Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Paradoks Bio-fuel

Labels: ,
Beberapa tahun belakangan marak dibicarakan tentang bahan bakar nabati (bio-fuel). Di tengah melonjaknya harga minyak dunia dan maraknya isu perubahan iklim bio-fuel menjadi primadona baru. Bahan bakar nabati menjadi pilihan karena ia kompatibel dengan mesin-mesin yang memakai minyak sebelumnya. Ditambah dengan kepentingan bisnis negara-negara maju mulai melakukan produksi massal bahan bakar nabati.
Tapi, peningkatan permintaan terhadap bahan baku bio-fuel menempatkan negara-negara berkembang, sekali lagi, pada posisi dilematis. Di satu sisi, hal ini merupakan peluang ekspor yang sangat besar. Sebaliknya, di sisi lain ada ancaman di balik ini.
Ancaman pertama adalah deforestasi. Kelapa sawit merupakan pilihan utama bahan baku bio-fuel. Meningginya permintaan terhadap minyak sawit membuat ekspansi dan konversi lahan meningkat demikian cepatnya.
Perusahaan nasional dan multi-nasional ramai-ramai mengajukan proposal pembukaan lahan hutan untuk dijadikan perkebunan sawit. Menurut laporan yang diterbitkan Greenpeace Indonesia dari 28 juta hektar hutan yang dihancurkan sejak tahun 1990 sebagian besarnya ditujukan untuk pembuatan perkebunan kelapa sawit.

Pada skala pertanian rakyat geliat harga sawit juga menimbulkan efek ganda. Naiknya harga sawit merupakan peluang emas bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf kehidupan. Presiden Brazil Luiz da Silva bahkan mengungkapkan ini membuka pintu bagi bagi negara pengekspor tanaman energi untuk merangkak keluar dari kemiskinan.

Namun, geliat ini juga berakibat pada tak terkendalinya laju perubahan lahan pertanian pangan ke sawit. Dan hal ini menuju pada ancaman kedua: ancaman ketahanan pangan.

Pada laporannya bulan Juni lalu lembaga anti-kemiskinan Oxfam International memperingatkan ancaman pangan dari gencarnya pengembangan bio-fuel. Pilihan masyarakat untuk berlomba-lomba menanam sawit akan berakibat pada kemungkinan terbatasnya stok pangan karena kurangnya suplai.

Hal ini diperparah tidak jelasnya kebijakan pengembangan wilayah. Termasuk wilayah pertanian dan kebijakan pangan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Di beberapa negara, bahkan, bahan baku pangan, semisal tebu, dijadikan sebagai bahan baku ethanol.

Uni Eropa menargetkan sepersepuluh alat transportasi dengan bahan bakar minyak akan diganti dengan bahan bakar nabati pada 2020. Target penurunan emisi yang diamanatkan Konvensi Perubahan Iklim PBB, memaksa negara-negara maju mendesain ulang sektor transportasi, energi dan industri mereka.

Indonesia dan Malaysia memasang target ambisius untuk memenuhi seperlima kebutuhan bahan bakar alami Eropa dari sektor kelapa sawit. Alhasil, ekspansi kelapa sawit belum akan mereda.

Isu bahan bakar nabati seperti pedang bermata dua: peluang sekaligus ancaman. Migrasi dari fossil-fuel ke bio-fuel seakan-akan pindah dari mulut harimau ke mulut buaya. Mengharapkan mengurangi gas tak ramah lingkungan di satu pihak, tapi meningkatkan gas rumah kaca melalui deforestasi di pihak lain.

Kemiskinan memang menjadi masalah utama negara negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Langkah-langkah pengentasan kemiskinan memang harus terus didorong, termasuk pengembangan pertanian yang berorientasi kepada komoditas internasional. Namun, kepentingan masa depan bangsa juga harus dipertimbangkan. Karena itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan.

Pertama, perencanaan pengembangan wilayah dalam jangka panjang dan komprehensif. Pemetaan daerah-daerah untuk berbagai peruntukan harus dengan jelas direncanakan. Sentra-sentra pertanian tanaman pangan harus dipertahankan. Konversi tak terkendali pada satu komoditas akan membuat petani lebih rentan pada fluktuasi harga.

Kedua, penguatan kebijakan ketahan pangan. Sebagai negara pengkonsumsi beras, Indonesia harus punya rencana jangka panjang swasembada beras. Ketidakberpihakan pemerintah pada petani dan tidak adanya kemudahan, semisal subsidi pupuk, pada petani pangan akan berujung pada berhentinya mereka menanam komoditas pangan.

Ujungnya, selamanya kita akan menjadi pengekspor beras, makanan pokok kita sendiri, dan bahan pangan lainnya. Karena itu harus ada keberanian pemerintah dalam melakukan ekspansi dan intensifikasi lahan-lahan pertanian pangan.

Ketiga, pemanfaatan lahan tidur dan kritis serta diversifikasi poduk bahan baku bio-fuel. Untuk memenuhi target memasok bahan baku bahan bakar nabati ke negara Eropa, pemanfaatan lahan tidur perlu digalakkan. Ekspansi kelapa sawit harus diarahkan ke arah ini, bukan dengan membabat hutan produktif.

Di samping itu, diversifikasi produk juga harus diteruskan. Setelah gencar melakukan proyek pengembangan jarak di beberapa daerah, beritanya terdengar lagi hingga kini.

Dan yang terakhir, pengembangan energi alternatif nir-fosil dan nir-biologi. Walaupun sudah populer, usaha pengembangan energi alternatif ini belum diseriusi. Potensi panas bumi dan tenaga matahari merupakan dua sumber energi yang sangat melimpah. Beberapa negara maju sudah mulai mengarah ke sini ketimbang bio-fuel. Australia, misalnya, sangat gencar mengembangkan teknologi tenaga matahari dan panas bumi.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit tidak harus ditentang. Peluang untuk mendatangkan devisa dari booming bahan bakar nabati patut disyukuri. Namun, tanpa perencanaan yang matang kita akan selalu jadi pecundang dan selamanya menari di genderang orang lain.


By: Yansen (Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu)
Source: www.detik.com (SuaraPembaca), 22/08/2008
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts