Selasa, 28 Juli 2009 14:50
OLEH: STEVANI ELISABETH
Jakarta – Pemerhati masalah anak, Giwo Rubianto Wiyogo, menegaskan bahwa kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2009 tentang anak harus dievaluasi.
Detail Cetak
Kepala Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, selayaknya lebih mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.
“Untuk mengevaluasi apakah kebijakan Presiden tahun 2009 sudah responsif atau belum terhadap anak, sangat mudah, yakni apakah kebijakan tersebut mengacu pada empat prinsip dalam Konvensi Hak Anak yang terdiri atas tumbuh kembang, non-diskriminasi, partisipasi, dan kepentingan terbaik bagi anak,” tutur Giwo kepada SH, di Jakarta, Senin (27/7).
Menurutnya, meski Hari Anak Nasional setiap tahun diperingati, masalah anak di Indonesia masih tinggi. Kasus kekerasan, eksploitasi dan komersialisasi seksual, diskriminasi berbasis gender, trafficking (perdagangan manusia), pelibatan anak dalam kegiatan politik, pekerja anak, anak jalanan, masih merupakan persoalan yang harus diselesaikan oleh pemerintah.
Berdasarkan riset, sebagian besar masalah anak yang muncul adalah karena faktor ekonomi. Memang semakin hari ada perbaikan di bidang ekonomi, namun dari sejumlah kasus anak, masalah ekonomi turut memengaruhi. Selain itu, tidak sinkronnya undang-undang (UU) dengan peraturan daerah (perda) juga ikut menyumbangkan persoalan anak.
“Dalam beberapa kasus, UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menggratiskan pembuatan akta kelahiran, ternyata berbenturan dengan beberapa Perda Akta Kelahiran dengan dalam masalah biaya administrasi. Biayanya bervariasai antardaerah. Karena itu, kabinet yang baru nanti memiliki pekerjaan rumah (PR) untuk segera menyelesaikan masalah tersebut,” lanjutnya.
Giwo menambahkan, sesungguhnya semua elemen masyarakat, termasuk presiden sebagai mobilisator dan dinamisator pemerintahan, mendapatkan mandat dari negara melalui UU No 23/2002. Yakni untuk merumuskan kebijakan pembangunan dari pusat hingga kabupaten/kota, yang layak bagi anak.
Kebijakan pembangunan itu didasarkan pada child mainstreaming (pengarusutamaan anak). Artinya, hak-hak anak yang telah dimandatkan dalam UU Perlindungan Anak diintegrasikan ke dalam kebijakan pembangunan, tambah Giwo.
Hanya saja, tantangan dan hambatan terkait perlindungan anak di masa mendatang sangat kompleks. Secara internal, masih ada keterbatasan sumber daya, dan secara politis isu anak belum memperoleh respons yang memadai. Sedangkan secara eksternal, Indonesia menghadapi arus globalisasi ekonomi yang ditandai dengan adanya pasar bebas. Keberadaan pasar bebas menarik anak-anak, khususnya dari keluarga miskin, untuk masuk dalam bursa kerja murah di berbagai indutri dan jasa.
“Tantangan eksternal lainnya yang begitu berbahaya, yaitu adanya organisasi jaringan kejahatan lintas negara yang memanfaatkan kemiskinan dan kerentanan anak-anak,” ungkapnya.
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/kabinet-baru-punya-pr-masalah-anak/
Post a Comment