Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Ayam Kampung Di Ambang Kepunahan?

Labels: ,
Tuesday, 06 February 2007

DR. Ahmad Rusfidra, S. Pt

Akankah ayam kampung punah di negeri agraris ini? Ini adalah sebuah kekawatiran para akademisi peternakan dan para peternak unggas melihat langkah sembrono yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta yang akan menghabisi populasi ayam kampung di Jakarta. Menurut Gubernur Sutiyoso, ayam kampung tidak berhak hidup di ibukota, sehingga ayam ini harus dimusnahkan karena ia menjadi vektor utama penularan virus Avian influenza (AI) dari unggas ke manusia. Namun sangat disayangkan Sutiyoso terkesan menggampangkan persoalan dan tidak didukung argumentasi ilmiah yang sahih. Sebaiknya Sutiyoso mempertimbangkan dampak sosial ekonomi dan dampak biologis bila populasi ayam kampung musnah di ibukota. Saat ini yang penting dilakukan adalah melakukan vaksinasi terhadap semua ayam, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengandangkan ayamnya dan edukasi publik untuk hidup sehat. Langkah pemusnahan ternak unggas hanya bisa dilakukan pada populasi uanggas yang positif sakit.

“Negeri yang kaya ternak, tidak pernah miskin.Negeri yang miskin ternak, tidak pernah kaya”.(Campbell dan Lasley, 1985)

Melalui pemberitaan di media elektronik dan media massa kita menyimak statemen Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyatakan bahwa ternak unggas non-komersial merupakan vektor utama penularan flu burung ke manusia. Karena itu unggas non-komersial (ayam kampung, itik dan burung dara) tidak boleh hidup berdekatan dengan manusia karena ternak unggas tersebut merupakan penyebab utama merebaknya wabah flu burung di tanah air. Ayam kampung harus dimusnahkan, agar tidak ada lagi manusia yang terinfeksi virus flu burung.

Untuk memutus rantai penyebaran virus avian influenza (AI) di DKI Jakarta, Gubernur Sutiyoso mengeluarkan Peraturan Gubernur No 5 tahun 2007 tentang larangan memelihara unggas non-komersial di lingkungan pemukiman. Gubernur Sutiyoso bahkan memberi batas waktu hingga tanggal 1 Februari 2007 agar masyarakat memusnahkan sendiri unggas non-komersil milik warga, baik dengan cara dikonsumsi ataupun dijual. Asumsinya dasarnya adalah ayam kampung, itik dan burung dara adalah tertuduh, -sebagai vektor penularan virus AI ke manusia. Karena itu, unggas non-komersil tersebut tidak berhak hidup di ibukota. Pokoknya, ibukota negara harus steril dari ayam kampung, itik dan burung dara.

Kebijakan Sutiyoso juga diikuti oleh Gubernur Banten yang mengeluarkan Peraturan Gubernur yang melarang warganya memelihara unggas non-komersial di pemukiman. Rencananya mulai 1 Februari 2007 aparat pemerintah DKI Jakarta akan bertindak tegas dan memusnahkan unggas non-komersil di pemukiman.

Asumsi Sutiyoso adalah dengan bebasnya Jakarta dari ayam kampung, itik dan burung dara, maka ibukota akan bebas dari flu burung, sehingga tidak ada waga kota yang terinfeksi virus AI. Sebuah cara berpikir sederhana dari seorang pemimpin. Sebuah cara berpikir yang terkesan menggampangkan persoalan dan tidak memiliki argumentasi ilmiah akurat. Bagaimana mungkin ia bisa menjamin daerahnya bebas flu burung, meskipun semua ayam kampung dan itik dimusnahkan di Jakarta?.

Apakah pemerintah juga telah menghitung dampak sosial ekonomi dan dampak biologis bila ayam kampung musnah di negeri ini?. Kita sangat menyesalkan bila sebuah kebijakan diambil hanya didasarkan pada sikap kepanikan dan tidak didukung argumentasi ilmiah yang sahih.

Informasi terbaru ternyata virus AI tidak hanya pada unggas, namun juga ditemukan pada kucing, anjing dan lalat. Bahkan studi Prof. Wasito dan Prof. Hastari (dosen FKH UGM) menyebutkan bahwa lalat patut diduga sebagai vektor penting penularan virus AI. Saat ini yang perlu dilakukan adalah upaya publik edukasi agar masyarakat dapat memelihara unggasnya secara sehat dan tidak tertular virus AI, bukan memusnahkannya.Dampak Sosek dan Biologis Flu BurungWabah penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus Avian Influenza (AI) sub-tipe H5N1 kembali merebak di tanah air.

Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) meramalkan virus AI berpotensi sebagai “makhluk pembunuh” bila terjadi pandemi global flu burung. Pandemi influenza pada tahun 1918 yang disebabkan oleh virus “influenza Spanyol” menewaskan 20 juta orang (Webster et al. 1999). Korban meninggal pada umumnya berusia antara 15-45 tahun (Reid et al. 2000). Kini, seluruh negara di dunia bersiap menghadapi kemungkinan munculnya pandemi global (terjadinya wabah dalam waktu bersamaan dalam wilayah yang luas).

Namun, di dalam negeri penanganan wabah AI terkesan serabutan dan sangat reaktif, padahal transmisi virus AI terus terjadi dan korban manusia makin bertambah. Hingga kini penderita flu burung terdapat di sembilan provinsi. Korban terbanyak terdapat di Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.Hingga tanggal 22 Januari 2007 virus AI telah merenggut 62 nyawa manusia di Indonesia dari 80 orang positif terinfeksi AI. Berdasarkan jumlah korban meninggal, Indonesia adalah negara dengan korban terbanyak dengan tingkat kematian 80%. Bahkan, Indonesia juga memiliki jumlah family cluster terbesar, sebanyak 7 cluster.

Kasus cluster AI terbesar di dunia terjadi di Desa Kubu Simbelang, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Berdasarkan tempat tinggal korban, Soeroso (2006) menyatakan bahwa dari 48 kasus positif AI di Indonesia, sekitar 44% tinggal di pedesaan, 29% tinggal di pinggiran perkotaan dan 27% tinggal di perkotaan. Menurut jenis pekerjaan (n=48) maka distribusi pekerjaan korban AI adalah sebagai berikut: anak-anak (11 orang), pelajar (10 orang), pekerja kandang unggas (4 orang), penjual ayam di pasar tradisional (2 orang), pekerja non-farm (14 orang), petani (1 orang) dan belum teridentifikasi (6 orang). Berdasarkan data UNICEF (2006) sekitar 50 persen manusia positif terinfeksi virus AI adalah anak-anak, dan 30 persen korban meninggal adalah anak-anak. Anak-anak lebih rentan terinfeksi virus AI, meskipun hingga kini belum ada riset yang dapat menjelaskannya.

Peranan Ayam Kampung Ayam kampung merupakan ayam asli yang sudah didomestikasi dalam waktu yang alam. Saat ini populasi ayam kampung sekira 300 juta ekor yang tersebar di seluruh penjuru negeri, mulai dari perkotaan hingga pelosok perkampungan. Ayam yang memilki bobot tubuh kecil ramping ini dipelihara secara sederhana di halaman belakang rumah (backyard farming) oleh petani dan peternak kecil. Bila rata-rata satu rumahtangga memelihara 20 ekor, maka populasi ayam kampung dipelihara oleh sekira 15 juta rumahtangga petani (RTP) di negeri ini. Ayam kampung adalah plasma nutfah asli Indonesia.

Indonesia diduga akan kehilangan sumber daya genetik unik, khas dan unggul yang ada pada ayam kampung bila program pemusnahan ayam kampung dilakukan secara ceroboh.Ayam yang 100 persen dipelihara sebagai usaha sampingan ini memiliki peran penting sebagai sumber pendapatan, tabungan hidup (bio investasi), sumber uang tunai pada saat kebutuhan mendesak, sebagai jaminan bila usahataninya gagal panen dan sumber protein hewani (daging dan telur ) yang tersedia secara murah dan terjangkau bagi masyarakat berpendapatan rendah. Ayam kampung juga merupakan aset kultural, aset religius, untuk pengobatan dan penghasil pupuk organik. Karena itu, rencana pemerintah memusnahkan ayam kampung diperkirakan akan berdampak serius terhadap ketahanan ekonomi rumahtangga dan ketahanan pangan hewani peternak ayam kampung. Kelompok peternak kecil inilah yang akan terganggu ketahanan pangan hewani dan ketahanan ekonomi rumahtangganya.

Urgensi Pangan Hewani Bahan pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi untuk hidup sehat. Disamping bahan pangan nabati manusia juga memerlukan bahan pangan hewani (daging, susu dan telur) sebagai sumber protein untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah pecah. Meskipun masyarakat menyadari pangan hewani sebagai kebutuhan primer namun hingga kini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi sesama negara ASEAN.

Pada tahun 2000, konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun, lebih rendah dibandingkan konsumsi penduduk Malaysia (36,7 kg), Thailand (13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg). (Poultry International, 2003). Penduduk Indonesia baru mengkonsumsi 10 gram/kapita/hari daging unggas, sedangkan Malaysia sudah mencapai 100 gram/kapita/hari.

Konsumsi telur masyarakat Indonesia juga rendah, yakni 2,7 kg/kapita/tahun, sedangkan masyarakat Malaysia mencapai 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan Fhilipina 6,2 kg. Bila satu kilogram rata-rata terdiri atas 17 butir telur, maka konsumsi telur penduduk Indonesia adalah 46 butir/kapita/tahun atau 1/8 butir telur/hari. Padahal penduduk Malaysia setiap tahunnya memakan 245 butir telur atau 2/3 butir telur/hari. Analisis paling akhir yang dilakukan Prof. I.K Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak Universitas Nasional Seoul Korea Selatan, sebagaimana dimuat dalam Asian Australian Journal of Animal Science (1999) menemukan sebuah fakta menarik. Ia menyatakan adanya relasi positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan perkapita. Semakin tinggi konsumsi protein hewani masyarakat semakin tinggi UHH dan pendapatan domestik brutto (PDB) negara tersebut.

Negara-negara berkembang seperti Korea, Brazil, China, Fhilipina dan Afrika Selatan memiliki konsumsi protein hewani 20-40 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 65-75 tahun. Negara-negara maju seperti AS, Prancis, Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi protein hewani penduduknya 50-80 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85 tahun.

Karena itu jangan heran bila manusia yang berumur lebih dari 100 tahun sekarang banyak terdapat di Jepang. Sementara itu, negara-negara yang konsumsi protein hewani di bawah 10 gram/kapita/hari seperti Banglades, India dan Indonesia, UHH penduduknya berkisar 55-65 tahun (Han, 1999).

Rendahnya konsumsi protein hewani telah berdampak luas pada tingkat kecerdasan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Negara Malaysia yang pada tahun 1970-an mendatangkan guru-guru dari Indonesia, sekarang jauh meninggalkan Indonesia, terutama dalam hal kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagaimana ditunjukkan oleh peringkat Human Development Index (HDI) tahun 2004 yang dikeluarkan United Nation Development Program (UNDP). Indonesia berada pada peringkat ke-111, hanya satu tingkat di atas Vietnam (112), namun jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Singapura (peringkat 25), Malaysia (59), Thailand (76) dan Fhilipina (83).

Ironisnya, konsumsi protein hewani yang rendah terjadi pada anak usia bawah lima tahun (balita) sebagaimana ditunjukkan merebaknya kasus busung lapar dan malnutrisi di tanah air beberapa waktu lalu. Rendahnya asupan energi-protein pada anak balita turut berdampak pada meningkatnya kasus gizi buruk (malnutrisi) dan rendahnya tingkat kecerdasan.

Usia balita disebut juga periode “the golden age” (periode emas pertumbuhan) dimana sel-sel otak anak manusia sedang berkembang pesat. Pada fase ini otak membutuhkan suplai protein hewani yang cukup agar berkembang optimal dan tidak sampai menjadi tulalit, -meminjam istilah Dr. Handrawan Nadesul (Kompas, 9/7/05). Asupan energi-protein yang rendah pada anak-anak dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan, meningkatnya resiko terkena penyakit, mempengaruhi perkembangan mental, menurunkan performa mereka di sekolah dan menurunkan produktivitas tenaga kerja (Pinstrup-Andersen, 1993). Ironisnya mereka pada umumnya berasal dari keluarga tidak mampu (miskin).

Monckeberg (1971) menunjukkan adanya hubungan tingkat konsumsi protein hewani pada anak usia prasekolah dengan defisiensi mental. Konsumsi protein hewani yang rendah pada anak usia prasekolah dapat mengakibatkan anak-anak berbakat normal menjadi sub-normal atau bahkan defisien. Selain untuk kecerdasan, protein hewani dibutuhkan untuk daya tahan tubuh. Shiraki et al. (1972) membuktikan peranan protein hewani dalam mencegah terjadinya anemia (lesu darah) pada orang yang menggunakan otot untuk bekerja keras. Gejala anemia tersebut dikenal dengan istilah “sport anemia”.

Penyakit ini dapat dicegah dengan mengkonsumsi protein yang tinggi, dimana sebanyak 50% dari protein yang dikonsumsi harus berasal dari protein hewani.Catatan Akhir Manusia membutuhkan protein hewani asal ternak (daging dan telur) untuk hidup sehat, produktif dan cerdas. Daging ayam dan telur memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan dan mudah dicerna tubuh. Karena itu, langkah mengurangi konsumsi daging dan telur di tengah merebak flu burung, agaknya bukanlah langkah bijak. Tidak pada tempatnya konsumen ragu memakan daging dan telur ayam yang diolah dengan cara yang benar meskipun wabah flu burung saat ini kembali merebak di tanah air. Semoga.

Penulis DR. a. Rusfidra, S.Pt(Pemerhati Peternakan, Chairman Cendekia Publishing Bogor).

http://www.cimbuak.net/content/view/856/5/
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts