Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Kelabakan Konsumen Air

Oleh JJ Amstrong Sembiring

Siapa tidak kelabakan jika dirumah air kran dari PDAM tidak mengalir sama sekali, apalagi ketersediaan akan kebutuhan air bersih itu amat tergantung dari Perusahaan tersebut. Jangankan konsumen air dari PDAM, konsumen air yang hanya mengandalkan air tanah saja bisa kelabakan gara-gara air sumur pompa listrik tidak mengucur ketika musim kemarau tiba.
Kekecewaan bukan barang lagi bagi masyarakat konsumen air, di Bogor, Jawa Barat misalnya, warga Cimanggis kelabakan, sehingga terpaksa minta air ke tetangga karena air PDAM kadang-kadang tidak mengalir, atau kalaupun mengalir, warnanya kecoklatan atau kehitaman, berbau, dan rasanya aneh, sehingga mereka sangat sewot sekali.
Di Palembang, akibat air PDAM tidak setiap hari mengalir. Agar pasokan bisa lebih lancar, sebagian warga setempat kelabakan sehingga terpaksa menambah alat bantu pompa untuk menyedot air PDAM. Air kemudian disimpan di dalam tangki di rumah masing-masing. (Kompas, 30 April 2003).
Di Jakarta masyarakat konsumen air, ada yang terpaksa merogoh kantong lebih dalam untuk memperoleh air bersih dari penjaja keliling dan setiap dua hari mereka harus menyediakan tiga galon air mineral untuk sehari-hari karena air PDAM tak bisa dipakai mandi, apalagi untuk memasak dan minum. Sementara untuk mandi, mencuci, dan memasak, konsumen harus menyediakan air isi ulang.

Kualitas Pelayanan Versus Tarif Air

Sudah banyak keluhan baik lewat via surat ke media cetak atau lewat telepon ke call center Perusahaan Air Minum (PAM), mulai dari soal kualitas atau kuantitas seperti halnya air yang mengandung timbal atau kasinogenik, air berwarna kecoklat-coklatan atau keruh, air berbau larutan zat kimia atu berasa aneh, debit air kerap kali tidak mengalir sama sekali atau sangat kecil keluarnya.
Demikian juga dalam soal penagihan rekening yang manajemennya sangat memprihatinkan, maka dapatlah dibayangkan jika dalam kondisi tidak menunggak, Anda justeru direpotkan dengan adanya tagihan tunggakan.
Di Jakarta, dari data pelayanan buruk terhadap konsumen air, terdapat 86.948 pelanggan air minum di Jakarta atau 13,39 persen dari jumlah 649.249 pelanggan yang tidak mendapat suplai air dari perusahaan air minum. Kemudian ada sekitar 15.000 pengaduan dalam setiap bulan yang mengeluhkan kualitas air minum. (Kompas, 21 November 2005).
Lebih mengecewakan, sudah pelayanannya buruk, konsumen dibebani pula dengan kenaikan tarif air minum. Itu sih sama saja dengan proses pembangkrutan hidup. Maka tak aneh, jika setiap kenaikan tarif air tersebut menuai protes di sana-sini dari masyarakat konsumen air. Tidak hanya di Jakarta, di Medan misalnya, masyarakat konsumen air menolak adanya kenaikan tarif air minum, karena kualitas air mereka terima dari Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Nadi, Medan Sumatera Utara, belum baik. (Kompas, Jumat, 27 Januari 2006).
Di Ternate, demo mahasiswa Universitas Khairun (Unkhair) Ternate menolak kenaikan tarif air minum PDAM Ternate yang diberlakukan mulai April 2006, berakhir rusuh. Demikian juga di Jakarta, Bogor, Tangerang, Semarang dan sebagainya tak bedanya.

Inferior Versus Superior

Di banyak negara lain yang sudah terbangun kesadaran penuh hak-haknya. Posisi hak konsumen tidak inferior terhadap pelaku usaha yang tidak mempunyai sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism).
Konsumen mempunyai posisi nilai tawar secara proporsional, sehingga ekstrimnya bisa dimungkinkan sekali keberadaan pelaku usaha yang berkewajiban untuk menyediakan kebutuhan bagi pelanggannya tidak akan berhak menagih haknya kepada pelanggan apabila pelayanan itu buruk sekali.
Dalam sejarah gerakan perlindungan konsumen dibelahan bumi, di Eropa misalnya, gerakan awal perlindungan konsumen ditempuh melalui dua tahap program, yaitu program pertama pada tahun 1973, masyarakat Eropa memfokuskan pada persoalan kecurangan produsen terhadap konsumen seperti perlindungan terhadap konsumen yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi produk cacat, kontrak standar, penjualan yang bersifat memaksa dan sebagainya. Dan kemudian program kedua, dimulai pada tahun 1981, masyarakat Eropa menekankan kembali hak-hak dasar konsumen.
Sementara itu, di Amerika Serikat dalam gerakan awal perlindungan konsumen ditandai oleh tujuan dan filosofis bahwa pengaturan dimaksudkan untuk memberikan bantuan atau perlindungan terhadap konsumen yang berpenghasilan rendah (low-income consumer), memperbaki cara distribusi dan kualitas barang dan jasa, meningkatkan jumlah persedian barang dan jasa di pasar, meningkatkan persaingan antara produsen.
Perjuangan kepentingan konsumen semakin mendapat pengakuan yang kuat ketika hak-hak konsumen dirumuskan secara jelas dan sistematis. Pada tahun 1962 misalnya, Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy dalam pidatonya di depan kongres Amerika Serikat mengemukakan empat hak konsumen kemudian menjadi inspirasi bagi PBB, sehingga pada tahun 1984 PBB mengeluarkan resolusiNo. 32/248 mengenai the guide line for consumer protection bagian II (general principles).
Lain halnya di sini, signifikasi pengaturan hak-hak konsumen itu sendiri melalui Undang-undang merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu negara kesejahteraan, karena UUD 1945 disamping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abab 19. Indonesia melalui UU No 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan sembilan sebagaimana telah dikemukakan diatas sebelumnya.
Betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan "generasi keempat hak asasi manusia", yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi manusia dalam perkembangan umat manusia di masa-masa yang akan datang.
Dengan demikian perlunya perubahan paradigma hubungan antara konsumen dan produsen, yaitu hubungan yang semula dibagun atas prinsip caveat emptor berubah menjadi prinsip caveat venditor. Suatu prinsip hubungan yang semula menekankan pada kesadaran konsumen sendiri untuk melindungi dirinya berubah menjadi kesadaran produsen untuk melindungi konsumen. Artinya kesadaran dari pelaku usaha bukan hanya sekadar retorika terhadap kepentingan konsumen. Sehingga konsumen air di negeri ini tidak kelabakan lagi.

Jakarta, 17 Juli 2006

JJ Amstrong Sembiring

Penggagas The Jakarta Water Consumers Community (Komparta)/Mahasiswa Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) / Praktis Hukum
No HP : 08567824195

http://greasy.com/komparta/kelabakan_konsumen_air.html
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts