Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Bukan Sekedar Curahan Hati Kartini

Buku sejarah pergerakan perempuan Indonesia terus tumbuh. “Proyek idealis” dengan sebagian besar sumber masih berasal dari luar.

Ketika hendak berangkat ke Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta pada 1928, Soejatien Kartowijono sempat tersinggung hatinya. Perempuan lajang berusia 21 tahun -yang berangkat sebagai salah seorang pencetus— itu ditanya dengan nada meledek. “Orang perempuan saja kok mengadakan Kongres, yang hendak dirembug di situ itu apa?”
Belakangan, terbukti banyak sekali yang “dirembug” dalam kongres yang kemudian menjadi titik awal gerakan perempuan Indonesia itu. Tidak kurang seribu perempuan dari beragam organisasi daerah dengan beraneka latar dan kepentingan berkumpul di Yogyakarta untuk membahas dan memperjuangkan kemajuan perempuan Indonesia pada saat itu.
Perih hati Soejatien serta serangkaian pidato yang dibakar semangat -yang disampaikan ganti berganti oleh 15 perwakilan beragam perhimpunan perempuan dalam tingkahan sambaran petir dan hujan deras— itu kemudian dimuat dalam edisi pertama majalah Isteri pada Mei 1929. Hampir 75 tahun sesudah itu, Susan Blackburn menemukan fotokopi majalah itu di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Lembarannya sudah buram, lagi susah dibaca. Mesin ketik hitam tinggi kuno yang dipakai untuk menulis menghasilkan cetakan yang memerihkan mata ketika dibaca.
Susah-payah, Associate Professor di School of Political and Social Inquiry, Monash University, Melbourne, Australia ini mengetik ulang lembaran-lembaran tidak jelas itu sesuai aslinya. Lengkap dengan berbagai salah ejaan. “Sampai kini tidak ketemu edisi asli majalah itu,” kata Blackburn.
Setahun silam, dengan bantuan KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, perempuan yang menulis sejumlah buku tentang perempuan Indonesia ini, menerbitkan kembali semua naskah pidato asli itu. Lengkap dengan detail kejadian pada hari pembukaan hingga penyampaian pandangan keesokan harinya. Kampusnya di Monash University dan Australia Indonesia Institut ikut menggelontorkan dana.
Dalam tinjauan ulangnya, profesor yang punya minat besar terhadap masalah gender di Indonesia ini menyebut tidak banyak yang tahu apa yang terjadi dalam pertemuan akbar di Minggu pagi 22 Desember itu. “Kecuali tentang sejumlah organisasi perempuan yang telah bergabung membentuk sebuah federasi,” tulis Blackburn.
Menurutnya, Berbagai tulisan tentang sejarah Indonesia menyebut kongres tersebut sebagai peristiwa satu-satunya yang patut dicatat mengenai pergerakan perempuan di masa kolonial. Namun semuanya terbatas pada beberapa kalimat saja tanpa meneliti lebih dalam apa yang terjadi di ruang rapat Joyodipuran itu. Padahal, menurut Blackburn, inilah peristiwa yang kemudian menjadi tonggak sejarah yang diabadikan sebagai Hari Ibu dan sampai saat ini diakui sebagai awal lahirnya gerakan perempuan Indonesia.
Semangat berorganisasi yang sudah sangat tinggi waktu itu tampak dari perhimpunan yang berpartisipasi seperti Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Aisjijah, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Sedjati, Darmo Laksmi, Roekoen Wanodijo, Jong Java, Wanita Moelyo, dan Wanita Taman Siswa. Perhimpunan-perhimpunan ini sudah sangat terkenal dan mapan pada waktu itu. Tetapi, ada pula organisasi kecil seperti Natdatoel Fataat, yang dibentuk di Yogyakarta oleh organisasi Islam Walfadjri, yang berperanan penting karena melontarkan isu-isu perempuan yang masih dianggap radikal pada waktu itu.
Selain membentuk Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) sebagai hasil dari kongres, pertemuan itu juga menyampaikan mosi pada pemerintah untuk menyediakan dana bagi janda dan anak yatim Indonesia. Selain itu, PPI meminta kepada pemerintah untuk menambah sekolah bagi anak-anak perempuan.
PPI menegaskan dirinya untuk menjadi badan penghubung bagi semua perkumpulan perempuan Indonesia dan bertujuan memperbaiki nasib dan status perempuan Indonesia tanpa referensi suatu agama dan keyakinan politik tertentu. PPI juga membentuk wadah beasiswa pendidikan bagi gadis-gadis miskin. Kepada organisasi yang menjadi anggotanya, PPI juga menyeru agar anggotanya aktif melakukan propaganda melawan perkawinan anak-anak.
Dari konteks sejarah gerakan perempuan Indonesia, dengan pengajuan mosi dan permintaan kepada pemerintah serta mengambil sikap terhadap praktek perkawinan Islam, bisa dilihat gerakan ini selangkah lebih maju dengan berani memasuki kehidupan politik.
Meski belum mewakili semua daerah di Indonesia karena baru Jawa dan Sumatera, menariknya, mereka yang datang memandang diri sebagai orang Indonesia dan bukan Jawa. Mereka pun menggunakan Bahasa Melayu yang menjadi dasar bahasa persatuan, setelah diikrarkan Sumpah Pemuda pada tahun itu juga. Hanya satu pidato yang menggunakan Bahasa Jawa yang disampaikan oleh Nyi Hadjar Dewantoro.
Pemrakarsa kongres, yaitu RA Soekonto, Nyi Hadjar Dewantoro, dan Soejatien yang baru berumur 39, 38, dan 21 tahun memang dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. RA Soekonto misalnya, dekat dengan Ali Satroamodjojo yang aktif di Perhimpoenan Indonesia di Negeri Belanda, kemudian aktif di Partai Nasionalis Indonesia ketika kembali ke Indonesia. RA Soekonto sendiri aktif di organisasi nonpolitik Wanito Oetomo.
Nyi Hadjar Dewantoro menikah dengan Soewardi Soerjaningrat yang mendirikan Taman Siswa. Pada 1922, Nyi Hadjar membentuk organisasi Wanita Taman Siswa yang beranggotakan guru-guru perempuan yang tergabung dalam sistem pendidikan di Taman Siswa.
Di antara tiga penggagas, hanya Soejatien yang masih lajang pada usia 21 tahun. Dua lainnya sudah menikah.
Soejatien sejak muda sudah bergabung dengan Jong Java saat masih menjadi pelajar. Saat berinisiatif menyelenggarakan kongres ia sudah menjadi seorang pengajar. Pada 1926, bersama beberapa rekannya ia mendirikan Poetri Indonesia cabang Yogyakarta. Ia seorang yang menolak feodalisme dan berusaha keras untuk berbicara Bahasa Indonesia, termasuk dengan para ningrat Jawa.
Susan Blackburn menilai, dibandingkan dengan gerakan-gerakan perempuan yang muncul kemudian, kongres yang diselenggarakan pada 1928 tersebut terlihat idealisme yang jelas untuk menyatukan gerakan perempuan. Menurut Blackburn, persoalan yang diusung para perempuan di masa itu tetap relevan dan menjadi pekerjaan rumah yang ruwet hingga kini. Ada persoalan poligami dan hakhak perempuan dalam perkawinan, soal pendidikan bagi anak perempuan, soal pernikahan anak di bawah umur, dan beragam masalah yang mendera perempuan.
Buku Blackburn ini kemudian menjadi rujukan banyak tulisan dalam dan luar negeri tentang potret perjuangan perempuan setelah Kongres 1928 itu. Ia juga menjadi satu dari rangkaian buku yang memotret perempuan Indonesia yang diangkat sejumlah penulis. Kebanyakan memang karya penulis luar,yang kemudian diterjemahkan. Dalam setahun belakangan, karya-karya tentang sejarah pergerakan perempuan bahkan mendominasi penerbitan. Melangkah lebih jauh dari sekadar surat keluh-kesah yang dikirim si manis Kartini pada sahabat Belandanya.
Komunitas Bambu termasuk penerbit yang mengambil langkah berani. Penerbit yang bermarkas di Beji, Depok ini menerbitkan dua buku bertema pergerakan perempuan secara bersamaan.
Buku yang pertama adalah Prajurit Perempuan Jawa, Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad Ke-18 yang ditulis Ann Kumar. Sementara yang satunya, Sejarah Perempuan Indonesia, Gerakan & Pencapaian karya Cora Vreede- De Stuers.
Buku De Stuers yang aslinya terbit pada 1960 ini bercerita mengenai awal mula kebangkitan gerakan perempuan di Indonesia, terutama pada masa awal abad ke- 20. Studi Cora menjelaskan permasalahan perempuan di Indonesia yang berakar pada tiga ciri, yaitu sistem matrilineal, sistem patrilineal, dan sistem bilineal.
Semua sistem kekerabatan itu bersintesis dengan Islam dan yang kemudian mereproduksi hukum yang mengatur perempuan dalam perkawinan. Perempuan yang menikah, yang disebut ibu, membentuk posisi khusus dalam struktur kekerabatan dengan fungsi dan peran yang secara permanen diatur oleh adat, terutama melalui hukum perkawinan (dan perceraian) yang merujuk pada fiqih Islam.
Ketiga ciri sistem kekerabatan itu sama- sama menempatkan perempuan sebagai “penjaga rumah”, tetapi tidak berarti mempunyai hak mengambil keputusan atas properti, yakni harta kekayaan, termasuk anak, yang memberi status sosial sebuah keluarga.
Studi Cora ini adalah sebuah refleksi berbagai masalah pergerakan perempuan, ideologi politik sezaman, dan masalahmasalah penting untuk memahami Indonesia. Cora telah mempelajari pergerakan Indonesia dengan cara yang berbeda. Karena itu, tidak heran jika Blackburn pun merekomendasikan buku ini sebagai bahan rujukan untuk melihat sejarah perempuan Indonesia.
JJ Rizal dari Komunitas Bambu menyebut dua buku ini sebagai “buku babon”. Keduanya sengaja diterbitkan berbarengan dengan peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional Indonesia. Menurutnya, pemikiran nasionalisme yang mendasari Kebangkitan Nasional sebetulnya bisa ditarik ke pemikiran R.A. Kartini. “Soetomo sendiri mengakui itu,” ujarnya, merujuk ucapan penggagas Budi Utomo ini.
Anehnya, kata dia, dalam perkembangannya peran perempuan dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia justru tak banyak muncul. “Sejarah perempuan sepertinya dihilangkan atau paling tidak dinafikan,” kata Rizal.
Lewat buku-buku ini Komunitas Bambu berniat mengisi bagian kosong dalam sejarah yang seharusnya diisi oleh peranperan perempuan. Ia merasa kehadiran literatur mengenai peran perempuan dalam sejarah menjadi penting karena saat ini kesadaran perempuan soal kesetaraan gender dan peran sosial di masyarakat mulai tumbuh. “Misalnya ada wacana kuota perempuan di partai politik dan parlemen,” katanya.
Rizal menyayangkan, dalam iklim tersebut semua referensi mengenai gerakan perempuan dan feminisme kebanyakan bercerita soal fenomena di belahan dunia barat. Sebenarnya literatur gerakan perempuan di Indonesia bukannya tidak ada, namun biasanya masih dalam bahasa asing atau bahannya sulit diakses.
Karena itu pula, Komunitas Bambu tertarik menggarap buku perempuan terutama yang bertema sejarah yang menjadi spesialis penerbit ini.
Meski awalnya proyek idealis, nyatanya sambutan pasar lumayan baik. Terbukti kedua buku tadi dan buku Cut Nyak Din, Ratu Perang Aceh yang ditulis Szekely Lulofs tengah bersiap masuk cetakan kedua. “Ini membuktikan sebenarnya buku bertema perempuan banyak diminati,” ujarnya.
Melihat fakta tersebut, Komunitas Bambu berniat menerbitkan satu buku babon lagi mengenai penghancuran gerakan perempuan yang ditulis Saskia eleonora Weirinda. Menurut Rizal, buku ini akan mengisahkan gerakan perempuan antara 1900 hingga 1965 saat peran perempuan secara sistematis dipindahkan ke wilayah domestik.
Buku Wieringa ini pernah diterbitkan Yayasan Garba Budaya dan Kalyanamitra, pada 1999. Karya aslinya berjudul The Politization of Gender Relations in Indonesia, Womens Movement and Gerwani Until the New Order State itu adalah disertasi PhD pada 1995 di University of Amsterdam, Belanda. Sebagai catatan, pada Agustus 2002, edisi aslinya diterbitkan dengan judul Sexual Politics in Indonesia oleh penerbit Palgrave-Macmillan. Sayang, gaungnya tidak terdengar.
Rizal sendiri berharap buku-bukunya menjadi referensi untuk pemberdayaan perempuan. “Jadi ketika bicara soal peran sosial perempuan, ada dasar argumen yang kuat dalam sejarah,” katanya.

***

Di luar buku-buku Komunitas Bambu dan Yayasan Obor, buku-buku tentang gerakan perempuan Indonesia kebanyakan merupakan proyek idealis dan digawangi organisasi yang bersinggungan langsung dengan persoalan gender. Misalnya organisasi yang mewadahi para aktivis yang bergerak di bidang ini.
Dilihat dari tema, buku-buku terbitan organisasi perempuan lebih banyak berkutat pada hak-hak perempuan dan gemuruh kampanye mengenai kesadaran gender. Sebagian besar mengupas persoalan kelas bawah.
Soal ini, Cora Vreede-De Stuers, yang menulis The Indonesian Women: Struggles and Achievement (kemudian diterjemahkan Komunitas Bambu menjadi Sejarah Perempuan Indonesia) menyebut ada perbedaan besar dalam persoalan yang dihadapi gerakan perempuan Indonesia dalam beragam tahapan sejarah.
Di masa awal gerakannya, organisasi perempuan menghadapi persoalan pengakuan dan perjuangan hak. Yang menarik, pelaku dan persoalan yang diangkat berasal dari kalangan menengah dan terdidik. “Ini tampak pada perempuan Minang yang sudah melek pendidikan dan notebene lebih modern dari umumnya perempuan di wilayah lain,” kata De Stuers.
Sesudah masa kemerdekaan, buku-buku yang muncul kemudian banyak menyorot perjuangan dan advokasi perempuan dalam persoalan gender. Secara khusus, ada catatan menarik tentang gerakan politik sejumlah organisasi perempuan. Sylvia Tiwon dalam tulisannya Models and Maniacs yang dimuat dalam buku Fantasizing the Feminine in Indonesia (Sears, 1996), buku-buku tentang gerakan perempuan di masa Orde Baru boleh dibilang hilang dari peta sejarah. Termasuk soal Gerakan Wanita Indonesia. Dalam buku-buku mengenai perempuan Indonesia yang terbit di masa itu, Gerwani dikebiri habis keberadaannya hingga hanya sebatas keterlibatannya dengan peristiwa G30S PKI.
Kenyataan bahwa Gerwani pernah menjadi organisasi perempuan terkuat dengan sekitar 1,5 juta anggota sebelum 1965 menjadi tabu untuk disentuh. Kisah tentang organisasi-organisasi perempuan yang pernah bekerja sama, bahkan melakukan sejumlah aksi militan dengan sayap bukan kiri Gerwani, ditutup rapat-rapat.
Pada pertengahan tahun 1990-an, mulai terbit buku-buku kompilasi tulisan yang sebagian isinya berkaitan dengan gerakan perempuan di Indonesia. Namun, tidak satu pun tulisan yang secara serius membicarakan masalah Gerwani. Memang ada tulisan mengenai pemetaan organisasi perempuan di Indonesia yang cukup kritis akhir tahun 1980-an, ditulis Wardah Hafidz dan Tati Krisnawati, keduanya aktivis. Sayang, tulisan itu tidak diterbitkan.
Kondisi ini tetap tidak membaik setelah Orde Baru tumbang. Meski jumlahnya makin banyak, sebagian besar buku tentang gerakan perempuan lebih banyak terfokus pada “buku-buku pesta” peringatan ulang tahun para tokohnya, kalau bukan berbentuk biografi.
Pada lima tahun terakhir, fenomena yang menarik tampak pada penerbitan buku tentang advokasi buruh dan persoalan hukum yang menyangkut perempuan. Sebagian diangkat dari studi kasus. Misalnya saja buku Bertahan Hidup di Desa atau Tahan Hidup di Kota, Balada Buruh Perempuan yang diterbitkan Women Research Institute tahun ini.
Buku ini menghimpun hasil penelitian tentang buruh perempuan yang bermigrasi dari perdesaan ke perkotaan dan tantangan hidup yang mereka hadapi dalam dunia industri. Buku ini juga membahas pertautan para buruh ini dengan perilaku konsumsi, aktivitas oragnisasi, dan berbagai persoalan pragmatis perkotaan.
Selain itu, ada pula buku Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia yang ditulis Sandra dan diterbitkan oleh Trade Union Rights Centre (TURC), Mei 2007. Dalam buku ini ditulis secara detail dinamika pergerakan buruh dari masa kolonial hingga era 60-an.
Sebetulnya, buku ini sudah terbit pada 1960 oleh PT Pustaka Rakyat. TURC kemudian menerbitkan kembali buku tersebut karena isinya sarat fakta penting dan relevan dengan situasi serikat pekerja saat ini. “Kami menerbitkannya kembali karena penting diketahui sebagai catatan sejarah. Ini buku yang paling lengkap membahas pergerakan buruh,” kata Surya Tjandra, Direktur TURC.
Buku setebal 192 halaman itu dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama mengulas soal awal serikat pekerja berdiri, perkembangannya dari masa kolonialisasi hingga Belanda keluar dari Indonesia. Bagian kedua membahas tentang serikat pekerja yang mulai terorganisir, kemudian diintervensi oleh pengurus partai-partai politik, berlanjut pada konflik, hingga sampai pada upaya serikat pekerja bebas dari tunggangan partai politik.
Buku ini mencatat cikal-bakal kesadaran untuk mendirikan serikat pekerja ditandai dengan lahirnya Nederland Indies Onderw Genootsch (NIOG) pada 1897. Ini adalah serikat pekerja guru-guru berkebangsaan Belanda. Pendirian NIOG terkait dengan tumbuhnya kesadaran para buruh di Belanda untuk berserikat. Menariknya, pelopor pendirian serikat pekerja di masa kolonialisme itu lahir dari pekerja kelas menengah (white collar).
Kesadaran tersebut merambat ke pekerja partikelir (swasta) di perkebunan dan perdagangan. Pada 1908, didirikan perserikatan pegawai kereta api partikelir yang bernama Verenining v.Spoor en Tram Personeel. Menariknya, Semaun —pegawai pribumi— duduk dalam jajaran pemimpin perserikatan bersama pekerja Belanda lainnya.
Dalam tempo singkat bermunculan serikat pekerja di kalangan buruh pribumi. Tokohtokoh penting yang membidani lahirnya republik ini diantaranya H. Agus Salim, Suryopranoto, R.A. Soeroso, dan SK. Trimurti, ikut menyokong berdirinya serikat pekerja.
Dalam perjalanannya, politikus partai-partai politik menggunakan serikat pekerja sebagai kendaraan untuk memenangkan kepentingannya. Intrik-intrik politis praktis partai pun menggerogoti serikat pekerja. Hingga, hal-hal esensi yang menjadi perjuangan serikat pekerja, terabaikan. Ketegangan juga merambat dalam diri serikat pekerja karena pertarungan ideologi komunis, sosialis, Islam, dan demokrat. Alhasil, serikat pekerja semakin terpuruk.
Ada pula Iskandar Tedjasukmana, yang melalui bukunya Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia yang terbit pada 1958 dan kemudian diterbitkan kembali oleh TURC pada 2008, menjelaskan serikat pekerja era 1950-an lebih mengejar tujuan-tujuan politik ketimbang memperjuangkan hak-hak pekerja/buruh seperti standar upah pekerja, kesejahteraan, cuti, dan lembur. Situasi ini berlanjut hingga rezim Orde Baru.
Menurut Tedjasukmana, sebetulnya bukan sesuatu yang haram jika gerakan serikat pekerja mengenal dinamika politik praktis. Serikat pekerja harusnya menolak jika hanya dijadikan alat atau kendaraan bagi partai politik. Jika itu terjadi, gerakan serikat pekerja dipastikan akan mengalami kehancuran.
Rezim Orde Baru dinilai paling sukses menghancurkan gerakan serikat pekerja dengan memasukkan orang-orang partainya atau underbow-nya sebagai pengurus serikat pekerja. Pasca reformasi, para aktivis buruh berusaha mengembalikan serikat pekerja ke relnya, yakni sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak buruh.
Kedua buku ini memang telah mengulas secara rinci sejarah pergerakan buruh dan watak politik serikat pekerja. Sehingga patut menjadi referensi bagi siapa saja yang tertarik maupun menggeluti isu-isu perburuhan.
Namun sayang sekali penulis tidak mengupas soal pergulatan buruh perempuan dalam bukunya. Padahal kedua buku ini menyinggung satu organisasi buruh perempuan yang punya taring kuat dalam gerakan buruh pada 1950-an, yakni Barisan Buruh Wanita yang diketuai almarhum SK Trimurti. Fakta menarik, tapi terlupakan. Itu artinya buku-buku yang berbicara soal pergerakan buruh perempuan bisa dikatakan belum ada.
Yang menarik, dalam separuh dasawarsa ini, buku-buku kajian gerakan perempuan dalam sudut pandang agama juga kian bertebaran. Sebagian besar mengkaji ulang peran dan kedudukan perempuan berdasarkan konteks Alquran dan hadis. Para penulis, yang sebagian besar cendekia muslim kelas satu dan aktivis Muslim perempuan, menggugat doktrin keagamaan yang menempatkan perempuan di wilayah kelas dua.
Keberagaman ini, kata Ruth Indiah Rahayu -peneliti di Lingkar Tutur Perempuan-Institut Sejarah Sosial Indonesia— dalam kata pengantarnya di buku De Stuers, membuat kita butuh informasi dari buku yang merekonstruksi gerakan perempuan mutakhir, setidaknya dalam rentang kebangkitan sejak 1980-an hingga sesudah reformasi. Esai-esai yang produktif sesudah reformasi adalah tentang politik keterwakilan, problem gender dana hubungannya dengan Islam, dan kekerasan terhadap perempuan. Sejauh itu belum direkonstruksi dalam sebuah buku yang lengkap, akan sukar memetakan perjalanan berharga gerakan perempuan di negeri ini. MARIA RITA HASUGIAN/OKTAMANDJAYA WIJAYA/ANGELA

Source: www.tempointeraktif.com/ruangbaca, Edisi 28 Juli 2008

0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts