Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Konsumen Makin Kritis dengan Lingkungan

Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim secara ekstrem telah memengaruhi orientasi bisnis properti untuk lebih memedulikan kelestarian lingkungan. Pengembang yang memiliki visi ke depan mengangkat tema ramah lingkungan sebagai isu utama pembangunan properti. Konsumen semakin kritis terhadap lingkungan. Selamat jalan bagi pengembang tidak ramah lingkungan.
Konsep properti hijau saat ini memang sangat menjual dan menjadi investasi tersendiri bagi pengembang. Terbukti tema-tema kota hijau, kota taman, atau kebun raya laris manis diminati investor dan konsumen properti.
Permasalahan pembangunan perumahan hijau adalah bagaimana mengatasi masalah keterbatasan lahan kota (efisiensi dan optimalisasi lahan), mahalnya energi akibat kenaikan harga (hemat energi alternatif), bahan bangunan berkualitas dan biaya terjangkau, kelestarian lingkungan, serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat menengah bawah.
Pembangunan harus memerhatikan keseimbangan ekologis, penyediaan lapangan kerja, pemberdayaan masyarakat, penegakan hukum, pelibatan swasta, kenyamanan warga, etika pembangunan, keadilan dan kesetaraan hak, konservasi energi, dan estetika kota.
Ada tujuh indikator perumahan hijau sebagai acuan, yaitu kebijakan proramah lingkungan; pengembangan kawasan terpadu (compact development) dan sesuai peruntukan lahan; bangunan efisiensi energi dan mendorong penggunaan energi alternatif (surya, angin, air, biogas); penyediaan air bersih; pengolahan sampah dan air limbah (zero waste, zero run off, ekodrainase); transportasi publik dan kemudahan aksesibilitas; dan ketersediaan ruang terbuka hijau.
Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 28/2002 tentang Bangunan Gedung, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kawasan Perkotaan merupakan beberapa produk kebijakan hukum proramah lingkungan yang mendukung terwujudnya perumahan hijau.
Banjir dan tingkat kemacetan lalu lintas yang semakin parah dan merata mendorong pemilihan lokasi perumahan yang tepat menjadi pertimbangan paling utama pengembang, investor, dan konsumen. Lokasi harus strategis (pusat kegiatan kota, pencapaian mudah), aman (sosial), dan bebas banjir.
Keterbatasan lahan kota mendorong pengembangan kawasan terpadu (mixed use area, superblok) yang menawarkan konsentrasi penduduk di satu kawasan/lokasi dengan kepadatan lebih tinggi, mengelola pertumbuhan dan perubahan, sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan hidup kota. Kawasan terpadu dikembangkan melalui proses perencanaan dan pengembangan terpadu—satu lahan besar, satu perencanaan, satu pengembang (utama), dan satu program terpadu dengan kerangka ruang lentur (flexible framework).
Menurut M Danisworo (2007), keunggulan dari pengembangan kawasan terpadu adalah memiliki sistem keterkaitan yang efektif di antara komponen sehingga tingkat pencapaian lebih tinggi dan efektif, mendorong pertumbuhan kegiatan yang beragam dan terpadu, menghemat pengadaan sarana dan prasarana, tidak tergantung pembatasan sistem persil yang kaku sehingga pembauran pemanfaatan lahan publik dan privat bisa dilakukan, pemisahan antara moda sirkulasi kendaraan bermotor dan pejalan kaki (mereduksi utilitas dan infrastruktur), memberi kerangka perencanaan yang lentur dan luas bagi inovasi perancangan bangunan dan lingkungan, serta menjadi katalis bagi interaksi sosial budaya.

Kawasan Terpadu
Pengembangan kawasan terpadu merupakan terobosan cerdas dalam mengatasi keterbatasan lahan kota, memangkas besar waktu, biaya, dan tenaga yang terbuang akibat kemacetan lalu lintas, serta mendapatkan lingkungan hijau yang bebas polusi dan banjir di pusat kota.
Sebuah kawasan yang dilengkapi berbagai fasilitas hunian vertikal (apartemen, rumah susun, hotel), pendidikan (sekolah dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi), perkantoran, kesehatan (klinik kesehatan hingga rumah sakit), perbelanjaan (pasar, mal, plaza, town square, hipermarket), ibadah (masjid, gereja), taman bermain, dan lapangan olahraga. Penghuni tinggal berjalan kaki atau bersepeda dengan aman, mudah, dan murah ke berbagai tempat tujuan (sekolah, kantor, pasar, berolahraga).
Keberadaan RTH menjadi nilai jual properti merupakan solusi jitu dalam mengantisipasi pemanasan global dan degradasi kualitas lingkungan kota. Bahkan, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan mensyaratkan sebuah kawasan/kota memiliki RTH minimal seluas 30 persen dari total luas wilayah.
Struktur kota hijau yang jelas dan runut, mulai dari ruang kota dengan ciri permintaan (zoning) khas, di mana kawasan perumahan dari strata sosial ekonomi yang berbeda-beda diatur secara fungsional di sekeliling pusat pendidikan, perdagangan, pekerjaan, rekreasi, dan transportasi di antara kerindangan pepohonan besar dan RTH berupa taman, lapangan golf, hutan, atau yang lagi tren taman wisata (agrowisata, petualangan alami/the jungle, rekreasi air/waterpark/waterboom).
Selaras dengan UU No 4/1997 tentang Penyandang Cacat, para pengembang diharapkan mulai memerhatikan secara serius aksesibilitas bagi penyandang difabel (differential ability) di kawasan perumahan, kompleks bangunan, dan ruang publik kota secara layak dan manusiawi. Koridor jalur hijau jalan dan jalur pedestrian (serta jalur sepeda) yang lebar dan teduh dengan pepohonan rindang. Halte strategis di jalur angkutan umum dan lokasi perumahan dekat terminal bus atau stasiun kereta api akan memudahkan bepergian tanpa perlu kendaraan pribadi.
Berbekal UU No 28/2002 tentang Bangunan Gedung, arsitek didorong mengembangkan perumahan sesuai arsitektur lokal yang lebih ramah lingkungan dan selaras dengan lingkungan asal. Bangunan bercirikan identitas dan keragaman budaya Indonesia, bukan sekadar bercirikan kedaerahan atau latah mengikuti tren arsitektur internasional (mediteranian, minimalis).
Desain bangunan hemat energi, membatasi lahan terbangun, layout sederhana, ruang mengalir, kualitas bangunan bermutu, efisiensi bahan, dan material ramah lingkungan. Rancang bangunan banyak bukaan untuk memaksimalkan sirkulasi udara dan cahaya alami sehingga bangunan tidak memerlukan penerangan dan meminimalkan penggunaan alat pengondisian udara di siang hari. Atap-atap bangunan dikembangkan menjadi taman atap (roof garden, green roof) yang memiliki nilai ekologis tinggi (suhu udara turun, pencemaran berkurang, ruang hijau bertambah).

Energi Alternatif
Pengembang diajak mengembangkan pemakaian energi alternatif dalam memenuhi kebutuhan energi listrik bangunan dan perumahan. Kebutuhan energi alternatif yang murah dan praktis akan mempercepat pengembangan dan penyediaan energi alternatif secara massal, seperti energi tenaga surya, angin, gelombang pasang, atau biogas.
Beberapa pengembang dan arsitek sudah mulai mengembangkan sistem pengolahan air limbah bersih yang mendaur ulang air buangan sehari-hari (cuci tangan, piring, kendaraan, atau bersuci diri) maupun air limbah (air buangan dari kamar mandi, kloset) yang dapat digunakan kembali untuk mencuci kendaraan, membilas kloset, dan menyirami taman, lapangan olahraga atau lapangan golf.
Untuk mencegah banjir, pengembang dapat membangun ekodrainase (zero run off). Pengembang melestarikan situ atau membuat danau buatan dalam kawasan hunian berskala besar. Setiap halaman dibuat sumur resapan air (SRA) berukuran 1 x 1 x 2 meter dan/atau lubang resapan biopori (LRB) berdiameter 10 cm x 1 m sesuai kebutuhan dan ketersediaan lahan. Air menyerap alami ke dalam tanah (cadangan air di musim kemarau), mengendalikan banjir (menampung air hujan), dan mengurangi pembuangan air ke sungai.
Pengembang harus membangun tempat pengolahan sampah rumah tangga (zero waste). Penghuni diajak mengurangi (reduce) pemakaian barang sulit terurai sehingga produksi sampah dapat berkurang hingga 50 persen. Sampah anorganik dipilah dan dipakai ulang (reuse), seperti kertas, botol gelas, kayu, dan besi. Sampah organik didaur ulang (recycle) menjadi pupuk kompos untuk menyuburkan tanaman di kebun, taman, dan jalur hijau, serta kelebihannya dapat dijual ke kawasan sekitar.

By: Nirwono Joga (Arsitek Lanskap)
Source: www.kompas.com, 27 Maret 2008

0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts