Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Koalisi Masyarakat untuk Masalah Ketenagalistrikan: Jangan Gadaikan Masa Depan Rakyat dan Ekonomi Indonesia

Teman-teman Yth,
Pada hari Kamis, 22 November 2001, Koalisi Masyarakat untuk Masalah Ketenagalistrikan mendapat kesempatan untuk berdialog dengan Komisi VIII DPR mengenai masalah RUU Ketenagalistrikan. Dalam kesempatan itu pula kami menyampaikan statement dan position paper kami mengenai masalah tersebut (bahan-bahan terlampir).
Terima kasih.

Koalisi Masyarakat Untuk Masalah Ketenagalistrikan
  1. INFID
  2. Serikat Pekerja PLN Pusat
  3. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
  4. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
  5. Debtwatch Indonesia
  6. Pelangi
  7. NGO Working Group on Power Restructuring
  8. Indonesian Corruption Watch
  9. Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia
  10. WALHI Jakarta
  11. Eksekutif Nasional WALHI
  12. Yayasan Gemi Nastiti
  13. PIRAC
  14. Asian Labour Network on IFIs



Tanggapan Terhadap RUU Ketenagalistrikan [1]
Oleh: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Masalah Ketenagalistrikan

Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan yang telah disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat nampaknya kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat luas. Dan mengingat berbagai ketentuan dalam naskah RUU Ketenagalistrikan yang dapat dinilai kurang berpihak atau tidak memberikan perlindungan terhadap rakyat, maka kepada para anggota DPR sangat diharapkan perhatiannya. Oleh karena itu kami dari koalisi masyarakat sipil untuk restrukturisasi ketenagalistrikan mengusulkan kepada DPR untuk MENGHENTIKAN SEMENTARA proses legislasi RUU tersebut. Kami mengharapkan agar proses legislasi RUU Ketenagalistrikan mengikuti prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan pelibatan partisipasi publik.
Dalam kesempatan ini kami mengusulkan beberapa pokok-pokok pikiran terhadap RUU Ketenagalistrikan tersebut:

A. Dasar Pertimbangan Yang Tidak Patut
Pada salah satu butir yang dijadikan dasar pertimbangan RUU Ketenagalistrikan, disebutkan bahwa UU No.15 Tahun 1985 sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketenagalistrikan sehingga dipandang perlu untuk mencabut Undang-Undang tersebut. Yang menjadi masalah adalah tidak ada kejelasan tentang perkembangan yang dimaksud, dan apa yang menjadi ukuran kebenaran, sehingga UU tersebut harus disesuaikan terhadap perkembangan.
Sejak hadirnya listrik swasta, perkembangan yang terjadi sesungguhnya merupakan penyimpangan terhadap ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara UU seharusnya tidak dibuat hanya karena perlu disesuaikan terhadap perkembangan yang tengah berlangsung, karena UU tersebut harus tetap dapat dipertahankan agar tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi, yaitu UUD, dan isi daripada UU tersebut harus sejiwa dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Perkembangan yang terjadi di suatu sektor bisa saja sebagai penyimpangan yang sudah tidak sesuai dengan cita-cita kehidupan bangsa yang digariskan dalam UUD, sehingga jika demikian halnya, maka yang menjadi masalah adalah bagaimana mengupayakan agar perkembangan tersebut dapat dikendalikan agar tidak berkembang lebih jauh karena kemungkinan besar akan menghancurkan tatanan hukum kehidupan berbangsa.

B. Perubahan Pokok Terhadap UU No.15 Tahun 1985
(1) Listrik tidak lagi dipertimbangkan sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak Meskipun RUU Ketenagalistrikan dibuat dengan merujuk kepada UUD 1945 pasal 33, tetapi ketentuan yang ada dalam RUU tersebut nyatanya tidak sesuai
dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang pada hakekatnya memberikan perlindungan bagi rakyat agar terhindar dari kemungkinan terjadinya penindasan terhadap rakyat dalam bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam RUU tersebut sudah tidak ada lagi kata-kata yang menyebutkan bahwa listrik adalah cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti yang masih tercantum dalam UU No.15 Tahun 1985. Jiwa daripada UUD 1945 yang menyangkut perlindungan terhadap rakyat atas cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dengan jelas diuraikan dalam penjelasan pasal 33 sebagai berikut:
“Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya.”

(2) Peran swasta
Peran swasta yang belum terbuka sepenuhnya berdasarkan UU No. 15 tahun 1985 menjadi terbuka dengan sangat lebar apabila RUU yang diusulkan pemerintah disahkan menjadi UU Ketenagalistrikan yang baru.

(3) Kompetisi
Penerapkan kompetisi dalam usaha penyediaan tenaga listrik yang semula tidak ditetapkan dalam UU No.15 Tahun 1985, menjadi hal pokok yang ditetapkan dalam RUU.

(4) Subsidi
Keterpurukan perekonomian nasional akibat krisis dan keterpurukan sektor ketenagalistrikan akibat kontrak-kontrak yang sarat dengan KKN telah menjadi faktor utama yang menyebabkan ketidakmampuan rakyat untuk membayar pemakaian listrik dan ketidakmampuan keuangan negara untuk menyediakan tenaga listrik sebagai prasarana kepentingan umum. Hal tersebut diperkirakan telah disadari sepenuhnya oleh para penyusun RUU Ketenagalistrikan, sehingga untuk kompensasi terhadap kondisi tersebut, ketentuan khusus mengenai subsidi disiapkan dalam RUU tersebut untuk menghadapi kompetisi yang hendak diterapkan, dengan segala resiko yang harus ditanggung oleh orang seluruh rakyat tanpa kecuali. Subsidi seharusnya disadari sebagai hak sosial masyarakat yang tidak dapat dipersatukan dengan persaingan usaha. Subsidi yang dimaksud dalam RUU Kertenagalistrikan tidak lain adalah sebagai usaha pengumpulan dana atas nama rakyat untuk membayar resiko persaingan usaha.
Rakyat tidak akan pernah menikmati subsidi tersebut karena dana subsidi yang terhimpun adalah untuk dibayarkan kepada Pengusaha yang unggul dalam kompetisi penyediaan tenaga listrik.

(5) Tindak Pidana
Indikasi kerugian negara yang sangat besar telah menjadi temuan BPKP yang patut untuk ditindaklanjuti. Oleh karena itu, penandatangan kontrak penyediaan tenaga listrik yang telah mengakibatkan kerugiaan negara patut dinilai sebagai tindak pidana yang melanggar ketentuan pasal 7 ayat (2) UU No.15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. Sehingga, usaha memberlakukan RUU sebagaimana disiapkan oleh Pemerintah dengan menghilangkan ketentuan dalam pasal tersebut merupakan tindakan penyelamatan tehadap kejahatan yang tidak sepantasnya dilakukan.

C. Titipan Kelompok Tertentu?
Kalau memang benar RUU Ketenagalistrikan merupakan usulan Pemerintah, maka patut dipertanyakan, Pemerintah yang mana yang mengusulkan RUU tersebut? Sejak diusulkannya perubahan UU Ketenagalistrikan, dengan substansi yang sama, nyatanya telah terjadi tiga kali pergantian pemerintahan.
Rencana merubah RUU Ketenagalistrikan telah lama dipersiapkan oleh pemerintah Orde Baru, yang pada tahun 1998, oleh Departemen Pertambangan dan Energi dijabarkan sebagai bagian dari program restrukturisasi sektor ketenagalistrikan. Hal pokok yang ditekankan dalam perubahan UU yang diusulkan adalah pentingnya peran swasta dan penerapan kompetisi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
Akibat kebijakan pemerintah Orde Baru dalam mengikutsertakan swasta tersebut, telah terbukti bahwa usaha di sektor ketenagalistrikan telah mengalami keterpurukan, dan Pemerintah/PLN telah terjerat oleh kontrak-kontrak yang sangat mahal dan sarat dengan KKN. Jalinan KKN antara penguasa Orde Baru dengan Pengusaha listrik swasta asing sesungguhnya menjadi ancaman serius yang mendorong mereka untuk melakukan segala usaha agar dapat terhindar dari segala resiko akibat KKN tersebut.
Meskipun kerugian negara sebagai akibat kontrak-kontrak KKN tersebut menjadi tanggungan rakyat, yang harus membayar kemahalan tarif listrik, namun para pelaku usaha listrik swasta tidak peduli dan tetap melakukan berbagai usaha agar kasus KKN yang melibatkan mereka tidak terungkap. Penyelesaian masalah listrik swasta yang menjadi butir kesepakatan dalam Letter of Intent IMF telah memperlihatkan betapa besarnya kepentingan para pengusaha asing dalam melakukan usaha tersebut, dan lebih dari itu, usaha pengabsahan peran mereka dalam usaha penyediaan tenaga listrik tetap hendak dilakukan melalui perubahan UU Ketenagalistrikan.
Sebagaimana layaknya, bahwa seiring dengan terjadinya pergantian pemerintahan, maka kebijakan maupun program setiap pemerintah yang berkuasa juga turut berganti, namun kebijakan di sektor ketenagalistrikan tetap tidak berubah dengan adanya pergantian tersebut karena telah menjadi kebijakan nasional yang tercantum dalam Letter of Intent IMF, yang merupakan kesepakatan antara pemerintah Orde Baru dengan para pengusaha dan penyandang dana asing. Mengingat masalah di sektor ketenagalistrikan telah melibatkan berbagai pihak termasuk investor dan penyandang dana asing yang sangat berkepentingan akibat keterlibatan mereka dalam kontrak-kontrak listrik swasta, dan keterlibatan IMF dalam pemulihan sektor ketenagalistrikan, termasuk penyiapan RUU Ketenagalistrikan, maka yang menjadi masalah adalah, siapa sesungguhnya yang berkepentingan merubah UU Ketenagalistrikan tersebut. Siapa yang menitipkan RUU tersebut?

D. Bertentangan dengan UUD 1945 dan UU lain yang terkait usaha di sektor ketenagalistrikan
Sekalipun RUU Ketenagalistrikan yang diusulkan Pemerintah berhasil disahkan, namun UU yang akan lahir masih menyimpan permasalahan yang sangat serius karena bertentangan dengan UUD 1945 dan UU lainnya yang terkait dengan usaha di sektor ketenagalistrikan. Pertentangan tersebut antara lain:
(1) Pertentangan terhadap UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, Pasal 33 ayat (2) berbunyi: “Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara.” Dan dalam penjelasan Pasal 33 ayat (2) disebutkan: “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ditangan orang-seorang.”
Maka, berdasarkan UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) tersebut di atas, peran swasta dalam usaha penyediaan tenaga listrik tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945.

(2) Pertentangan terhadap UU PMA No. 1 Tahun 1967
Sebagaimana telah diutarakan pada bagian sebelumnya bahwa berdasarkan UU No. 1 tahun 1967, bidang-bidang penting bagi negara termasuk produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum dinyatakan tertutup bagi modal asing.
Mengingat UU No.1 Tahun 1967 hingga sekarang masih berlaku, maka penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang telah dilakukan oleh swasta berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintahan pada masa Orde Baru dan yang hendak ditetapkan dalam RUU Ketenagalistrikan jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 6 UU PMA No.1 Tahun 1967.

(3) Pertentangan terhadap UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Sehubungan dengan usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dalam UU No.5 Tahun 1999, pasal 51 disebutkan: “Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.”
Dengan demikian, peran swasta dan kompetisi yang dimaksud dalam RUU Ketenagalistrikan sebagaimana diusulkan oleh Pemerintah jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 51 UU No.5 Tahun 1999

E. Usaha nasional terancam persaingan
Apabila RUU Ketenagalistrikan yang diusulkan oleh Pemerintah berhasil disahkan oleh DPR, maka dapat dipastikan, bukan hanya Badan Usaha Penyedia Tenaga Listrik seperti PLN yang akan terancam menghadapi keterpurukan, tetapi usaha nasional di segala bidang di sektor ketenagalistrikan juga terancam terpuruk.
Sebagaimana dapat diamati selama ini, bahwa usaha nasional, baik di bidang konstruksi, manufaktur dan rancang bangun di sektor ketenagalistrikan, belum sempat terbangun untuk siap bersaing dengan kelompok usaha dari luar negeri.
Perkembangan usaha di sektor ketenagalistrikan yang dikuasai oleh negara-negara maju Eropa dan Amerika sangat sulit dikejar oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi era pasar global. Terlebih lagi dengan telah hadirnya produk-produk negara industri baru seperti Korea Selatan dan China di pasaran dunia.

F. TDL akan terus naik
Hal yang lebih penting diupayakan di sektor ketenagalistrikan adalah usaha pemberantasan KKN yang telah menyebabkan keterpurukan sektor tersebut. Pemberantasan KKN terhadap sejumlah mega proyek di lingkungan PLN dapat dipastikan akan membantu keuangan PLN untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Usaha penyiapan RUU yang tidak peduli terhadap keberlangsungan KKN di sektor ketenagalistrikan, dapat dipastikan akan menjadi beban berat bagi PLN, sehingga akibat kewajiban PLN membayar kontrak-kontrak KKN tersebut, maka harga listrik akan terus naik karena dibutuhkan dana yang sangat besar untuk membayar biaya KKN pihak swasta dengan penguasa pada masa Orde Baru.

G. Rakyat yang tidak mampu akan semakin terlantar
Masalah pendanaan akibat kontrak-kontrak yang sarat dengan KKN tersebut diatas tidak hanya berpengaruh terhadap TDL tetapi juga mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam mengusahakan penyediaan tenaga listrik.
Dengan beban keuangan negara yang sangat berat akibat kontrak listrik swasta, dan penerapan kompetisi sebagaimana dimaksud dalam RUU Ketenagalistrikan, Pemerintah/PLN akan mengalami kesulitan dalam usaha menyediakan tenaga listrik bagi kebanyakan rakyat yang kurang atau tidak mampu, terlebih lagi bagi yang masih bermukim jauh dari jaringan tenaga listrik yang telah ada. Akibatnya, pembangunan nasional yang seharusnya didukung oleh ketersediaan tenaga listrik sebagai faktor penggerak perekonomian nasional tidak akan pernah terlaksana dan kebanyakan rakyat Indonesia akan semakin terlantar.

H. Ancaman terhadap perekonomian nasional
Beban PLN yang juga menjadi beban keuangan negara atas 24 kontrak listrik swasta (semula 27 kontrak, 3 kontrak telah ditutup), tidak kurang dari 1200 (seribu dua ratus) triliun Rupiah. Beban tersebut masih menyimpan beban tambahan karena nilai kontraknya ditetapkan dalam mata uang asing.
RUU Ketenagalistrikan yang menekankan keikutsertaan pihak swasta dan penerapan kompetisi dalam usaha penyediaan tenaga listrik hanya memberikan keuntungan bagi pihak asing yang telah berperan dalam usaha penyediaan tenaga listrik yang kontraknya telah ditandatangani pada masa Orde Baru.
Apabila RUU Ketenagalistrikan tersebut berhasil diberlakukan sebagai Undang-Undang, maka berarti kontrak-kontrak listrik swasta yang diketahui sarat dengan KKN dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku akan memperoleh keabsahan berdasarkan Undang-Undang yang lahir dari RUU yang diusulkan oleh Pemerintah.
Beban keuangan negara akibat kontrak-kontrak KKN di sektor ketenagalistrikan yang tidak kalah besar dibanding dengan dana dalam kasus BLBI, dapat dipastikan akan menjadi ancaman terhadap perekonomian nasional. Dengan diberlakukannya RUU Ketenagalistrikan yang diusulkan oleh Pemerintah sebagai UU, maka penindasan terhadap rakyat sebagaimana telah diperingatkan dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 akan terus berlangsung.

[1] Disampaikan dalam dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR RI, tanggal 22 Nov 2001


Pernyataan Sikap

I. Terhadap Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan
Sektor ketenagalistrikan nasional telah mengalami keterpurukan sebagai akibat kebijakan pemerintah Orde Baru mengikutsertakan pihak swasta dalam usaha penyediaaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
Restrukturisasi sektor ketenagalistrikan yang hendak memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada swasta, dan menghendaki penerapan kompetisi dan dalam usaha penyediaan tenaga listrik, merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang harus dihentikan agar sektor ketenagalistrikan tidak menjadi semakin terpuruk.
Restrukturisasi sektor ketenagalistrikan yang di dalamnya termasuk perubahan UU Ketenagalistrikan, sebagaimana tercantum dalam Letter of Intent IMF, merupakan kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru dengan para investor dan penyandang dana asing untuk melanjutkan kebijakan di sektor ketenagalistrikan yang telah menyebabkan keterpurukan perekonomian nasional.
Perubahan terhadap UU Ketenagalistrikan yang hendak dilakukan atas desakan penyandang dana seperti ADB, merupakan usaha yang lebih mengutamakan kepentingan pihak asing daripada kepentingan rakyat banyak.
Usaha merubah UU Ketenagalistrikan yang hendak dilakukan atas desakan pihak asing merupakan usaha penyelamatan penguasa dan pengusaha Orde Baru bersama Investor dan penyandang dana asing dari berbagai kasus mega KKN listrik swasta yang hingga kini tidak pernah terselesaikan.
Mengingat UU yang seharusnya dibuat untuk kepentingan rakyat (bukan pihak asing), maka perubahan terhadap UU yang hendak dilakukan hanya karena kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru dengan pihak asing merupakan penghianatan terhadap bangsa yang berdaulat.

II. Terhadap RUU Ketenagalistrikan yang diusulkan oleh Pemerintah
RUU Ketenagalistrikan yang menekankan peran swasta dan penerapan kompetisi dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, berarti:

  1. Bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33, yang menyatakan bahwa: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.”
  2. Bertentangan dengan UU PMA No. 1 tahun 1967 Pasal 6, yang menyatakan bahwa bidang-bidang penting bagi negara termasuk produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum dinyatakan tertutup bagi modal asing.
  3. Bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 51 yang menyatakan bahwa Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah

III. Malapetaka yang akan terjadi sebagai akibat Pemberlakuan RUU Ketenagalistrikan yang diusulkan oleh Pemerintah
  1. Usaha nasional di sektor ketenagalistrikan yang belum siap bersaing akan terancam.
  2. Tarif Dasar Listrik (TDL) akan terus naik karena terbebani biaya yang sangat besar yang harus dibayar oleh rakyat atas kontrak-kontrak listrik swasta yang sarat dengan KKN dan untuk membayar resiko persaingan yang hendak diterapkan.
  3. Beban keuangan negara yang sangat berat akibat pemberlakuan RUU (mengabsahkan kontrak-kontrak listrik swasta dan penerapan kompetisi) akan menjadi penghambat tugas negara dalam penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, sehingga kebanyakan rakyat yang kurang atau tidak mampu, terlebih lagi bagi yang masih bermukim jauh dari jaringan tenaga listrik yang telah ada, akan semakin terlantar.
  4. Pemberantasan KKN terhadap kontrak-kontrak listrik swasta yang membebani keuangan negara sebesar 135 milyar Dolar US harus dijadikan prioritas dalam penataan sektor ketenagalistrikan sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat.
  5. Pemberlakuan RUU Ketenagalistrikan akan menjadi ancaman terhadap perekonomian nasional dan penindasan terhadap rakyat Indonesia yang dilakukan oleh pihak asing akan terus berlangsung.

IV. Seruan
  1. DPR agar menghentikan pembahasan RUU Ketenagalistrikan yang isinya bertentangan dengan konstitusi negara RI, yaitu UUD 1945
  2. Pemerintahan Megawati agar menarik usulan perubahan UU Ketenagalistrikan yang merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang telah menghancurkan usaha sektor ketenagalistrikan nasional
  3. Pemerintah dan DPR agar membatalkan butir-butir kesepakatan dalam Letter of Intent IMF yang merupakan program penyelamatan rejim Orde Baru, khususnya yang menyangkut sektor-sektor usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak.
  4. Pemerintah harus berupaya agar rakyat terhindar dari segala beban yang diakibatkan oleh kesepakatan pemerintahan Orde Baru dengan pihak asing, khususnya terhadap beban hutang luar negeri yang diselewengkan dan hanya dinikmati oleh rejim Orde Baru.
  5. Pemerintah dan DPR agar lebih mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia daripada kepentingan pihak asing.
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts