Dampak monopoli industri penyiaran berbeda dengan industri lainnya.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pemusatan kepemilikan industri televisi berpotensi membatasi hak pemirsa memperoleh alternatif siaran. Ketua YLKI Huzna Zahir mengkhawatirkan monopoli menyebabkan penyeragaman muatan siaran untuk kepentingan pemilik. Akibatnya, konsumen tak diberi kesempatan untuk menyerap informasi yang proporsional. "Kecenderungannya, stasiun televisi mendikte pemirsa," kata Huzna kepada Tempo, Jumat lalu. "Sehingga masyarakat tak bisa memahami kepentingan di balik informasi itu."
Menurut dia, seharusnya operator penyiaran memberikan alternatif tontonan kepada pemirsa. Tapi belakangan, tayangan semua stasiun tak berbeda. Bahkan beberapa stasiun yang segrup sering menayangkan satu acara pada saat bersamaan (blocking time). "Ini sedikit atau banyak mengganggu masyarakat."
Huzna menanggapi pemeriksaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atas dugaan praktek monopoli terhadap dua perusahaan, yakni Para Group dan PT Media Nusantara Citra (MNC). Pemeriksaan dipicu oleh surat tembusan somasi dari Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) kepada pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
MPPI menuding terjadi pelanggaran Undang-Undang Penyiaran dan peraturan pemerintah tentang penyiaran karena Para dan MNC memiliki dua atau lebih stasiun televisi nasional yang beroperasi di provinsi yang sama. Lembaga ini yakin publik dirugikan karena penyeragaman informasi.
Para menguasai PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans-TV) dan PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh (TV7). Adapun MNC memegang kendali di PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), PT Global Informasi Bermutu (Global-TV), dan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Huzna menyatakan, berdasarkan potensi pemanfaatan muatan televisi demi kepentingan pemilik stasiun, sudah cukup alasan bagi pemerintah dan institusi terkait untuk mengambil tindakan. Di sisi lain, pemerintah, KPI, dan asosiasi televisi swasta membuat sebuah panduan muatan.
MPPI meminta KPPU memberi perlakuan khusus kepada kasus dugaan monopoli industri pertelevisian. Koordinatornya, Kukuh Sanyoto, menilai dampak praktek monopoli pada industri penyiaran berbeda dengan monopoli industri lainnya. Industri televisi bertanggung jawab atas intervensi penyampaian informasi kepada publik.
MPPI tak mempermasalahkan pemusatan kepemilikan stasiun televisi terhadap industri pertelevisian secara keseluruhan. Tapi pemirsa dirugikan jika isi siaran tak beragam, karena publik tak diberi pilihan untuk menikmati informasi lainnya.
Itu sebabnya, KPPU mesti memeriksa dampak pemusatan kepemilikan terhadap hak masyarakat memperoleh informasi yang beragam. "Sentralisasi kepemilikan bisa menyebabkan sentralisasi informasi," ucapnya kepada Tempo, Rabu lalu.
Kukuh mencontohkan, dengan alasan menguntungkan secara bisnis, seluruh stasiun televisi yang dikuasai satu pemilik menayangkan sinetron pada waktu bersamaan. Akhirnya masyarakat tak diberi pilihan. "Ini merugikan publik, tapi pemilik mendapat untung dari iklan acara itu." AGOENG WIJAYA
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pemusatan kepemilikan industri televisi berpotensi membatasi hak pemirsa memperoleh alternatif siaran. Ketua YLKI Huzna Zahir mengkhawatirkan monopoli menyebabkan penyeragaman muatan siaran untuk kepentingan pemilik. Akibatnya, konsumen tak diberi kesempatan untuk menyerap informasi yang proporsional. "Kecenderungannya, stasiun televisi mendikte pemirsa," kata Huzna kepada Tempo, Jumat lalu. "Sehingga masyarakat tak bisa memahami kepentingan di balik informasi itu."
Menurut dia, seharusnya operator penyiaran memberikan alternatif tontonan kepada pemirsa. Tapi belakangan, tayangan semua stasiun tak berbeda. Bahkan beberapa stasiun yang segrup sering menayangkan satu acara pada saat bersamaan (blocking time). "Ini sedikit atau banyak mengganggu masyarakat."
Huzna menanggapi pemeriksaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atas dugaan praktek monopoli terhadap dua perusahaan, yakni Para Group dan PT Media Nusantara Citra (MNC). Pemeriksaan dipicu oleh surat tembusan somasi dari Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) kepada pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
MPPI menuding terjadi pelanggaran Undang-Undang Penyiaran dan peraturan pemerintah tentang penyiaran karena Para dan MNC memiliki dua atau lebih stasiun televisi nasional yang beroperasi di provinsi yang sama. Lembaga ini yakin publik dirugikan karena penyeragaman informasi.
Para menguasai PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans-TV) dan PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh (TV7). Adapun MNC memegang kendali di PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), PT Global Informasi Bermutu (Global-TV), dan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Huzna menyatakan, berdasarkan potensi pemanfaatan muatan televisi demi kepentingan pemilik stasiun, sudah cukup alasan bagi pemerintah dan institusi terkait untuk mengambil tindakan. Di sisi lain, pemerintah, KPI, dan asosiasi televisi swasta membuat sebuah panduan muatan.
MPPI meminta KPPU memberi perlakuan khusus kepada kasus dugaan monopoli industri pertelevisian. Koordinatornya, Kukuh Sanyoto, menilai dampak praktek monopoli pada industri penyiaran berbeda dengan monopoli industri lainnya. Industri televisi bertanggung jawab atas intervensi penyampaian informasi kepada publik.
MPPI tak mempermasalahkan pemusatan kepemilikan stasiun televisi terhadap industri pertelevisian secara keseluruhan. Tapi pemirsa dirugikan jika isi siaran tak beragam, karena publik tak diberi pilihan untuk menikmati informasi lainnya.
Itu sebabnya, KPPU mesti memeriksa dampak pemusatan kepemilikan terhadap hak masyarakat memperoleh informasi yang beragam. "Sentralisasi kepemilikan bisa menyebabkan sentralisasi informasi," ucapnya kepada Tempo, Rabu lalu.
Kukuh mencontohkan, dengan alasan menguntungkan secara bisnis, seluruh stasiun televisi yang dikuasai satu pemilik menayangkan sinetron pada waktu bersamaan. Akhirnya masyarakat tak diberi pilihan. "Ini merugikan publik, tapi pemilik mendapat untung dari iklan acara itu." AGOENG WIJAYA
Source: www.tempointeraktif.com, 19 Agustus 2008
Post a Comment