Sabtu, 11 Juli 2009 | 10:25 WIB
Bandung, Kompas.com — Meskipun terlambat, industri bahan baku obat sintetis perlu dirintis. Ini menjadi sangat penting untuk mewujudkan ketahanan kesehatan nasional dan mengupayakan harga obat bisa lebih terjangkau masyarakat.
Pandangan ini diungkapkan Ketua Jurusan Farmasi Institut Teknologi Bandung Sukmadjaja Asyarie dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ITB, Jumat (10/7) di Bandung, Jawa Barat. Selain dirinya, Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Kemitraan ITB Indratmo Soekarno juga dikukuhkan sebagai guru besar ITB.
Sukmadjaja mengatakan, lebih dari 200 industri obat jadi di Tanah Air saat ini menggantungkan bahan baku obat (BBO) sintetis dari luar negeri. ”Sekitar 90 persen BBO sintetis diimpor dari luar. Sebaliknya, 90 persen BBO tradisional tersedia di dalam negeri,” ujarnya membandingkan. Padahal, yang menjadi persoalan adalah kebutuhan BBO sintetis jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan BBO tradisional.
Sekitar Rp 45 triliun
Dari total perkiraan konsumsi untuk obat di Indonesia, dari sebesar Rp 45 triliun pada tahun 2010, sekitar 83 persen (Rp 37,5 triliun) di antaranya adalah berupa obat modern atau sintetis.
”Padahal, konsumsi obat rata-rata nasional Rp 100.000 per kapita per tahun. Ini merupakan pasar yang sangat potensial untuk mempertimbangkan memulai industri BBO sintetis secara bertahap,” ujar Sukmadjaja.
Pembuatan industri BBO sintetis, ujarnya, idealnya dilakukan secara selektif dan bertahap dengan memenuhi tujuan substitusi impor beberapa obat esensial skala nasional, seperti antibiotik, antituberkulosa, dan antimalaria.
”Pada tahun 1980-an Departemen Kesehatan telah mewajibkan industri obat PMA (penanaman modal asing) membuat BBO di Indonesia. Namun, sekarang, kebijakan tersebut tidak berjalan dengan baik,” katanya.
Belum terciptanya industri BBO sintetis ini ikut berdampak buruk terhadap riset obat-obatan di Indonesia. ”Penelitian di industri farmasi belum sampai pada tingkatan menemukan obat baru sintetis. Penelitian yang ada baru sampai pada tingkat memperbaiki formula obat yang meningkatkan kecepatan absorpsi, bioekuivalen terhadap produk inovator,” paparnya.
Berbeda dengan obat tradisional, penemuan dan riset baru sudah mulai ramai dilakukan, baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Namun, akibat keterbatasan anggaran, tahapan risetnya juga belum maksimal.
”Kebanyakan baru sampai tahap penelitian preklinis. Baru sekitar enam produk obat alam yang sudah sampai uji klinis (fitofarmaka),” kata Sukmadjaja Asyarie.
JON
Sumber : Kompas
http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/07/11/10255177/industri.bahan.baku.obat.sintetis.perlu.dirintis
Post a Comment