RESENSI BUKU
Judul : SECANGKIR KOPI, OBROLAN SEPUTAR HOMESCHOOLING
Penulis : Loy Kho
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Jumlah hal : 262 hlmn
Untuk publik Indonesia, perbincangan mengenai homeschooling belum begitu tersebar luas. Namun di luar negeri, khususnya di Amerika, homeschooling telah diaplikasikan sejak dekade 1970-an. Gerakan ini diawali oleh ketidakpuasan sejumlah orang tua terhadap pola pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah negeri, yang tak bebas dari ancaman pergaulan bebas. Fenomena ini cukup unik karena seiring kian vitalnya peran institusi pendidikan, orang tua justru memilih mendidik sendiri putra-putri mereka.
Homeschooling bukan sekadar memindahkan institusi sekolah ke dalam rumah, tapi lebih dari itu merupakan proses perjalanan sebuah keluarga dalam mengarungi samudra kehidupan. Homeschooling adalah alternatif bagi pendidikan modern yang dirasa minus nilai-nilai moralitas dan religiusitas, dimana anak-anak diajar bertanggungjawab sejak dini terhadap setiap perilaku mereka. Bertanggung jawab bagi keluarga, bagi masyarakat, dan lebih penting bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.
Pilihan menerapkan homeschooling didasarkan pada fungsi keluarga itu sendiri dalam proses pendidikan. Peran aktif keluarga dalam pendidikan memang tidak tergantikan oleh institusi manapun, termasuk sekolah. Keluarga merupakan basis dari pembentukan karakter (character building) anak didik, hal yang paling vital dalam pendidikan itu sendiri. Maka, ketika dalam 50 tahun terakhir terjadi degradasi moral yang parah di Amerika, yang ditandai dengan keluarnya peraturan 410. U.S 113 (1973) yang melegalkan kasus aborsi akibat tingginya praktik seks bebas, sejumlah orang tua khawatir dan homeschooling adalah salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan.
Buku ini bercerita tentang likaliku sejumlah orang tua di Amerika dalam menerapkan sekolah-dirumah bagi putra-putri mereka. Ditulis dengan gaya reportase yang ringan, penulisnya, perempuan Indonesia yang kini tinggal di Cary, North Carolina ini ingin berbagi kepada publik Indonesia tentang pengalamannya sendiri dan beberapa orang koleganya melaksanakan homeschooling. Loy Kho melakukan berbagai wawancara dengan homeschooler di sana. Narasumbernya bermacam-macam: mantan Guru Taman Kanak-kanak, mantan guru sekolah publik, hingga pendiri kelompok homeschooling.
Seperti diakuinya sendiri, melaksanakan homeschooling bukan proyek mudah. Harus ada kesabaran, ketelatenan, kreativitas, tanggungjawab, kemauan, dan pengetahuan yang cukup untuk ditransfer kepada putra-putrinya yang sekaligus menjadi muridnya dalam homeschooling. Dalam keluarga homeschooler, setiap anggota saling berinteraksi dengan kesadaran betul akan posisi masing-masing. Orang tua menjadi pendidik, dan putra-putri menjadi murid selama jam pelajaran diterapkan. Yang menjadi pengajar biasanya adalah ibu, karena seorang ayah bekerja di luar rumah sehingga tidak memungkinkan untuk intensif mendampingi murid-murid dalam homeschooling. Ibu berperan ganda, orang tua sekaligus guru, yang mencurahkan pengetahuan dan kasih sayang sekaligus.
Tak ada kurikulum yang seragam dalam homeschooling, seperti halnya tidak ada dua keluarga yang persis sama satu sama lain. Satu kurikulum bisa cocok terhadap satu keluarga, tapi belum tentu untuk keluarga yang lain. Oleh karena itu para homeschooler bebas membuat kebijakan seputar kurikulum apakah yang akan diterapkan. Orientasinya pun bisa berbeda- beda, ada keluarga yang lebih menitikberatkan kepada pengajaran agama, ada pula yang begitu giat dalam bidang kesenian, tergantung latar belakang sosial dan insight keluarga yang bersangkutan.
Harapannya —dengan homeschooling— potensi, minat, bakat dan kemampuan masing-masing murid lebih mudah dideteksi oleh gurunya. Berbeda dengan institusi sekolah formal yang tidak memakai pendekatan khusus terhadap setiap anak, dalam homeschooling masing-masing anak diperlakukan secara personal sesuai karakter dan kecenderungannnya. Hal ini tidak aneh karena sang guru mendidik murid secara penuh 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan mendampingi mereka sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Anak-anak diajari bagaimana mengatur waktu antara bermain, belajar, melakukan tugas rumah tangga, yang dianggap merupakan strategi hebat untuk melecutkan rasa tanggungjawab.
Memang tidak selalu mudah menyelenggarakan pendidikan rumah atau homeschooling. Pengalaman penulis mewawancarai beberapa teman di lingkungan tempatnya tinggal menunjukkan betapa sulitnya menyelenggarakan homeschooling. Selain syarat penguasaan materi dan kemampuan mengajar yang bagus, sang guru dalam homeschooling juga dituntut kreatif mengatasi kenakalan dan penyimpangan yang mutlak akan dihadapi setiap pendidik ketika anak didiknya masih lebih suka bermain ketimbang belajar.
Karena itulah setiap homeschooling tidak selalu bertahan dan sukses mengantarkan anak menuju perguruan tinggi, saat anak telah melewati masa penyekolahrumahan. Sebagian keluarga harus menyerah mendidik anaknya di rumah bahkan sebelum masa satu tahun homeschooling diselenggarakan. Kesulitan itu kompleks, termasuk kesulitan membagi waktu dan tugas sebagai ibu rumah tangga dan sebagai ibu pendidik. Namun kesulitan utama datang dari sikap anak didik sendiri yang cenderung reaksioner terhadap arahan guru, disamping kebuntuan sang guru mengelola konflik dan friksi dalam keluarga homeschooling tersebut.
Tercatat 17 keluarga Amerika dari berbagai latar belakang yang mencurahkan aneka ragam pengalaman menyelenggarakan homeschooling dalam buku ini, termasuk keluarga penulis yang menerapkannya bagi ketiga anaknya, Beni, Rara, dan Lilis. Ketiganya memiliki usia, tingkat kemampuan, gaya belajar, minat dan karakter yang berbeda satu sama lain. Dan dalam atmosfer perbedaan itulah sebenarnya kapabilitas dan kesanggupan para homeschooler diuji, apakah pendidikan rumah yang dilaksanakannya mampu mengantar anaknya hingga menjadi mahasiswa, karena di Amerika sekolah rumah hanya dilegalkan sampai tiba waktunya si anak mendaftar di perguruan tinggi? Atau justru ambruk sebelum homeschooling betul- betul terasa manfaatnya?
Selain reportase pengalaman keluarga homeschooler di Amerika, buku ini dilengkapi juga dengan ulasan legalitas homeschooling, termasuk untuk Indonesia, yang hingga saat ini belum begitu dikenal masyarakat. Membaca buku bergaya bahasa lugas dan sederhana ini, kita diajak mengenal sukaduka memberikan pendidikan kepada anak di dalam rumah. Karena seperti yang penulis tegaskan dalam bab pertama “Yang Indah Itu Sulit dan Tak Nyaman,” maka homeschooling menyajikan pertukaran antara suka dan duka sekaligus.
By: M. Sanusi, Kerani di Indonesia Buku (I:Boekoe), Jakarta
Source: www.tempointeraktif.com/ruangbaca, Edisi 28 Juli 2008
Post a Comment