua iklan rokok di TV dilarang. Namun, karena orang TV memprotesnya, muncul PP No.38 Tahun 2000 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Dalam PP yang baru ini, iklan rokok di TV hanya boleh ditayangkan pukul 21.30 hingga 05.00.
Penayangan iklan rokok pada malam hari ini bertujuan agar tidak ditonton anak-anak. Namun kenyataannya, iklan rokok banyak diputar pada jam tayang utama (prime time) antara pukul 19.00-21.00. Bahkan, pertandingan tinju di TV pada pagi hari (09.00-12.00) biasanya disponsori oleh perusahaan rokok.
TV tidak dapat menolak iklan rokok karena belanja iklan rokok di TV tergolong gede, kategori kelas kakap-lah... Sementara di sisi lain, produsen rokok tentu tidak mau bila iklannya ditayangkan pada malam hari karena jelas pemirsanya sedikit. Nah, di sinilah tidak klopnya dengan UU yang ada.
Iklan rokok di media cetak juga melanggar ketentuan. Aturannya, iklan rokok di majalah atau koran tidak boleh menggambarkan produk dan yang diperbolehkan hanya logo perusahaannya saja. Namun, aturan ini bagi produsen juga menyulitkan karena bagaimana menampilkan iklan produk dengan logo perusahaan saja?
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) bukannya tinggal diam. Namun, para produsen maupun pelaku usaha periklanan agaknya tetap "membandel" dan menerabas ketentuan yang ada. Buktinya, berdasarkan pemantauan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Februari-Maret 2000, 57 % iklan di media melanggar aturan. Meskipun menurun, pada Oktober-November 2000 iklan rokok yang melanggar aturan mencapai 37%.
Somasi terbuka
Karena teguran tidak juga digubris, Tim Advokasi Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Merokok pun mensomasi semua pelaku usaha periklanan. Tidak tanggung-tanggung, 11 lembaga menyokong Tim Advokasi ini.
Lembaga yang menyokong Tim Advokasi ini, antara lain: YLKI, Komnas Penanggulangan Masalah Merokok, Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok, Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Stroke Indonesia, IDI, PGRI, Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, Yayasan Asma Anak Indonesia, dan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia.
Tim Advokasi ini memberikan somasi terbuka melalui iklan di koran. Somasi terbuka ini ditujukan kepada semua pelaku usaha di bidang periklanan. Pertama, seluruh pemimpin redaksi/penanggung jawab stasiun televisi swasta di Jakarta.
Kedua, seluruh pemimpin redaksi/penanggung jawab media massa di Indonesia. Ketiga, seluruh direktur/penanggung jawab biro iklan di Indonesia. Keempat, seluruh direktur utama/penanggung jawab produsen rokok di Indonesia.
Tim Advokasi meminta para pelaku usaha bidang periklanan ini agar segera mematuhi UU atau tata krama di bidang periklanan. Caranya, dengan menghentikan seluruh iklan rokok di semua media yang telah melanggar UU dan etika periklanan. Para pelaku ini diminta mematuhi somasi paling lama akhir 2001.
Menurut Tulus Abadi, Koordinator Tim Somasi, tujuan dari somasi terbuka ini merupakan pemberdayaan dengan target esadaran dari para pelaku usaha periklanan. "Jika dalam 14 hari tidak ada respons, kami akan melakukan langkah hukum, baik pidana maupun perdata, serta mekanisme yang berlaku (class action)," cetusnya kepada hukumonline.
Tulus menjelaskan bahwa somasi terbuka ini disampaikan sebagai conditio sine quanon. Pasalnya, institusi pemerintah dan institusi organisasi yang mempunyai otoritas untuk memantau dan menertibkan iklan rokok yang bermasalah tidak mampu melaksanakan kewajibannya secara sungguh-sungguh.
Sanksi
Para pelaku usaha periklanan, yaitu pengiklan (produsen), perusahaan iklan, dan media (cetak dan elektronik) tentu tidak dapat begitu saja menganggap angin lalu somasi ini. Dalam Pasal 20 Undang Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) disebutkan bahwa pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Ketiga pelaku itu dapat dipertanggungjawabkan secara tanggung renteng. Masalahnya, siapa dari para pelaku itu yang harus bertanggung jawab menurut Pasal 20 UUPK tersebut?
Siapa yang paling bertanggung jawab akan diputuskan di pengadilan nanti? Bisa saja penanggung jawabnya adalah yang menyetujui konsep iklan. Bisa juga penanggung jawabnya akan tindakan administratif pada media yang menyiarkan iklan yang menyesatkan. Sayangnya, UUPK tidak memuat masalah tindakan administratif.
Dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f UUPK dinyatakan: "melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan". Masalahnya, kita belum menerbitkan UU tentang perilaku periklanan.
Ketentuan pelaku periklanan, sejauh ini diatur dalam pasal 17 (1) UUPK, pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang, antara lain: memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan atau jasa.
Sanksi bagi para pelaku usaha yang melanggar Pasal 17 (1) ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar. Sanksi yang terdapat di Pasal 62 UUPK ini lebih berat dibandingkan sanksi yang terdapat di PP No. 81 Tahun 1999 dengan denda Rp100 juta.
Bagi para pelaku usaha pelanggar iklan rokok ini, sanksi Rp2 miliar itu mungkin dianggap terlalu ringan. Namun lebih penting dari itu, somasi terbuka ini janganlah dianggap "angin lalu" saja. Somasi ini akan menjadi ujian bagi UUPK untuk menjerat para pelaku usaha yang mengabaikan UU. Ini baru berselera!
Source: www.hukumonline.com, 19/3/2001
Post a Comment