Pada tanggal 5 Juni mendatang adalah hari lingkungan hidup yang diperingati di seluruh dunia. Kondisi lingkungan sudah semakin kritis, kerusakan terjadi di mana-mana. Biaya yang harus dikeluarkan untuk merehabilitasi lingkungan yang rusak juga tidak sedikit. Memakan jatah yang harus dikeluarkan untuk keluarga miskin dan pembangunan fasilitas layanan publik lainnya. Biaya yang timbul jauh lebih besar dibandingkan manfaat (pendapatan) yang diperoleh akibat pengrusakan hutan, penangkapan ikan dengan bom, pencemaran laut, air dan udara. Banyak lagi kerusakan di darat dan di laut yang semuanya harus ditanggulangi oleh manusia agar bisa bertahan hidup untuk mempunyai kualitas hidup yang baik.
Sekarang, perhatian terhadap pencemaran lingkungan, kerusakan eksositem dsb mulai meningkat dengan sangat signifikan. Kebocoran ozon merapakan isu utama dalam setiap pembicaraan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara dunia. Upaya dilakukan untuk mengurangi emisi rumah kaca dan mencegah melebarnya kebocoran lapisan ozon. Dampak itu semua telah sama-sama kita rasakan, naiknya permukaan air lahir, perubahan secara anomali iklim di seluruh dunia, pemanasan suhu bumi dsb.
Karena kita tahu bahwa akibat yang terjadi sangat besar, maka mulailah gerakan sadar lingkungan marak dikampanyekan oleh para aktifis lingkungan, pembuat kebijakan, bahkan artis. Semuanya terlibat mengkampanyekan gerakan hijau. Ada green GDP, green consumer dan green product. Everything is green now. Artinya, semuanya sudah mulai sadar bahwa lingkungan perlu dijaga, kalau tidak… lingkungan tidak lama lagi bisa kita manfaatkan.
Green GDP atau GDP (PDB) hijau artinya menghitung GDP suatu negara dengan memasukkan unsur kerusakan (degradation) lingkungan sebagai cost. Kalau dengan menebang hutan negara mendapatkan penghasilan sekian trilyun, maka negara juga harus menghitung berapa cost yang harus ditanggung agar hutan tadi tetap ada. Hitungan-hitungan seperti ini perlu dilakukan untuk keberlanjutan ketersediaan sumber daya untuk generasi yang akan datang (sustainable resources).
Green product atau produk hijau adalah produk yang dihasilkan dengan proses produksi yang ramah lingkungan. Tidak ada proses produksi yang mencemari lingkungan. Kita mengenal istilah externalitas negatif dari suatu kegiatan usaha. Maka kalau ini terjadi, sudahkah pihak yang dirugikan (menerima dampak externalitas negatif) mendapatkan kompensasi?
Sebagai contoh pabrik semen, menghasilkan abu yang menyebabkan atap-atap rumah penduduk menjadi berabu dan polusi udara. Memang ada ambang batas yang mungkin telah dipatauhi oleh perusahaan, tetapi tetap ada dampak yang ditimbulkan terhadap kesehatan masyarakat sekitarnya. Timbul penyakit paru, ISPA dsb, bahkan dalam jangka panjang mungkin efek penyakitnya akan jauh lebih buruk.
Kemudian jalan raya yang biasa digunakan oleh masyarakat umum, karena banyaknya truk yang keluar masuk mengangkut semen dan bahan bakar batu bara, menyebabkan jalanan cepat rusak. Lalu siapa yang harus memperbaiki jalan yang rusak tersebut? Pemerintahkah? Atau perusahaan yang menyebabkan adanya externalitas negatif tadi? Dengan memasukkan biaya externalitas negatif yang dihasilkan akibat proses produksi perusahaan yang tidak bisa dihindari, maka perusahaan tersebut telah menjalankan prinsip-prinsip green product. Harus ada biaya yang dimasukkan ke dalam beban perusahaan untuk mengatasi degradasi lingkungan, externalitas negatif, community development, dll.
Lalu dengan green consumer (konsumen hijau)--konsumen yang hanya mengkonsumsi produk-produk hijau. Gerakan green consumer sudah cukup trend di kalangan masyarakat dunia khususnya negara-negara maju. Gerakan ini haram mengkonsumsi barang-barang yang merusak lingkungan atau proses produksinya mencemari lingkungan.
Semua elemen yang ada sepertinya sudah mulai sadar untuk bergerak bersama-sama untuk menjadikan lingkungan sebagai faktor yang menentukan dalam pembangunan ekonomi sehingga terwujud pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Orang bijak mengatakan bumi ini bukanlah milik kita tetapi titipan anak cucu kita. Kalau tidak kita jaga, maka kita telah tidak amanah terhadap titipan yang diberikan oleh anak cucu kita kepada kita. Mari kita peringati hari lingkungan hidup ini dengan meningkatkan kesadaran akan hak-hak dan kewajiban kita dalam menjaga lingkungan ini. Jangan sakiti dia karena kalau dia sakit maka kitapun akan menanggung deritanya. Wallohu a’lam bis shawab.
By: Wempie Yuliane (Alumni Program Double Degree Universitas Indoensia-Vrije Universiteit Amsterdam, Staf Pemkab Tanahdatar)
Source: www.padangekspres.co.id, 15 Mei 2008
Sekarang, perhatian terhadap pencemaran lingkungan, kerusakan eksositem dsb mulai meningkat dengan sangat signifikan. Kebocoran ozon merapakan isu utama dalam setiap pembicaraan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara dunia. Upaya dilakukan untuk mengurangi emisi rumah kaca dan mencegah melebarnya kebocoran lapisan ozon. Dampak itu semua telah sama-sama kita rasakan, naiknya permukaan air lahir, perubahan secara anomali iklim di seluruh dunia, pemanasan suhu bumi dsb.
Karena kita tahu bahwa akibat yang terjadi sangat besar, maka mulailah gerakan sadar lingkungan marak dikampanyekan oleh para aktifis lingkungan, pembuat kebijakan, bahkan artis. Semuanya terlibat mengkampanyekan gerakan hijau. Ada green GDP, green consumer dan green product. Everything is green now. Artinya, semuanya sudah mulai sadar bahwa lingkungan perlu dijaga, kalau tidak… lingkungan tidak lama lagi bisa kita manfaatkan.
Green GDP atau GDP (PDB) hijau artinya menghitung GDP suatu negara dengan memasukkan unsur kerusakan (degradation) lingkungan sebagai cost. Kalau dengan menebang hutan negara mendapatkan penghasilan sekian trilyun, maka negara juga harus menghitung berapa cost yang harus ditanggung agar hutan tadi tetap ada. Hitungan-hitungan seperti ini perlu dilakukan untuk keberlanjutan ketersediaan sumber daya untuk generasi yang akan datang (sustainable resources).
Green product atau produk hijau adalah produk yang dihasilkan dengan proses produksi yang ramah lingkungan. Tidak ada proses produksi yang mencemari lingkungan. Kita mengenal istilah externalitas negatif dari suatu kegiatan usaha. Maka kalau ini terjadi, sudahkah pihak yang dirugikan (menerima dampak externalitas negatif) mendapatkan kompensasi?
Sebagai contoh pabrik semen, menghasilkan abu yang menyebabkan atap-atap rumah penduduk menjadi berabu dan polusi udara. Memang ada ambang batas yang mungkin telah dipatauhi oleh perusahaan, tetapi tetap ada dampak yang ditimbulkan terhadap kesehatan masyarakat sekitarnya. Timbul penyakit paru, ISPA dsb, bahkan dalam jangka panjang mungkin efek penyakitnya akan jauh lebih buruk.
Kemudian jalan raya yang biasa digunakan oleh masyarakat umum, karena banyaknya truk yang keluar masuk mengangkut semen dan bahan bakar batu bara, menyebabkan jalanan cepat rusak. Lalu siapa yang harus memperbaiki jalan yang rusak tersebut? Pemerintahkah? Atau perusahaan yang menyebabkan adanya externalitas negatif tadi? Dengan memasukkan biaya externalitas negatif yang dihasilkan akibat proses produksi perusahaan yang tidak bisa dihindari, maka perusahaan tersebut telah menjalankan prinsip-prinsip green product. Harus ada biaya yang dimasukkan ke dalam beban perusahaan untuk mengatasi degradasi lingkungan, externalitas negatif, community development, dll.
Lalu dengan green consumer (konsumen hijau)--konsumen yang hanya mengkonsumsi produk-produk hijau. Gerakan green consumer sudah cukup trend di kalangan masyarakat dunia khususnya negara-negara maju. Gerakan ini haram mengkonsumsi barang-barang yang merusak lingkungan atau proses produksinya mencemari lingkungan.
Semua elemen yang ada sepertinya sudah mulai sadar untuk bergerak bersama-sama untuk menjadikan lingkungan sebagai faktor yang menentukan dalam pembangunan ekonomi sehingga terwujud pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Orang bijak mengatakan bumi ini bukanlah milik kita tetapi titipan anak cucu kita. Kalau tidak kita jaga, maka kita telah tidak amanah terhadap titipan yang diberikan oleh anak cucu kita kepada kita. Mari kita peringati hari lingkungan hidup ini dengan meningkatkan kesadaran akan hak-hak dan kewajiban kita dalam menjaga lingkungan ini. Jangan sakiti dia karena kalau dia sakit maka kitapun akan menanggung deritanya. Wallohu a’lam bis shawab.
By: Wempie Yuliane (Alumni Program Double Degree Universitas Indoensia-Vrije Universiteit Amsterdam, Staf Pemkab Tanahdatar)
Source: www.padangekspres.co.id, 15 Mei 2008
Post a Comment