Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Mewujudkan Kedaulatan Energi Indonesia

Tampaknya permasalahan tata kelola energi nasional dewasa ini kian memprihatinkan dan membingungkan. Kisruh tentang penjualan LNG Tangguh ke Cina dengan harga sangat murah atau di bawah standar yang kian memanas akhir-akhir ini, dan juga beberapa kontrak migas yang merugikan lainnya, seolah mengindikasikan bobroknya pengelolaan energi oleh pemerintah.
Kebijakan pengelolaan energi yang dijalankan pemerintah terkesan kurang bertanggung jawab dan tanpa arah. Antara satu sektor kebijakan dengan sektor lainnya seolah tidak terkait satu sama lainnya.
Lihat saja, misalnya naiknya harga gas beberapa waktu lalu, kemudian disusul pula langkanya gas dan minyak tanah di kalangan masyarakat, menunjukkan ketidakterkaitan tiap sektor kebijakan energi tersebut. Contoh, ketika di satu sisi pemerintah ingin mencoba menghapus penggunaan bahan bakar minyak tanah di masyarakat dan mengalihkannya ke penggunaan bahan bakar gas, Pertamina justru secara serampangan menaikkan harga gas elpiji.
Gas sesungguhnya sudah menjadi kebutuhan atau bahan bakar pokok bagi masyarakat. Sementara kini masyarakat tidak lagi dapat menggunakan bahan bakar minyak. Dikarenakan, minyak tanah telah ditarik dari peredaran.
Kebijakan menaikkan harga gas oleh Pertamina sesungguhnya merupakan langkah yang sangat kontraproduktif dan blunder dengan program konversi gas pemerintah. Pasalnya, pemerintah telah menetapkan program konversi minyak tanah ke gas untuk menghemat dan mengamankan cadangan bahan bakar minyak.
Namun, program konversi minyak tanah ke gas pemerintah tidak berjalan sesuai rencana. Karena, Pertamina selaku operator migas nasional sepertinya kurang dapat menyesuaikan diri dengan program pemerintah.
Antara pemerintah dan Pertamina seolah jalan sendiri-sendiri. Tambahan lagi, Pertamina selaku BUMN yang memang dikuasakan untuk mengurusi migas seolah tidak mampu menjamin ketersediaan gas bagi kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau pula.
Terkait dengan langkanya bahan bakar minyak dan gas akhir-akhir ini ditenggarai oleh faktor kebijakan pengelolaan energi yang tidak pro-poor (pro rakyat). Kebijakan energi yang dijalankan pemerintah menyiratkan watak neolib yang sangat pro ekonomi kapitalis.
Ini dapat kita lihat dari paket-paket kebijakan energi yang selalu berorientasi pasar (komersil). Indikasinya adalah penghapusan subsidi energi secara bertahap dan perlahan.
Intervensi negara terhadap kebutuhan pokok dan mendasar masyarakat perlahan tapi pasti, dikurangi. Peran, fungsi, serta posisi negara telah digantikan oleh mekanisme pasar bebas. Tanggung jawab negara terasa sepi bagi rakyat kecil tanpa daya. Seakan, rakyat miskin selalu berada di luar main stream ketika bicara masalah kebijakan energi.
Sesungguhnya gerbang liberalisasi sektor migas di Indonesia makin terbuka lebar sejak keterlibatan lembaga donor asing dalam penentuan kebijakan energi nasional. Lembaga-lembaga tersebut yakni; ADB, World Bank, dan USAID telah memberikan kucuran dana yang sangat besar (ratusan juta dolar AS) dalam penyusunan draf UU tentang energi di Indonesia.
Sinyalemen masuknya kekuatan asing dalam kebijakan pengelolaan energi nasional tercermin dengan keberadaan UU No. 22 Tahun 2001 tentang migas,
khususnya pasal 28 ayat 2 yang mengharuskan penentuan harga energi diserahkan melalui mekanisme persaingan pasar.
Disinyalir, lembaga-lembaga itulah yang merancang draf dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang migas untuk mengurangi peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, dan mendorong keterlibatan pihak swasta di sektor migas. Liberalisasi sektor migas Indonesia sesungguhnya tak lepas dari peran ketiga lembaga asing tersebut.
Ketiga lembaga asing tersebut juga yang merekomendasikan rancangan UU Migas nasional harus berlandaskan pada semangat kompetisi, berorientasi pasar, menghilangkan intervensi pemerintah, serta konsisten mengikuti aturan-aturan
internasional.
Kebijakan-kebijakan yang diarahkan lembaga-lembaga asing tersebut justru membuat energi menjadi mahal dan menambah beban rakyat. Termasuk dengan pencabutan subsidi BBM mengakibatkan naiknya kebutuhan pokok yang harus ditanggung rakyat miskin.
Harus kita ingat bahwa situasi geopolitik internasional yang menyangkut masalah energi dan disparitas harga energi di pasar nasional dan internasional ditenggarai telah mempengaruhi krisis energi dalam negeri.
Aksi para spekulator (trader tanpa aset) minyak dalam dan luar negeri juga disinyalir sebagai penyumbang terbesar krisis energi nasional. Semua situasi tersebut menyebabkan rapuhnya kedaulatan bangsa dan negara terhadap ketahanan atau kemandirian energi nasional.
Arah yang tidak jelas dalam perjalanan politik energi negeri ini telah menyisakan krisis energi di masa kini dan mendatang. Diobralnya persediaan energi dalam negeri kepada negara-negara maju, secara perlahan telah menjadikan Indonesia krisis kepemilikan cadangan energi. Karena, sumber-sumber energi kita telah dimiliki oleh pihak asing.
Kebijakan energi nasional yang serabutan menyebabkan krisis energi hampir di banyak wilayah di Nusantara. Begitu ngawurnya kebijakan energi oleh pemerintah sampai-sampai Indonesia harus mengimpor minyak dari luar negeri karena di dalam negeri sendiri kekurangan minyak! Itu pun pemerintah tidak langsung membelinya ke produsen minyak melainkan pemerintah membelinya melalui pasar spot (calo minyak) seperti membelinya ke Singapura.
Kelangkaan sumber energi nasional baik minyak maupun gas akibat kebijakan ekspor sumber-sumber utama energi Indonesia ke luar negeri secara membabibuta. Ditambah lagi produksi minyak dalam negeri yang makin menurun drastis. Pada tahun depan saja asumsi lifting minyak (minyak siap jual) pemerintah hanya dipatok tidak lebih dari kisaran 950.000 bph (barel per hari).
Meski cost recovery cenderung naik dari tahun ke tahun tetapi produksi dan lifting minyak dalam negeri justru berbalik arah mengalami penurunan. Masalahnya, sejumlah kontraktor cenderung menggelembungkan cost recovey. Atau banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya operasional migas tapi dikleimkan ke pemerintah.
Beberapa kerugian dari cost recovery yang dikleim ke pemerintah di antaranya ialah, biaya pelatihan ekspatriat, biaya konsultan pajak, biaya merger, biaya-biaya yang terkait dengan pemasaran, pengembangan masyarakat, maupun kegiatan kehumasan.
Sistem kontrak kerja sama antara pemerintah dengan para pengusaha lokal maupun asing selama ini disinyalir terjadi penyelewengan baik oleh pengusaha maupun pejabat pemerintah sendiri. Penyelewengan itu terkait masalah cost recovery atau pengembalian seluruh biaya operasi para kontraktor migas yang sebagiannya merupakan perusahaan asing.
Banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya produksi migas seharusnya menjadi tanggungan masing-masing pengusaha kontraktor migas. Malah dibebankan dan menjadi tanggungan pemerintah.
Sesungguhnya, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1-3 secara umum telah mengamanatkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dalam hal ini pemerintah wajib memakmurkan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Pada pasal ini sesungguhnya pemerintah telah melanggar UUD '45. Yaitu, sumber energi kita sebagian tidak lagi dikuasai oleh pemerintah, melainkan berada dalam penguasaan asing. Kendati banyak juga pengusaha lokal yang bergerak di bidang-bidang tertentu di sektor energi, namun secara kuantitas dan kualitas tidak terlalu berpengaruh signifikan bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan asing.
Seluruh kekayaan alam kita digerus dan dibawa oleh pihak asing. Pemerintah tidak menjamin ketersediaan energi bagi kebutuhan di dalam negeri sendiri. Sehingga ketahanan energi nasional menjadi sangat lemah, dan tidak memiliki daya tawar di dunia internasional.
Berangkat dari permasalah tersebut di atas maka sudah selayaknya pemerintah mengubah paradigma berpikir tentang pengelolaan energi nasional yang lebih mendahulukan kepentingan bangsanya sendiri. Demi terwujudnya kedaulatan energi Indonesia, pemerintah harus berani menegosiasikan ulang kontrak-kontrak migas terhadap kepentingan pemodal asing yang didukung oleh negara-negara kapitalis, yang merugikan bangsa ini.
Politik energi nasional, saat ini harus dikendalikan oleh pemerintah Indonesia secara penuh dan berdaulat. Seluruh sumber dan hasil energi harus sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh bangsa khususnya bagi rakyat kecil.

By: Abdul Ghopur (Koordinator Divisi Kajian dan Program Lembaga Kajian Implementasi dan Tata-tata Kelola Energi Nasional Energy Efficentrum)
Source: www.detik.com (SuaraPembaca), 24/09/2008
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts