Krisis pangan demi krisis pangan menghantam dunia beberapa tahun belakangan, tak terkecuali Indonesia. Sebuah pengamatan mendalam mengungkap krisis tersebut ternyata merupakan buntut dari kebijakan pertanian dan pangan yang buruk, yang tak berpihak kepada rakyat kecil.
Sejak tahun 1970-an, ketika program revolusi hijau diluncurkan melalui program penyesuaian struktural Bank Dunia, produksi pangan (beras) dunia meningkat, namun terpusat hanya di tangan negara-negara yang mendominasi perdagangan beras.
Kebijakan liberalisasi perdagangan pertanian melalui Organisasi Perdagangan Dunia (AoA/Agreement on Agriculture dalam WTO) menempatkan beras di pasar dunia hanya sebagai komoditas dagang semata. Keadaan juga diperparah oleh permainan spekulasi harga beras dan investasi. Di bawah Perjanjian Pertanian (AoA), subsidi pemerintah bahkan harus dicabut demi terciptanya perdagangan beras yang lebih efisien. Namun harga-harga menjadi sangat tidak stabil dan lebih tinggi dibandingkan permintaan dan penawaran yang sesungguhnya.
Bahkan sementara tingkat konsumsi beras lebih tinggi daripada kapasitas produksi beras, para pemerintah pun melepas tanggung jawabnya untuk memproteksi (melindungi) harga beras ketika terjadi gagal panen. Sistem ini membuat beras menjadi sangat rapuh di pasar dunia, ketika pasar global berhenti mendistribusikan beras, orang-orang miskin di negara-negara berkembanglah yang menderita. Kebijakan liberalisasi beras juga telah mengubah pola-pola produksi, konsumsi, dan distribusi beras di tingkat global yang berdampak langsung di tingkat nasional.
Negara Agraris tapi Pengimpor Pangan
Kini Indonesia sangat bergantung pada impor pangan (menjadi negara pengimpor pangan/food net importer) untuk sejumlah komoditas. Pada dasawarsa terakhir (1996-2005), Indonesia menghabiskan devisa sedikitnya Rp 14,7 triliun per tahun untuk mengimpor pangan. Sementara itu, Badan Urusan Logistik (Bulog) di bawah tekanan letter of intent IMF, harus diprivatisasi. Artinya, Bulog tidak lagi punya wewenang untuk memonopoli perdagangan beras dan mengendalikan harganya. Kini badan ini hanya mengendalikan 7% perdagangan beras domestik; sisanya 93% dikendalikan oleh sektor swasta (perusahaan asing). Produksi beras skala besar (industri beras) yang sangat mengandalkan asupan kimia pun telah menjadi hal biasa, yang menjadi pemusatan kendali atas asupan (input) beras, produksi, konsumsi, dan distribusi ke segelintir perusahaan multinasional. Sebaliknya, dalam sistem perdagangan ini, petani sebagai produsen dan konsumen tidak mendapat perlindungan apalagi keuntungan. Apalagi perempuan petani yang menguasai pengetahuan tentang pemilihan benih-benih padi, pemeliharaan tanaman, pemanenan, dalam pemrosesan dan distribusi beras, disingkirkan oleh industri beras.
Kita mendapati ketersediaan bahan pokok makin rapuh, contohnya persediaan pangan seperti beras, gula, tepung, minyak goreng, kedelai dan lain-lain mulai menghilang. Di sisi lain, negara-negara industri mulai memanfaatkan biofuel yang berasal dari pertanian (agro-fuel). Akibatnya, penyusutan lahan-lahan pertanian pun terus berlangsung, beralih menjadi perkebunan agrofuel untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di negara-negara industri. Di Indonesia, setiap tahun tidak kurang dari 120.000 hektar lahan pertanian berubah wujud menjadi kawasan industri, perumahan, dan lahan selain pertanian seiring dengan eksploitasi tanah dan air secara besar-besaran. Pengalihan fungsi lahan pertanian yang terus-menerus ini adalah hasil kebijakan pemerintah Indonesia yang setia melayani ekspansi bisnis perusahaan-perusahaan besar (perkebunan, real estate, industri, dan lain-lain), meski harus menyingkirkan lahan pertanian. Contohnya, Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, UU No. 4 tahun 2004 tentang sumber daya air, Keppres No. 36 tahun 2006 dan No. 65 tahun 2006 tentang pemanfaatan lahan untuk kepentingan umum, UU No. 18 tahun 2003 tentang perkebunan, dan UU No. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, semuanya gagal memberikan perlindungan bagi pertanian dan pangan.
Krisis beras pada 1998, disusul kelangkaan susu, minyak goreng, dan tepung terigu pada 2007, dan kembalinya krisis beras pada 2008 adalah akibat kebijakan pangan yang tunduk pada mekanisme pasar. Bahkan meski pemerintah telah menetapkan harga beli gabah kering giling Rp 2.400/kg, para petani masih tidak memperoleh untung karena nilai tukar petani sangat rendah, yang merupakan akibat dari: (1). Ongkos produksi yang tinggi, contohnya harga pupuk ZA meningkat drastis dari Rp 40.000/kantung pada 2005 menjadi Rp 70.000/kantung pada 2006 dan Rp 120.000/kantung pada 2008; (2) dalam banyak kasus, sektor swasta yang membeli gabah kering giling dari petani di bawah harga beli pemerintah; (3) membanjirnya impor beras murah, bebas bea impor dan subsidi dari pemerintah; (4) harga produk non pertanian lebih tinggi dari harga produk pertanian.
Krisis-krisis ini menunjukkan betapa pasar bebas/neoliberal yang berbasis pertanian skala besar dan pembuatan keputusan yang pro pasar terbukti tidak mampu menyediakan pangan yang cukup bagi setiap orang. Di lain pihak, orang miskin dan kelaparan, orang-orang yang menderita penyakit yang berhubungan dengan kekurangan pangan meningkat tajam jumlahnya sejak dianutnya liberalisasi perdagangan di mana perempuan dan anak menempati jumlah terbesar.
Belajar dari Pengalaman
Bina Desa meyakini: pangan (beras) tidak dapat diperlakukan sebagai komoditas semata. Pangan adalah hak dasar setiap manusia, sehingga pemerintah harus bertanggung jawab untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati hak setiap manusia untuk mempunyai akses berkelanjutan ke pangan yang sehat, cukup, dan bergizi. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan perlindungan dan insentif kepada petani untuk mencapai kecukupan pangan bagi setiap orang. Peraturan tentang perdagangan beras harus menjamin keuntungan bagi petani dan mampu dapat menjawab pertanyaan “siapa mendapat apa?”, guna mencegah berulangnya kesalahan neoliberal di mana para pedagang besar menikmati pembagian keuntungan yang paling besar, sementara petani yang telah bekerja keras justru menderita. Keuntungan yang sepadan antara petani dan konsumen perlu segera dikembangkan guna menjamin keberlanjutan produksi pangan yang bergizi, sehat, dan mencukupi, serta menjamin kaum perempuan memainkan perannya dengan aktif dalam proses produksi, konsumsi, dan distribusi pangan.
Atas dasar keyakinan ini, Bina Desa mengembangkan pertanian berkelanjutan bersama organisasi-organisasi tani di pedesaan. Inisiatif-inisiatif di bidang produksi, konsumsi, dan distribusi ini berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan inovasi perempuan dan laki-laki petani bekerja bersama alam. Produksi beras organik dapat membuat para petani secara berarti menurunkan ongkos asupan produksi sebab mereka dapat membuat asupan itu sendiri dari sumber daya alam di sekitar dan memasarkan produk mereka yang juga akan menguntungkan.
Prinsip pemasaran beras organik berlaku ketika produksi beras melebihi kebutuhan konsumsi di rumah tangga petani. Lantas, tantangannya adalah bagaimana menciptakan pasar-pasar yang menguntungkan petani seraya memberikan pangan yang sehat kepada konsumen. Untuk menanggapi masalah ini, Bina Desa menjalin kemitraan dengan organisasi-organisasi tani seperti koperasi petani Pasar Tani yang didukung LESMAN di Boyolali Jawa Tengah guna membangun pasar-pasar beras organik.
Di dalam kemitraan ini, harga beras yang didistribusikan di Jakarta ditentukan oleh koperasi petani pada harga Rp 6.800/kg (termasuk ongkos angkut ke Jakarta Rp 300/kg), sementara harga beras organik di Boyolali berkisar Rp 4.500 - 5.000/kg. Dengan demikian rata-rata keuntungan bersih petani Rp 1.500 – 2.000/kg. Bina Desa mendistribusikan beras organik di Jakarta dengan harga Rp 8.000/kg, selisih harga digunakan untuk menutup ongkos transport di Jakarta, biaya pengemasan, serta promosi.
Pemasaran beras organik ini dilakukan dengan menawarkan kepada konsumen, sebagai bentuk perlindungan dan insentif untuk petani ketika terjadi kelebihan produksi, dan untuk meningkatkan kesadaran konsumen pentingnya membangun solidaritas dengan petani untuk menghasilkan pangan yang sehat. Melalui pendekatan ini, pasar beras organik mulai kelihatan wujudnya, yang mampu menyerap kelebihan produksi dari organisasi-organisasi tani sehingga memotivasi petani tetap menghasilkan pangan sehat dengan cara-cara yang berkelanjutan.
Pada akhir 2007, sebanyak 638 keluarga petani yang terorganisir dalam 29 kelompok dan mencakup kawasan seluas 50 hektar lahan terlibat dalam program pengembangan beras organik. Delapan dari kelompok ini (178 keluarga petani) telah menjalin kontrak pemasaran secara kolektif dengan koperasi Pasar Tani dalam memasok pasar nasional, kerja sama ini difasilitasi Bina Desa. Keuntungan dari pengembangan pertanian organik dan pemasaran kolektif bagi petani adalah: (1) petani mendapat jaminan harga yang adil dari koperasi Pasar Tani; (2) petani mendapat harga yang lebih tinggi untuk beras mereka dibandingkan beras konvensional; (3) petani dapat menyimpan benih, air, dan asupan pertanian mengingat mereka menerapkan teknik-teknik budi daya organik dan metode SRI (system of rice intensification); (4) kelompok-kelompok tani menjadi lebih kuat sebagai hasil pemasaran kolektif (keuntungan sosial); (5) kelompok-kelompok dapat menabung dengan cara menyisihkan Rp 50 dari setiap anggota dari keuntungan yang diperolehnya. Dana ini digunakan untuk memperkuat lembaga dan menutup biaya operasional kelompok.
Dalam jangka panjang, Bina Desa berharap model ini akan memotivasi petani secara umum untuk menerapkan praktik-praktik pertanian organik ke tanaman-tanaman lainnya sehingga masyarakat dan keluarganya mempunyai akses yang berkelanjutan ke pangan sehat. Pertanian organik juga diharapkan akan menciptakan pasar kerja di pedesaan di mana keluarga petani terlibat dan kaum perempuan dapat memainkan peran pentingnya.
By: Dwi Astuti (Direktur Eksekutif Bina Desa) dan Imam Suharto
Source: www.binadesa.or.id
Sejak tahun 1970-an, ketika program revolusi hijau diluncurkan melalui program penyesuaian struktural Bank Dunia, produksi pangan (beras) dunia meningkat, namun terpusat hanya di tangan negara-negara yang mendominasi perdagangan beras.
Kebijakan liberalisasi perdagangan pertanian melalui Organisasi Perdagangan Dunia (AoA/Agreement on Agriculture dalam WTO) menempatkan beras di pasar dunia hanya sebagai komoditas dagang semata. Keadaan juga diperparah oleh permainan spekulasi harga beras dan investasi. Di bawah Perjanjian Pertanian (AoA), subsidi pemerintah bahkan harus dicabut demi terciptanya perdagangan beras yang lebih efisien. Namun harga-harga menjadi sangat tidak stabil dan lebih tinggi dibandingkan permintaan dan penawaran yang sesungguhnya.
Bahkan sementara tingkat konsumsi beras lebih tinggi daripada kapasitas produksi beras, para pemerintah pun melepas tanggung jawabnya untuk memproteksi (melindungi) harga beras ketika terjadi gagal panen. Sistem ini membuat beras menjadi sangat rapuh di pasar dunia, ketika pasar global berhenti mendistribusikan beras, orang-orang miskin di negara-negara berkembanglah yang menderita. Kebijakan liberalisasi beras juga telah mengubah pola-pola produksi, konsumsi, dan distribusi beras di tingkat global yang berdampak langsung di tingkat nasional.
Negara Agraris tapi Pengimpor Pangan
Kini Indonesia sangat bergantung pada impor pangan (menjadi negara pengimpor pangan/food net importer) untuk sejumlah komoditas. Pada dasawarsa terakhir (1996-2005), Indonesia menghabiskan devisa sedikitnya Rp 14,7 triliun per tahun untuk mengimpor pangan. Sementara itu, Badan Urusan Logistik (Bulog) di bawah tekanan letter of intent IMF, harus diprivatisasi. Artinya, Bulog tidak lagi punya wewenang untuk memonopoli perdagangan beras dan mengendalikan harganya. Kini badan ini hanya mengendalikan 7% perdagangan beras domestik; sisanya 93% dikendalikan oleh sektor swasta (perusahaan asing). Produksi beras skala besar (industri beras) yang sangat mengandalkan asupan kimia pun telah menjadi hal biasa, yang menjadi pemusatan kendali atas asupan (input) beras, produksi, konsumsi, dan distribusi ke segelintir perusahaan multinasional. Sebaliknya, dalam sistem perdagangan ini, petani sebagai produsen dan konsumen tidak mendapat perlindungan apalagi keuntungan. Apalagi perempuan petani yang menguasai pengetahuan tentang pemilihan benih-benih padi, pemeliharaan tanaman, pemanenan, dalam pemrosesan dan distribusi beras, disingkirkan oleh industri beras.
Kita mendapati ketersediaan bahan pokok makin rapuh, contohnya persediaan pangan seperti beras, gula, tepung, minyak goreng, kedelai dan lain-lain mulai menghilang. Di sisi lain, negara-negara industri mulai memanfaatkan biofuel yang berasal dari pertanian (agro-fuel). Akibatnya, penyusutan lahan-lahan pertanian pun terus berlangsung, beralih menjadi perkebunan agrofuel untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di negara-negara industri. Di Indonesia, setiap tahun tidak kurang dari 120.000 hektar lahan pertanian berubah wujud menjadi kawasan industri, perumahan, dan lahan selain pertanian seiring dengan eksploitasi tanah dan air secara besar-besaran. Pengalihan fungsi lahan pertanian yang terus-menerus ini adalah hasil kebijakan pemerintah Indonesia yang setia melayani ekspansi bisnis perusahaan-perusahaan besar (perkebunan, real estate, industri, dan lain-lain), meski harus menyingkirkan lahan pertanian. Contohnya, Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, UU No. 4 tahun 2004 tentang sumber daya air, Keppres No. 36 tahun 2006 dan No. 65 tahun 2006 tentang pemanfaatan lahan untuk kepentingan umum, UU No. 18 tahun 2003 tentang perkebunan, dan UU No. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, semuanya gagal memberikan perlindungan bagi pertanian dan pangan.
Krisis beras pada 1998, disusul kelangkaan susu, minyak goreng, dan tepung terigu pada 2007, dan kembalinya krisis beras pada 2008 adalah akibat kebijakan pangan yang tunduk pada mekanisme pasar. Bahkan meski pemerintah telah menetapkan harga beli gabah kering giling Rp 2.400/kg, para petani masih tidak memperoleh untung karena nilai tukar petani sangat rendah, yang merupakan akibat dari: (1). Ongkos produksi yang tinggi, contohnya harga pupuk ZA meningkat drastis dari Rp 40.000/kantung pada 2005 menjadi Rp 70.000/kantung pada 2006 dan Rp 120.000/kantung pada 2008; (2) dalam banyak kasus, sektor swasta yang membeli gabah kering giling dari petani di bawah harga beli pemerintah; (3) membanjirnya impor beras murah, bebas bea impor dan subsidi dari pemerintah; (4) harga produk non pertanian lebih tinggi dari harga produk pertanian.
Krisis-krisis ini menunjukkan betapa pasar bebas/neoliberal yang berbasis pertanian skala besar dan pembuatan keputusan yang pro pasar terbukti tidak mampu menyediakan pangan yang cukup bagi setiap orang. Di lain pihak, orang miskin dan kelaparan, orang-orang yang menderita penyakit yang berhubungan dengan kekurangan pangan meningkat tajam jumlahnya sejak dianutnya liberalisasi perdagangan di mana perempuan dan anak menempati jumlah terbesar.
Belajar dari Pengalaman
Bina Desa meyakini: pangan (beras) tidak dapat diperlakukan sebagai komoditas semata. Pangan adalah hak dasar setiap manusia, sehingga pemerintah harus bertanggung jawab untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati hak setiap manusia untuk mempunyai akses berkelanjutan ke pangan yang sehat, cukup, dan bergizi. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan perlindungan dan insentif kepada petani untuk mencapai kecukupan pangan bagi setiap orang. Peraturan tentang perdagangan beras harus menjamin keuntungan bagi petani dan mampu dapat menjawab pertanyaan “siapa mendapat apa?”, guna mencegah berulangnya kesalahan neoliberal di mana para pedagang besar menikmati pembagian keuntungan yang paling besar, sementara petani yang telah bekerja keras justru menderita. Keuntungan yang sepadan antara petani dan konsumen perlu segera dikembangkan guna menjamin keberlanjutan produksi pangan yang bergizi, sehat, dan mencukupi, serta menjamin kaum perempuan memainkan perannya dengan aktif dalam proses produksi, konsumsi, dan distribusi pangan.
Atas dasar keyakinan ini, Bina Desa mengembangkan pertanian berkelanjutan bersama organisasi-organisasi tani di pedesaan. Inisiatif-inisiatif di bidang produksi, konsumsi, dan distribusi ini berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan inovasi perempuan dan laki-laki petani bekerja bersama alam. Produksi beras organik dapat membuat para petani secara berarti menurunkan ongkos asupan produksi sebab mereka dapat membuat asupan itu sendiri dari sumber daya alam di sekitar dan memasarkan produk mereka yang juga akan menguntungkan.
Prinsip pemasaran beras organik berlaku ketika produksi beras melebihi kebutuhan konsumsi di rumah tangga petani. Lantas, tantangannya adalah bagaimana menciptakan pasar-pasar yang menguntungkan petani seraya memberikan pangan yang sehat kepada konsumen. Untuk menanggapi masalah ini, Bina Desa menjalin kemitraan dengan organisasi-organisasi tani seperti koperasi petani Pasar Tani yang didukung LESMAN di Boyolali Jawa Tengah guna membangun pasar-pasar beras organik.
Di dalam kemitraan ini, harga beras yang didistribusikan di Jakarta ditentukan oleh koperasi petani pada harga Rp 6.800/kg (termasuk ongkos angkut ke Jakarta Rp 300/kg), sementara harga beras organik di Boyolali berkisar Rp 4.500 - 5.000/kg. Dengan demikian rata-rata keuntungan bersih petani Rp 1.500 – 2.000/kg. Bina Desa mendistribusikan beras organik di Jakarta dengan harga Rp 8.000/kg, selisih harga digunakan untuk menutup ongkos transport di Jakarta, biaya pengemasan, serta promosi.
Pemasaran beras organik ini dilakukan dengan menawarkan kepada konsumen, sebagai bentuk perlindungan dan insentif untuk petani ketika terjadi kelebihan produksi, dan untuk meningkatkan kesadaran konsumen pentingnya membangun solidaritas dengan petani untuk menghasilkan pangan yang sehat. Melalui pendekatan ini, pasar beras organik mulai kelihatan wujudnya, yang mampu menyerap kelebihan produksi dari organisasi-organisasi tani sehingga memotivasi petani tetap menghasilkan pangan sehat dengan cara-cara yang berkelanjutan.
Pada akhir 2007, sebanyak 638 keluarga petani yang terorganisir dalam 29 kelompok dan mencakup kawasan seluas 50 hektar lahan terlibat dalam program pengembangan beras organik. Delapan dari kelompok ini (178 keluarga petani) telah menjalin kontrak pemasaran secara kolektif dengan koperasi Pasar Tani dalam memasok pasar nasional, kerja sama ini difasilitasi Bina Desa. Keuntungan dari pengembangan pertanian organik dan pemasaran kolektif bagi petani adalah: (1) petani mendapat jaminan harga yang adil dari koperasi Pasar Tani; (2) petani mendapat harga yang lebih tinggi untuk beras mereka dibandingkan beras konvensional; (3) petani dapat menyimpan benih, air, dan asupan pertanian mengingat mereka menerapkan teknik-teknik budi daya organik dan metode SRI (system of rice intensification); (4) kelompok-kelompok tani menjadi lebih kuat sebagai hasil pemasaran kolektif (keuntungan sosial); (5) kelompok-kelompok dapat menabung dengan cara menyisihkan Rp 50 dari setiap anggota dari keuntungan yang diperolehnya. Dana ini digunakan untuk memperkuat lembaga dan menutup biaya operasional kelompok.
Dalam jangka panjang, Bina Desa berharap model ini akan memotivasi petani secara umum untuk menerapkan praktik-praktik pertanian organik ke tanaman-tanaman lainnya sehingga masyarakat dan keluarganya mempunyai akses yang berkelanjutan ke pangan sehat. Pertanian organik juga diharapkan akan menciptakan pasar kerja di pedesaan di mana keluarga petani terlibat dan kaum perempuan dapat memainkan peran pentingnya.
By: Dwi Astuti (Direktur Eksekutif Bina Desa) dan Imam Suharto
Source: www.binadesa.or.id
Post a Comment